Pelantikan para pejabat oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu, 17 Januari 2018 di Istana Negara, Jakarta terasa amat lain jika dibandingkan dengan beberapa acara sebelumnya terutama saat perombakan Kabinet Kerja.

Pengangkatan Idrus Marham sebagai Menteri Sosial untuk menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur sebagai bakal calon gubernur Jawa Timur bukanlah  berita besar karena Khofifah sudah lama terdengar menjadi calon kepala daerah Jawa Timur.

Kemudian pelantikan Marsekal Madya TNI Yuyu Sutisna menjadi Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara  guna menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang telah memangku jabatan Panglima TNI bukanlah hal mengejutkan karena Yuyu sudah lama diisukan menjadi "penerbang nomor satu" di TNI-AU.

Yang mengejutkan adalah nama Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko yang merupakan mantan Panglima TNI ternyata diangkat menjadi Kepala Staf Kepresidenan menggantikan Teten Masduki serta Agum Gumelar menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk mengisi posisi almarhum Hasyim Muzadi yang meninggal Maret 2017.

Penunjukan Moeldoko patut disimak karena jenderal purnawirawan TNI AD ini sudah beberapa tahun hilang dari "peredaran dunia politik" di Tanah Air usai tak memimpin lagi TNI.

Sementara itu Jenderal Purnawirawan Agum Gumelar selama beberapa tahun terakhir ini namanya lebih sering disebut sebagai tokoh sepak bola. Padahal Agum pernah menjadi Menteri Koordinator Politik  dan Keamanan serta Menteri Perhubungan di  zaman Presiden Gus Dur dan juga menjadi tokoh Persatuan Purnawirawan ABRI atau Pepabri  atau sekarang TNI.

Dengan masuknya Moeldoko dan Agum ke dalam lingkaran terdekat Kepala Negara yang sering disebut sebagai RI-1 maka bertambah lagi jenderal-jenderal di lingkungan Istana Kepresidenan yakni Jenderal Purnawirawan TNI  Wiranto yang merupakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan serta Jenderal TNI Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan yang memegang posisi Menko Bidang Kemaritiman.  

Yang patut direnungkan kenapa Presiden Jokowi  menunjuk Jenderal Moeldoko untuk menggantikan Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan?    

Teten sebagai orang sipil pada masa lalu lebih banyak "bergerilya" di berbagai lembaga swadaya masyarakat atau LSM  seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) sehingga tak banyak bersinggungan dengan lembaga-lembaga pemerintahan.

Di sisi lain, Jokowi sangat membutuhkan seorang staf terdekat yang mampu menganalisis berbagai kejadian atau peristiwa penting dan kemudian langsung memberikan masukan sehingga sang Kepala Negara ini dapat segera mengambil keputusan yang tepat dan memuaskan rakyat. Dan posisi ini dianggap sangat patut dijabat Moeldoko..

Sementara itu, Jenderal Purnawirawan Agum Gumelar pasti dikenang masyarakat sebagai seseorang  pejabat yang kritis dan mampu menyampaikan masukan yang tepat walaupun kritis seperti saat menjadi menteri yang mendampingi Presiden Abduurahman Wahid alias Gus Dur.

Sekarang bangsa Indonesia telah berada pada bulan Januari 2018 dan pada tanggal 27 Juni 2018 pemilihan kepala daerah atau pilkada di 171 daerah mulai dari tingkat kota, kabupaten hingga provinsi. Sementara itu, Polri sudah menetapkan beberapa daerah sebagai "rawan politik" menjelang dan selama pilkada itu sehingga patut diwaspadai atau mendapat perhatian sangat khusus.

Sementara itu, pada 2019 akan berlangsung pemiihan anggota DPR, DPD serta anggota DPRD tingkat satu dan dua, sehingga jika sekarang saja banyak warga yang sudah merasa "panas dingin" terhadap sikap ataupun omongan para politisi maka bisa dibayangkan betapa "parahnya" situasi poltik di dalam menyongsong pileg dan pilpres mendatang tersebut.
 
Kelebihan jenderal

Masyarakat tetap yakin atau sadar bahwa sekalipun  dunia politik di Tanah Air sudah banyak berubah sejak bangsa Indonesia memasuki era reformasi, rakyat tetap merasa bahwa para prajurit yang masih aktif di lingkungan TNI dan Polri serta para jenderal purnawirawan akan tetap memegang teguh Sumpah Prajurit dan Sapta Marga.

Berdasarkan patokan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, maka setiap personel TNI dan Polri harus tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintahan yang sah, sekalipun bisa saja terjadi ada sejumlah purnawirawan prajurit TNI dan Polri yang telah berada dalam partai-partai politik yang berbeda.

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, jenderal purnawirawan yang mana pun juga atau sebaliknya meremehkan atau menjelek-jelekkan jenderal yang lainnya, maka rakyat bisa menengok nama Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Tubagus Hasanuddin.

Jenderal ini yang lebih akrab dengan panggilan "Jenderal TB" karena dia berasal dari Provinsi Banten tetap dikenal sebagai perwira tinggi yang tidaklah sombong atau rendah hati. Dia pernah menjadi ajudan Presiden Bacharuddin  Jusuf  Habibie baik sebagai Wakil Presiden maupun Presiden. Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, maka Tubagus Hasanuddin "naik pangkat" menjadi Sekretaris Militer Kepresidenan.

Sekarang Pak TB ini menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP, dan bahkan kini sudah menjadi  bakal calon gubernur Jawa Barat. Ketika menjadi ajudan Presiden Habibie, dia tak sungkan atau tidak malu untuk menceritakan berapa besar gaji atau pendapatannya sebagai seorang jenderal.

Dengan mengambil contoh ini, masyarakat bisa berharap bahwa dimana pun posisi seorang jenderal berada, maka dia akan tetap mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan juga rakyat sekalipun mereka bisa berada dalam partai-partai politik yang berbeda atau bahkan bertentangan atau berlawanan .

Karena Presiden Joko Widodo adalah orang sipil atau tidak berlatar belakang militer, maka sudah bisa dibayangkan bahwa sang Kepala Negara ini sudah mempertimbangkan masak- masak setiap bakal calon-calon pembantu terdekatnya seperti Wiranto, Luhut dan kini Moeldoko serta Agum yang semuanya pernah menjadi prajurit dengan berbintang emas di  bahunya.

Apabila Joko Widodo merasa yakin terhadap para staf terdekatnya ini, maka tentu rakyat pun mempunyai hak yang mengambil sikap yang sama pula terhadap para purnawirawan ini.

Akan tetapi, di lain pihak, para jenderal ini juga harus mampu memperlihatkan atau menunjukkan sikap bahwa mereka tetap memegang teguh Pancasila, UUD 45, Sumpah Prajurit  serta Sapta Marga saat mereka mengabdi kepada rakyat dan pemerintahan ini.

Walaupun Agum dan Moeldoko mungkin hanya akan mengabdi sekitar dua atau tiga tahun karena Presiden Joko Widodo akan mengakhiri masa jabatannya pada bulan Oktober tahun 2019, mereka harus mampu menunjukkan sikap setia kepada rakyat dan masyarakat Negara Kesatuan Tepublik Indonesia, walaupun bisa saja mereka berada dalam satu partai politik atau organisasi kemasyarakatan yang mana pun juga.

Sangat pantas jika rakyat memaksa Moeldoko dan Agum Gumelar untuk  tetap berada pada rel "yang benar" yaitu jalur untuk membela bangsa dan negara ini.

Pewarta: Arnaz Firman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018