Jakarta (Antara Babel) - Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengusulkan agar MPR
RI melakukan amandemen terbatas konstitusi atau UUD NRI 1945 guna
mengembalikan posisi MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara dan
menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN).
"Muhammadiyah
mencermati arah perkembangan bangsa sejak era reformasi, melihat adanya
distorsi demokrasi, salah satunya pada posisi dan kewenangan MPR RI,"
kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ketika bertemu dengan
pimpinan MPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Pada
kesempatan tersebut, Haedar Nashir didampingi sejumlah pimpinan
Muhammadiyah antara lain para ketua yakni Anwar Abbas, Busyro Muqqoddas,
Muhadjir Effendy, Suyatno, serta Abdul Muti
(sekretaris umum), dan Marpuji Ali (bendahara).
Sementara,
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan didampingi para wakil ketua yakni EE
Mangindaan, Oesman Sapta, dan Mahyudin, serta para ketua fraksi yakni
Johhn Pierris (DPD), Sunmanjaya (PKS), Fadholi
(NasDem), Ahmad Basarah (PDIP), Anna Muawanah (PKB).
Menurut
Haedar Nashir, Muhammadiyah berpandangan poin penting dalam amandemen
konstitusi adalah perubahan pasal soal pemilihan presiden dari dipilih
oleh MPR RI menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.
"Namun, dalam
praktiknya amandemen konstitusi yang dilakukan sampai empat kali,
mengubah beberapa pasal lain sehingga jumlah pasal dan ayatnya jadi
bertambah banyak," katanya.
Menurut Haedar, Muhammadiyah melihat
dalam konstitusi yakni UUD 1945 yang dibuat para pendiri bangsa, MPR RI
benar-benar representasi wakil rakyat, baik yang dipilih melalui pemilu,
maupun utusan daerah dan utusan golongan.
Konstitusi yang telah
diamandemen menjadi UUD NRI 1945 saat ini, menurut dia, seperti sudah
tercerabut dari representasi rakyat sehingga sehingga wakil rakyat di
MPR RI tinggal dua yakni DPR dan DPD.
"Dalam tafsir Muhammadiyah,
MPR RI perlu dikembalikan ke posisi sebagai lembaga tertinggi negara.
MPR RI juga perlu memiliki kewenangan membuat GBHN," katanya.
Haedar menegaskan, arah pembangunan negara tidak bisa diserahkan hanya kepada visi presiden pada saat pemilihan presiden.