Palembang, (Antara Babel) - Tak hanya mampu menunjukkan sikap tegas dan berani di ruang sidang, Albertina Ho juga dikenal sebagai sosok hakim bergaya hidup sederhana dan bersahaja dalam kesehariannya.
Kesederhanaan wanita asli Dobo Maluku Tenggara ini, antara lain diketahui dari sahabat karibnya, Irma Hutabarat.
Presenter ternama era tahun 2000-an itu mengunjungi Palembang di Sumatera Selatan, Jumat (11/4), untuk menghadiri pelantikan Albertina sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang sekaligus Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang.
"Meskipun sudah mendapatkan tunjangan puluhan juta rupiah, dan rumah serta mobil dinas. Kak Al (panggilan akrab Albertina, Red) tetap jadi anak 'indekostan' dan ini bukan hal baru bagi para sahabatnya, bahkan kemana-mana tetap naik kereta api," ujar Irma.
Ia mengungkapkan, pada beberapa kesempatan, justru Albertina yang menumpang menginap di hotel, karena para sahabat tidak bisa ditampung di kediamannya.
Padahal, berdasarkan petikan putusan Mahkamah Agung yang dibacakan Ketua PN Palembang diketahui Albertina yang berstatus hakim madya senior akan mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp24,550 juta.
"Jadi, dengan Kak Al ini semuanya serba terbalik menurut kebanyakan orang biasa, tapi bagi dia jika menganggu integritas sebagai seorang hakim maka tidak ada kompromi," katanya lagi.
Menurutnya, Albertina merupakan sosok hakim yang teguh dalam pendirian atau berprinsip serta berani dalam menentukan sikap, karena bukan penganut "asal bapak senang".
"Jika Indonesia ingin memberantas korupsi maka hakimnya harus seperti Albertina, karena merupakan sosok yang tidak terpengaruh dalam mengambil keputusan supaya para koruptor menjadi jera," kata aktivis lingkungan ini lagi.
Hakim Istimewa
Tak hanya istimewa dalam gaya hidup, perjalanan hidup Albertina Ho cukup menarik.
Semenjak kecil, ia sudah terpisah dengan kedua orang tuanya demi menempuh pendidikan di Ambon Maluku, dengan cara menumpang di rumah kerabat.
Kehidupan wanita kelahiran Dobo Maluku Tenggara, 1 Januari 1960 ini pun tidak mudah, karena harus bekerja paruh waktu sebagai pelayan warung kopi demi membiayai hidup sembari menempuh pendidikan tingkat atas.
Karena kegigihannya, ia pun berhasil melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Setelah menyandang gelar sarnaja (lulus strata satu), kesulitan finansial memaksanya harus mendapatkan pekerjaan.
Di sinilah titik awal kiprah Albertina di bidang hukum, yakni ketika melamar menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan diterima pada 1986.
Empat tahun berselang, gelar hakim pun disandang dan ditugaskan di Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah pada 1991--1996.
Karir wanita berambut ikal ini pun semakin menanjak, setelah menjadi hakim di Pengadilan Negeri Temanggung Jawa Tengah, pada 1996--2002, dan juga Pengadilan Negeri Cilacap Jawa Tengah pada 2002--2005.
Namun, tahun 2005 menjadi masa yang istimewa bagi Albertina, karena kiprahnya mulai dikenal setelah menduduki kursi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (dijabat Marianna Sutadi).
Tak lama, kemudian ia ditarik menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2009--2011 yang membawanya pada berbagai kasus yang disorot secara nasional.
Salah satu yang paling mencolok adalah ketika memimpin sidang terdakwa Gayus Tambunan, pengemplang pajak yang kasusnya menghebohkan.
Ia tampil sebagai hakim berkarakter tegas dan berwibawa, sehingga menjadi bahan pembicaraan berbagai pihak.
Pendirian Albertina yang kuat juga terlihat ketika menangani kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa Sigid Haryo Wibisono, dan turut menyeret Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Tak berapa lama kemudian, ia pun dimutasikan ke Pengadilan Negeri Sungailiat pada 11 November 2011.
Ketika itu, pemutasian Albertina mengundang pertanyaan mengingat memberikan ketegasannya saat menangani berbagai kasus yang menjadi sorotan nasional, seperti kasus pengawai pajak Gayus Tambunan, jaksa Urip, hingga pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang turut menyeret Ketua KPK Antasari Azhar.
Pemindahannya dituding sebagai upaya "membuangnya" dari penanganan kasus korupsi yang marak di ibu kota.
"Saya justru tahunya dari media massa bahwa banyak yang mencari kemana saya. Sebenarnya, tidak kemana-mana, masih tetap menjalankan tugas, tapi bedanya di kota kecil yakni Sungailiat," ujar Albertina ketika diwawancara seusai pelantikan.
Kehadiran Albertina menjadi kekuatan baru di Pengadilan Tipikor, seiring dengan meningkatnya jumlah perkara korupsi yang masuk ke Pengadilan Tipikor Palembang Sumsel.
Hingga April 2014, sebanyak 14 kasus tipikor telah disidangkan, sementara pada 2013 terdata sebanyak 53 kasus.
Kiprah hakim Albertina yang tegas dan tiada ampun kepada para koruptor akan ditunggu dari Palembang Sumsel ini
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014
Kesederhanaan wanita asli Dobo Maluku Tenggara ini, antara lain diketahui dari sahabat karibnya, Irma Hutabarat.
Presenter ternama era tahun 2000-an itu mengunjungi Palembang di Sumatera Selatan, Jumat (11/4), untuk menghadiri pelantikan Albertina sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang sekaligus Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang.
"Meskipun sudah mendapatkan tunjangan puluhan juta rupiah, dan rumah serta mobil dinas. Kak Al (panggilan akrab Albertina, Red) tetap jadi anak 'indekostan' dan ini bukan hal baru bagi para sahabatnya, bahkan kemana-mana tetap naik kereta api," ujar Irma.
Ia mengungkapkan, pada beberapa kesempatan, justru Albertina yang menumpang menginap di hotel, karena para sahabat tidak bisa ditampung di kediamannya.
Padahal, berdasarkan petikan putusan Mahkamah Agung yang dibacakan Ketua PN Palembang diketahui Albertina yang berstatus hakim madya senior akan mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp24,550 juta.
"Jadi, dengan Kak Al ini semuanya serba terbalik menurut kebanyakan orang biasa, tapi bagi dia jika menganggu integritas sebagai seorang hakim maka tidak ada kompromi," katanya lagi.
Menurutnya, Albertina merupakan sosok hakim yang teguh dalam pendirian atau berprinsip serta berani dalam menentukan sikap, karena bukan penganut "asal bapak senang".
"Jika Indonesia ingin memberantas korupsi maka hakimnya harus seperti Albertina, karena merupakan sosok yang tidak terpengaruh dalam mengambil keputusan supaya para koruptor menjadi jera," kata aktivis lingkungan ini lagi.
Hakim Istimewa
Tak hanya istimewa dalam gaya hidup, perjalanan hidup Albertina Ho cukup menarik.
Semenjak kecil, ia sudah terpisah dengan kedua orang tuanya demi menempuh pendidikan di Ambon Maluku, dengan cara menumpang di rumah kerabat.
Kehidupan wanita kelahiran Dobo Maluku Tenggara, 1 Januari 1960 ini pun tidak mudah, karena harus bekerja paruh waktu sebagai pelayan warung kopi demi membiayai hidup sembari menempuh pendidikan tingkat atas.
Karena kegigihannya, ia pun berhasil melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Setelah menyandang gelar sarnaja (lulus strata satu), kesulitan finansial memaksanya harus mendapatkan pekerjaan.
Di sinilah titik awal kiprah Albertina di bidang hukum, yakni ketika melamar menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan diterima pada 1986.
Empat tahun berselang, gelar hakim pun disandang dan ditugaskan di Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah pada 1991--1996.
Karir wanita berambut ikal ini pun semakin menanjak, setelah menjadi hakim di Pengadilan Negeri Temanggung Jawa Tengah, pada 1996--2002, dan juga Pengadilan Negeri Cilacap Jawa Tengah pada 2002--2005.
Namun, tahun 2005 menjadi masa yang istimewa bagi Albertina, karena kiprahnya mulai dikenal setelah menduduki kursi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (dijabat Marianna Sutadi).
Tak lama, kemudian ia ditarik menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2009--2011 yang membawanya pada berbagai kasus yang disorot secara nasional.
Salah satu yang paling mencolok adalah ketika memimpin sidang terdakwa Gayus Tambunan, pengemplang pajak yang kasusnya menghebohkan.
Ia tampil sebagai hakim berkarakter tegas dan berwibawa, sehingga menjadi bahan pembicaraan berbagai pihak.
Pendirian Albertina yang kuat juga terlihat ketika menangani kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa Sigid Haryo Wibisono, dan turut menyeret Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Tak berapa lama kemudian, ia pun dimutasikan ke Pengadilan Negeri Sungailiat pada 11 November 2011.
Ketika itu, pemutasian Albertina mengundang pertanyaan mengingat memberikan ketegasannya saat menangani berbagai kasus yang menjadi sorotan nasional, seperti kasus pengawai pajak Gayus Tambunan, jaksa Urip, hingga pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang turut menyeret Ketua KPK Antasari Azhar.
Pemindahannya dituding sebagai upaya "membuangnya" dari penanganan kasus korupsi yang marak di ibu kota.
"Saya justru tahunya dari media massa bahwa banyak yang mencari kemana saya. Sebenarnya, tidak kemana-mana, masih tetap menjalankan tugas, tapi bedanya di kota kecil yakni Sungailiat," ujar Albertina ketika diwawancara seusai pelantikan.
Kehadiran Albertina menjadi kekuatan baru di Pengadilan Tipikor, seiring dengan meningkatnya jumlah perkara korupsi yang masuk ke Pengadilan Tipikor Palembang Sumsel.
Hingga April 2014, sebanyak 14 kasus tipikor telah disidangkan, sementara pada 2013 terdata sebanyak 53 kasus.
Kiprah hakim Albertina yang tegas dan tiada ampun kepada para koruptor akan ditunggu dari Palembang Sumsel ini
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014