Jakarta (Antaranews Babel) - Presiden Jokowi pada berbagai kesempatan kerap mengingatkan seluruh masyarakat senantiasa menjaga persatuan dan persaudaraan menjelang pemilihan umum kepala daerah di 171 daerah yang memungkinkan antartetangga dan antarkampung berbeda dalam pilihan.

Kepala Negara dalam kalimat yang sangat lugas dan jelas mengingatkan jangan sampai karena memilih pemimpin entah bupati, wali kota, gubernur membuat hubungan antartetangga dan antarkampung menjadi tidak rukun.  

Pemilihan umum kepala daerah hanya berlangsung lima tahun sekali dan penyelenggaraan itu merupakan pesta demokrasi. Pilihlah pemimpin yang paling baik setelah itu rukun kembali antartetangga, antarkampung.

Potensi kerawanan dalam pilkada tahun ini memang telah diantisipasi oleh pihak kepolisian sebagai institusi pengamanan pemilu dan badan pengawas pemilu yang mengawasi seluruh tahapan penyelenggaraannya. Bahkan pihak Polri mengajak TNI untuk membantu pengamanan pemilu dalam mengantisipasi berbagai potensi kerawanan yang dan memastikan berjalan aman, tertib, dan lancar.

Potensi kerawanan terjadi lantaran persaingan antarcalon kepala daerah dalam merebut sebanyak-banyaknya suara rakyat, antarpartai pengusung calon kepala daerah, antartim sukses calon kepala daerah, dan antarpendukung calon kepala daerah.

Pilkada tahun ini menunjukkan sejumlah fakta menarik betapa persaingan antarcalon kepala daerah bakal berlangsung sengit, bahkan kakak beradik pun bersaing untuk menjadi kepala daerah.

Dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, misalnya, sang kakak, Abdul Gani Kasuba yang juga Gubernur Maluku Utara saat ini, demi melanggengkan kekuasaannya untuk periode kedua, harus bersaing dengan sang adik, Muhammad Kasuba yang kini menjabat Bupati Halmahera Selatan.

Sebagai petahana, sang kakak ingin memastikan diri terpilih kembali menjadi Gubernur Maluku Utara untuk periode 2018 hingga 2023 yang merupakan sedangkan adiknya berambisi untuk jabatan yang lebih tinggi, dari bupati kemudian ingin menjadi gubernur.  

Abdul Gani Kasuba mengungkapkan tidak gentar menghadapi Muhammad Kasuba dengan pertimbangan memiliki keinginan besar untuk menyelesaikan seluruh programnya pada lima tahun pertama menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara untuk menyejahterakan masyarakat, sedangkan sang adik optimistis menang dan mengungkapkan bahwa setiap masa ada pemimpinnya sehingga sebagai sang kakak semestinya beristirahat dan memberikan kesempatan kepada calon pemimpin lain.

Persaingan antara kakak beradik ini membuat keluarga besar mereka memberikan dukungan masing-masing kepada calon yang mereka inginkan. Ada keluarga yang mendukung kakak dan ada keluarga besar yang mendukung adik.

Memang tidak ada larangan bahwa sesama anggota keluarga mencalonkan diri sebagai kepala daerah, asal memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh "Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang", setiap warga negara Indonesia berhak mencalonkan diri.

Pengalaman

Pemerintah menyebut Tahun 2018 dan Tahun 2019 sebagai tahun pemilu karena pada 27 Juni 2018 akan berlangsung pemungutan suara dalam pilkada serentak di 171 daerah terdiri atas 17 provinsi untuk memilih gubernur-wakil gubernur, 39 kota untuk wali kota-wakil wali kota, dan 115 kabupaten untuk bupati-wakil bupati.

Sementara itu pada 17 April 2019 dijadwalkan berlangsung pemungutan suara pemilu serentak untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mencatat sekitar 158 juta rakyat telah terdaftar sebagai pemilih untuk Pilkada 2018 di 171 daerah. Untuk Pemilu 2019 diperkirakan ada kenaikan pemilih mencapai 197 juta warga.

Kerja besar bangsa ini pada 2018 dan 2019 mengundang berbagai tantangan besar pula. Salah satu tantangan besar itu adalah soal potensi kerawanan yang bila tidak diantisipasi secara maksimal bisa saja meluas menjadi konflik berkepanjangan yang dapat mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Khusus untuk pilkada serentak, bangsa ini telah memiliki dua kali pengalaman pada pilkada serentak Tahun 2015 dan Tahun 2017 yang keseluruhannya relatif berjalan aman. Sementara untuk pemilu serentak memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota, pada 2019 merupakan pengalaman pertama.

Kementerian Dalam Negeri telah melakukan identifikasi potensi masalah dan deteksi dini terhadap naiknya suhu politik nasional Tahun 2018 dan Tahun 2019.

Sejumlah potensi permasalahan yang kemungkinan terjadi, misalnya, terkait dengan perekaman data kependudukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil masing-masing daerah, termasuk di dalamnya pembaruan data penduduk. Hal ini tentu saja memerlukan dukungan dari seluruh pihak, terutama kepala daerah.

Persoalan bisa terjadi manakala ada rakyat pemilih yang tidak terdata dalam catatan kependudukan, bisa pula dengan masih tercatatnya penduduk yang telah meninggal dunia atau pindah ke lain daerah, dalam daerah bersangkutan, apalagi bila ada selisih data kependudukan antara pemerintah dengan penyelenggara pemilu.

Persoalan selisih data kependudukan pernah terjadi tatkala menjelang Pemilu 2014, yakni adanya ketidaksinkronan dan selisih data kependudukan yang cukup tinggi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan KPU. Permasalahannya sempat mengemuka menjadi polemik bahkan menjadi agenda dalam pembahasan rapat kerja dengan DPR RI pada masa itu. Sempat DPR meminta pemerintah tidak menyelenggarakan pemilu sebelum jelas data kependudukannya.

Deteksi dini atas persoalan lainnya menyangkut sejumlah daerah yang tingkat kerawanannya tinggi, seperti di Papua, selain soal luas wilayahnya, pengamanan, tantangan kondisi geografis, tingginya aktivitas distribusi logistik dan cakupan wilayah kerja penyelenggara pilkada di Papua.

Rujukan indeks kerawanan Pilkada menjadi salah satu parameter dalam mewaspadai daerah yang rawan gangguan, kelompok separatis, dan rawan konflik.

Persoalan berikutnya tentang area risiko, seperti faktor gangguan alam pada 2018 seperti gempa, banjir, dan sebagainya, sedangkan faktor gangguan keamanan seperti terorisme, separatisme, radikalisme, unjuk rasa, dan konflik komunal, juga perlu dideteksi.

Faktor aturan politik hukum, misalnya daftar pemilih tetap yang belum selesai, putusan Mahkamah Konstitusi terkait cuti kampanye petahana, serta faktor risiko umum seperti penyiapan logistik dan distribusi logistik yang terhambat, rendahnya partisipasi, netralitas penyelenggara, dan kemungkinan adanya intervensi asing yang merugikan kepentingan Indonesia.

Hal lain yang harus dicermati terkait risiko yang potensi muncul dalam setiap tahapan. Pertama saat pendaftaran. Ini terkait konflik kepengurusan partai atau menyangkut distribusi logistik. Keterlambatan logistik suara tiba di tempat pemungutan suara juga harus jadi perhatian. Juga kemungkinan adanya upaya pencurian atau sabotase dari logistik pemilihan.

Selanjutnya pada tahap kampanye yaitu terkait protes parpol kepada KPU daerah, kemungkinan terjadinya bentrok atau kerusuhan massa. Perusakan pembakaran alat peraga. Jangan sampai terjadi kampanye yang bersifat ujaran kebencian, SARA, hingga merusak persatuan dan kesatuan.

Di masa tenang, ada pula risiko politik uang atau kampanye hitam, sabotase, ancaman penculikan, boikot pilkada dan kampanye golput. Saat pemungutan suara, risiko yang harus diantisipasi adalah politik uang dan sembako menjelang pencoblosan. Proses pemungutan yang diikuti dengan keributan atau kerusuhan di tempat pemungutan suara. Ancaman terorisme, sabotase, pengrusakan dan pembakaran.

Pada tahap penghitungan dan rekap, protes dan kerusuhan, manipulasi, dan penggelembungan hasil, mengulur-ulur waktu penghitungan suara. Hingga pada penetapan hasil juga berpotensi menyebabkan sengketa hasil pemilu.

Kemendagri menyoroti bahwa satu upaya penting dalam menyelenggarakan pemilu agar berjalan aman dan lancar adalah sosialisasi pemilu termasuk sosialisasi mengantisipasi kerawanan.

KPU dan Bawaslu harus menggencarkan sosialisasi dan bimbingan teknis bagi jajaran penyelenggara dan pengawas pemilu, juga ke masyarakat, agar semua memperoleh pemahaman sama, tidak ada tafsir yang berbeda-beda.

Untuk mencegah kemungkinan keterlibatan aparatur sipil negara atau pemanfaatan fasilitas negara serta keterlibatan oknum TNI-Polri untuk pilkada bagi kepentingan calon tertentu, perlu ada nota kesepahaman antara KPU, Bawaslu, Kemendagri, Komisi Aparatur Sipil Negara, Kementerian PANRB, TNI-Polri, dan Badan Kepegawaian Negara.

Sosialisasi pemilu damai juga mutlak digencarkan. KPU wajib mengimbau semua pihak untuk turut serta menciptakan suasana pilkada yang aman, damai, dan tertib.

Kepada setiap calon dan masing-masing pendukungnya perlu diingatkan kembali untuk siap menang dan siap kalah.

Penyelenggara pemilu juga harus berkomitmen kuat untuk bersikap netral dan bukan partisan, dan melembagakan nilai-nilai budaya positif.

Hal yang perlu disosialisasikan juga soal kelapangan hati dalam menerima kekalahan atas hasil pemilu. Jangan sampai yang kalah tidak menerima putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya.

Pemerintah optimistis dapat menyelenggarakan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 secara baik dan demokratis karena KPU, Bawaslu, Kepolisian, BIN dan TNI terus bekerja sama mengamankan pemilu. Pilkada serentak sebelumnya pun dapat berjalan lancar meskipun ada beberapa daerah yang bermasalah.

Selain deteksi dini atas kemungkinan terjadinya potensi konflik tersebut, Kemendagri tampaknya juga perlu fokus atas target KPU untuk mencapai sekitar 77 persen partisipasi rakyat pemilih dalam pemilu.

Dengan deteksi dini, dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan meskipun suasana persaingan dalam pilkada membuat kondisi politik memanas.

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018