Jakarta (Antara Babel) - Ahli hukum pidana dari Universitas Islam
Indonesia Muzakir menganggap rekaman kamera pengawas (CCTV) yang
diperlihatkan dalam sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan
terdakwa Jessica Kumala Wongso tidak sah.
Alasannya, menurut dia, video yang ditampilkan oleh para saksi ahli forensik digital didapat dari flash disk yang ketika dipakai dalam pemindahan data dari perekam video digital (DVR) tidak tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP)
"Tanpa BAP, alat bukti tersebut tidak sah. Apalagi jika isinya
sampai terhapus," kata Muzakir saat menyampaikan keterangan sebagai
saksi ahli dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin.
Ia mengatakan bahwa tanpa BAP sebuah alat bukti tidak dapat dijamin
keasliannya. Padahal, keaslian alat bukti penting sesuai dengan Pasal 5
dan Pasal 6 Undang-Undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Sementara aturan tentang pengambilan barang bukti elektronik
tertuang dalam Peraturan Kepala Polri (Perkap) No.10 Tahun 2009 tentang
Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik
Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti
kepada Laboratorium Forensik Polri.
Rekaman CCTV yang memperlihatkan kejadian 6 Januari 2016 di Kafe
Olivier, tempat Mirna minum kopi bercampur sianida yang kemudian
menewaskannya, sebelumnya juga pernah diperdebatkan dalam sidang
Jessica, antara lain karena ada adegan yang terhapus dalam rekaman
tersebut.
Pakar forensik digital Puslabfor Mabes Polri Muhammad Nuh Al Azhar
mengakui ada adegan yang hilang dalam rekaman CCTV saat jaksa
menghadirkannya di sidang sebagai saksi ahli.
Ketika itu dia
mengatakan bahwa kehilangan itu tidak menjadi masalah karena rangkaian
adegan dari awal sampai akhir sudah menunjukkan urutan yang jelas.
Sementara ahli teknologi informatika dan forensik digital yang
dihadirkan kuasa hukum terdakwa, Rismon Hasiholan Sianipar, mengatakan
video rekaman CCTV yang ditampilkan saksi ahli yang dihadirkan oleh
jaksa telah direkayasa dan ada frame gambar yang hilang.
Pemeriksaan Racun
Pengacara terdakwa Otto Hasibuan juga menanyakan perihal tidak
dilakukannya standar pemeriksaan terhadap korban yang diduga meninggal
karena racun sesuai Peraturan Kapolri 10/2009.
"Bagaimana jika peraturan itu tidak dipenuhi?" tanya Otto pada Muzakir.
Muzakir menjawab, kalau tidak dilakukan maka penyebab kematian korban menjadi tidak bisa dipastikan.
"Penyebab kematian tidak bisa diduga-duga," ujar Muzakir.
Pasal 59 paragraf 3 Peraturan Kapolri 10/2009 mengatur pemeriksaan
barang bukti keracunan yang wajib diambil dari korban meninggal adalah
organ atau jaringan tubuh yaitu lambung beserta isi sebanyak 100 gram,
hati sebanyak 100 gram, lalu ginjal 100 gram, jantung 100 gram, jaringan
lemak bawah perut 100 gram dan terakhir otak sebanyak 100 gram. Selain
itu harus diambil cairan darah 10 mililiter.
Selain itu pasal 59 ayat (2) huruf (b) bagian 1 di Peraturan Kepala
Polri 10/2009 juga menyebutkan bahwa "pengambilan barang bukti organ
tubuh/jaringan tubuh dan cairan tubuh untuk korban mati dilakukan oleh
dokter pada saat otopsi".
Seperti diketahui, dalam kasus tewasnya Mirna, penyidik tidak melakukan otopsi karena keluarga korban tidak setuju.
Ahli Hukum Anggap Rekaman CCTV Kasus Jessica Tidak Sah
Senin, 26 September 2016 16:31 WIB