Tangerang (Antaranews Babel) - Presiden Joko Widodo belum menentukan waktu untuk bertemu dengan KPK terkait masuknya tindak pidana korupsi (Tipikor) ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Oh ya nanti, akan kita atur. Kalau tidak minggu ini, minggu depan awal," Presiden Joko Widodo di lokasi pembangunan landasan pacu bandara Soekarno Hatta,Tangerang, Banten, Kamis.

Pada 8 Juni 2018 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan setelah Hari Idul Fitri, Presiden menyiapkan waktu khusus bagi KPK untuk membicarakan soal RKUHP.

Sebaliknya, KPK juga mengaku siap menjelaskan sikapnya terkait dengan rancangan/ draf RKUHP yang saat ini dibuat oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan memasukkan delik korupsi ke dalam RKUHP tersebut.

"KPK mempersiapkan penjelasan yang lebih solid terkait RUU KUHP tersebut. Kami memandang, selain dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, RUU KUHP juga sangat berisiko bagi kerja KPK ke depan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah pada Rabu (20/6).

Febri berharap bila tujuan pemerintah adalah melakukan kodifikasi perundangan-undangan di Indonesia, jangan sampai pemberantasan korupsi dikorbankan.

"Jika ada sebuah obsesi kodifikasi, janganlah sampai pemberantasan korupsi jadi korban. Belajar dari banyak negara, kodifikasi bukanlah harga mati, kodifikasi tetap tergantung kepada kebijakan sebuah negara dalam penyusunan aturan hukum," ungkap Febri.

KPK pun menunggu waktu pertemuan yang dijanjikan Presiden tersebut.

"Semoga setelah Idul Fitri ini, kita bisa lebih tenang dan jernih membaca masalah yang ada. Hati kita semua dibukakan untuk lebih serius dan sungguh-sungguh memberantas korupsi, tanpa kepura-puraaan, tanpa konflik kepentingan," tegas Febri.

Sebelumnya Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa DPR akan mengetujui untuk disahkannya RUU KUHP pada 17 Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan Indonesia.

KPK mengatakan setidaknya ada 10 hal mengapa RKUHP berisiko bagi KPK dan pemberantasan korupsi yaitu (1) Kewenangan kelembagaaan KPK tidak ditegaskan dalam RUU KUHP, (2) KPK tidak dapat menangani aturan baru dari United Nations Convention againts Corruption (UNCAC) seperti untuk menangani korupsi sektor swasta, (3) RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti.

Selanjutnya (4) RUU KUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, (5) RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi, (6) Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Pemberantasan Tipikor masuk menjadi Tindak Pidana Umum.

Kemudian (7) UU Pemberantasan Tipikor menjadi lebih mudah direvisi, (8) Kodifikasi RUU KUHP tidak berhasil menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab Undang-undang, (9) Terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi, (10) Tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan hal-hal yang telah diatur undang-undang khusus ke dalam RUU KUHP.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018