Riyadh (Antara Babel) - Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyerukan penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi (KTT) negara-negara muslim bila Amerika Serikat mengambil keputusan kontroversial untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Presiden Donald Trump pekan ini menghadapi sebuah keputusan penting mengenai status Yerusalem, yang berpotensi membalikkan kebijakan Amerika Serikat yang sudah berjalan selama bertahun-tahun dan memicu respons keras dari warga Palestina dan dunia Arab.

Sebanyak 57 negara anggota OKI berusaha meningkatkan perhatian mengenai kemungkinan tindakan tersebut dalam pertemuan darurat di Kota Jeddah, Laut Merah, Arab Saudi, Senin (4/12).

"Kalau Amerika Serikat mengambil langkah untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kami dengan suara bulat merekomendasikan penyelenggaraan pertemuan di tingkat dewan menteri luar negeri yang dilanjutkan dengan sebuah KTT Islam sesegera mungkin," kata badan pan-Islam tersebut dalam sebuah pernyataan yang dikutip AFP.

OKI juga memperingatkan bahwa mengakui Yerusalem atau mendirikan misi diplomatik di kota yang disengketakan itu akan dianggap sebagai "serangan terang-terangan terhadap negara-negara Arab dan Islam."

Wakil Perdana Menteri Turki pada Senin juga memperingatkan akan "malapetaka besar" jika Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

"Jika status Yerusalem saat ini diubah dan langkah lain diambil itu akan menimbulkan malapetaka besar," kata Wakil Perdana Menteri Bekir Bozdag dalam konferensi pers yang ditayangkan di TV.

"Itu akan sepenuhnya menggagalkan proses perdamaian yang rapuh di kawasan ini, dan memicu konflik baru, perselisihan baru dan kerusuhan baru."

Status Yerusalem adalah salah satu isu yang paling sering diperdebatkan dalam konflik Israel-Palestina yang sudah berlangsung lama.

Sebagian besar masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat, tidak secara formal mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, bersikeras bahwa masalah tersebut hanya dapat diselesaikan melalui negosiasi status akhir.

Inti dari masalah pengakuan itu adalah pertanyaan tentang apakah Trump, yang semasa kampanye menyatakan di bawah kepemimpinannya Amerika Serikat akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memutuskan untuk memindahkan kedutaan Amerika Serikat di Israel ke Yerusalem.

Semua kedutaan besar asing berada di Tel Aviv dengan perwakilan konsuler di Yerusalem.

Israel, yang merebut sektor timur Yerusalem yang mayoritas berpenduduk Arab selama Perang Enam Hari 1967 dan kemudian mencaploknya, mengklaim kedua bagian kota itu sebagai "ibu kota abadinya yang tak terbagi."

Warga Palestina menginginkan sektor timur sebagai ibu kota negara mereka dan menentang keras upaya apapun yang dilakukan Israel untuk memperluas kedaulatan di sana.

Beberapa rencana perdamaian lepas karena perdebatan mengenai apakah dan bagaimana membagi kedaulatan atau mengawasi kota yang disucikan oleh warga Muslim, Nasrani dan Yahudi itu.

Pewarta:

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017