Minggu malam 18 Februari 2018 memunculkan tarikan napas lega tokoh pimpinan 14 partai politik tingkat nasional dan beberapa partai di tingkat daerah yakni Provinsi Aceh, karena mereka sukses mendapatkan nomor urut bagi penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan presiden dan wakil presiden  tahun mendatang walaupun ada beberapa partai yang belum berhasil.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta melakukan pengundian bagi partai-partai politik mulai dari Partai Kebangkitan Bangsa alias PKB dengan nomor urut 1 hingga Partai Demokrat dengan nomor urut 14. Di antara belasan partai itu, bisa dipastikan yang paling berbahagia adalah empat partai yang baru "lahir" yakni Gerakan Perubahan Indonesia, Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia, serta Partai Solidaritas Indonesia.

Dengan munculnya nama-nama "pemain baru" di bidang perpolitikan Indonesia itu, maka tentu saja rakyat kini mempunyai alternatif yang lebih banyak atau bervariasi untuk menyalurkan hak-hak politiknya. Namun di lain pihak, bisa saja rakyat juga menjadi pusing atau semakin pusing karena "begitu banyaknya" kekuatan politik di Tanah Air untuk menyalurkan hak politiknya apalagi jika perbedaan-perbedaan di antara mereka cuma "tipis-tipis" saja.

Salah satu "tokoh lama" yang gagal--hingga detik ini--  untuk ikut pemilu adalah Partai Bulan Bintang karena oleh KPU dianggap belum memenuhi persyaratan perwakilannya di sebuah kabupaten di Provinsi Papua, sehingga partai yang  dipimpin Yusril Ihza Mahendra tersebut ingin minta Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu untuk menjadi penengah atau mediator antara mereka dengan KPU.

Dengan ada penetapan nomor- nomor urut itu, maka 14 partai di tingkat nasional dan empat partai lokal di Provinsi Daerah Istimewa Aceh harus bergerak bagaikan kilat untuk mencari dan menetapkan wakil- wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Senayan Jakarta serta DPRD tingkat satu di tingkat provinsi serta DPRD tingkat dua baik di kota maupun kabupaten.
      
Sulitkah mencari calon wakil rakyat?

Untuk partai- partai lama terutama yang sudah lama bercokol di "dunia persilatan politik" mungkin tidak begitu repot karena mereka tentu sudah mulai mencari- cari nama-nama bakal rakyat yang benar-benar terhormat dan bukannya sekedar "terhormat". Kalau mereka sudah memiliki anggota DPR, DPRD I dan II maka tinggal memilih mana yang berakhlak, sopan santun  terhadap pemilih dan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia serta siap bekerja mati-matian demi bangsa dan negara ini.

Yang bisa menghadapi masalah adalah partai-partai baru tersebut, karena pertama- tama mereka tentu harus "menjual diri" kepada para calon pemilih dengan memilih calon-calon wakil rakyat yang idealnya sudah dikenal oleh warga setempat. Kalau di Jakarta ataupun di kota-kota besar di Pulau Jawa maka mungkin bukan menjadi masalah untuk mempromosikan para  calon wakil rakyat itu kepada bakal pemilih apalagi kalau sang calon itu sudah dikenal baik oleh masyarakat setempat.

Akan tetapi sebaliknya, kalau partai- partai baru itu harus memperkenalkan  bakal calon wakil rakyat yang relatif tidak dikenal oleh orang banyak apalagi jika prestasinya sama sekali belum nampak maka bisa diduga parpol baru akan mengalami kesulitan untuk "menjual nama" bakal calon- calon legislator itu.

Namun juga yang menjadi masalah adalah mencari tahu apa motif seseorang untuk berambisi" menjadi wakil rakyat yang terhormat misalnya di Senayan?

Menjelang pemilu 2014, ada seorang pendatang baru yang sangat ambisius untuk melangkah ke DPR RI. Namun karena  sadar ataupun "tahu diri" maka dia menempuh 1001 cara supaya bisa meraih cita-citanya itu termasuk menyediakan ongkos kira-kira sekitar Rp3 miliar guna mempromosikan dirinya ke berbagai pihak. Dia tentu saja harus berpromosi ke partai politik mulai dari dewan pimpinan cabang di tingkat kota atau kabupaten,  dewan pimpinan daerah di provinsi hingga dewan pimpinan pusat di Jakarta sebagi pusat politik di Tanah Air.

Bakal calon ini melakukan pendekatan tidak hanya  kepada tokoh politik di berbagai jenjang tapi juga termasuk pada pers agar bisa membantu "mempromosikan" dirinya itu. Untung saja dia berhasil bertengger di Senayan dengan status sebagai wakil rakyat yang "terhormat".

Akan tetapi kemudian muncul pertanyaan adalah setelah mengeluarkan  ongkos miliaran rupiah maka akan tertutupkah atau "kembali modalkah" dari  gajinya sebagai utusan rakyat itu? Dari ilmu matematika model apa pun juga, maka amat mustahil gaji seorang anggota DPR bisa mengembalikan "modal awal" itu sehingga yang pasti dia pikirkan adalah bagaimana mencari "pendapatan tambahan" sehingga " balik modal" ditambah "sedikit laba" selama duduk manis di Senayan apalagi kalau dia tak terpilih lagi melalui pemilu 2019 mendatang itu.

Sangatlah tidak mengherankan begitu banyak anggota DPR yang sukses " diseret" oleh Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK ke meja hijau karena kepergok  di dalam operasi tangkap tangan OTT) setelah bertransaksi dengan para pejabat terutama  yang berperan sebagai pemegang kuasa anggaran yang nilai-nilai proyeknya ratusan miliar hingga triluunan rupiah.

Jauhi kekerasan

Pada masa bakti 2014-2019, jumlah anggota DPR sudah mencapai 560 orang dan untuk periode 2019-2024 tentu saja tidak tertutup kemungkinan angka menjadi lebih besar terutama karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Jadi bisa saja jumlah anggoat DPR di Senayan semakin banyak saja.

Kalau dianggap saja jumlah anggota DPR tetap 560 orang maka untuk satu kursi saja diperebutkan liam orang maka  bisa dibayangkan berapa ribu orang akan mengikuti persaingan yang amat ketat dalam masa kampanye mendatang. Muncul pertanyaan apakah semua pimpinan partai politik sudah membuat semacam petujuk pelaksana atau jjuklak hingga petunuk teknis alias juknis tentang cara-cara berkampanye yang beradab, sopan santun serta tanpa menimbulkan kekerasan apa pun juga di antara para peserta kampanye?

Pengalaman pada masa lalu hampir selalu menunjukkan pada masa kampanye apalagi jika pada hari yang sama terdapat beberapa parpol yang harus berkampanye dengan menampilkan para calon-calon wakil rakyatnya maka sangat terbuka peluang untuk terjadinya gesekan hingga bentrokan diantara para peserta kampanye.

Bisa saja KPU setempat yang didukung Polri, TNI, Bawaslu atau Panwaslu sudah mengatur jadwal agar tidak terjadi bentrokan. Tapi sangat terbuka jemungkinan para peserta kampanye dari dua atau tiga parpol kemudian saling bertemu di jalan, kemudian "saling melihat" kemudian  mulai naik darah sehingga akhirnya yang terjadi adalah bentrokan.
 
Siapkah pimpinan parpol mengatasinya?

Sebagian dari pemilih pada pemilu adalah kaum muda, yang acapkali berdarah panas dan tidak mau kalah jika "dipelototi" sehingga pada akhirnya terjadilah bentrokan yang kadangkala menimbulkan korban luka-luka hingga tewas.

Belum lagi kalau ada pidato kampanye yang mulai menjelek- jelekkan pihak lain yang tentu saja akan mendorong pihak yang diserang atau merasa diserang mulai merasa panas sehingga kemudian mulai melancarkan serangan balasan. Tentu saja. suasana seperti tak patut lagi muncul pada masa kampanye mendatang.

Polri yang didukung TNI tentu saja sudah mengerahkan puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu personelnya untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi apa daya prajurit Polri dan TNI kalau ada warga masyarakat yang mulai lupa diri hingga beringas.

Semua pimpinan partai politik sejak sekarang sudah harus menyusun pedoman teknis yang serinci mungkin agar tidak terjadi bentrokan hingga pertumpahan darah terutama di kalangan peserta kampanye. karena yang paling rugi atau menderita adalah peserta kampanye dan bukannya para calon wakil rakyat.

Para calon wakil rakyat tetap saja akan tenang dan duduk manis, apalagi jika mereka tidak memiliki rasa peduli terhadap warga yang bersusah payah berkeringat di arena kampanye.

Janganlah orang awam cuma  menjadi korban bagi para calon wakil rakyat yang terhormat.

Pewarta: Arnaz Firman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018