Jakarta (Antara Babel) - Tahun 2016 hanya tinggal beberapa hari saja.
Saatnya jeda sejenak, melihat ke belakang, dan bertanya: bagaimanakah
dunia kemaritiman nasional menapaki 365 hari sepanjang tahun ini?
Lumayan terkejut. Itulah barangkali catatan yang bisa dituliskan
untuk kemaritiman nasional kita. Kita tentu terkejut dengan kasus yang
terjadi di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Bak menyiramkan bensin ke kobaran api, kasus operasi tangkap tangan
(OTT) yang terjadi di Bakamla menjadi peneguhan bahwa laut merupakan
lahan yang amat basah untuk korupsi dan tindak kejahatan lainnya.
Dalam OTT kemaritiman sebelumnya jumlah uang yang berhasil digerebek
terhitung kecil, berkisar puluhan juta saja, namun kasus Bakamla
jumlahnya terbilang fantastis, menyundul Rp2 miliar.
Tak hanya itu. Karena Bakamla merupakan salah satu elemen dari
Satgas 115 pemberantasan "illegal, unreported and unregulated (IUU)
fishing", apa yang terjadi di kantor pusatnya jelas-jelas merupakan
tamparan keras.
Ia yang seharusnya menjadi sapu untuk bersih-bersih sampah atau
kotoran, alih-alih menjadi sampahnya. Singkat cerita, korupsi Bakamla
boleh dibilang kasus kejahatan maritim besar, jika tidak mau disebut
terbesar, di era Poros Maritim Dunia saat ini.
Desakan agar lembaga tersebut dibubarkan akhirnya muncul ke
permukaan. Ada yang disuarakan oleh legislator, ada pula yang
dikemukakan oleh kalangan pengamat dengan segala argumentasinya.
Tentu ada pula pihak yang ingin Bakamla dipertahankan. Mereka
beranggapan praktik korupsi dijalankan oleh oknum, bukan merupakan
kebijakan kelembagaan. Mencermati pemberitaan media terkait korupsi
Bakamla, keberadaan dua kubu ini dapat terlihat cukup jelas.
Bagaimanakah kasus korupsi Bakamla harus dimaknai? Di manakah akar
persoalannya, apakah ia lebih merupakan aksi individual atau ada celah
institusional yang memungkinkan praktik pelanggaran itu terjadi?
Perjalanan Bakamla
Badan Keamanan Laut (Bakamla) merupakan kelanjutan dari Badan
Koordinasi Keamanan Laut alias Bakorkamla. Bakamla lahir sejurus
diundangkannya Undang-Undang No. 32/2014 tentang Kelautan yang disahkan
oleh DPR RI periode 2009-2014 menjelang mereka purna tugas.
Undang-undang tersebut merupakan inisiatif dari pihak DPR RI,
bekerja sama dengan DPD RI yang menyiapkan draft atau rancangannya.
UU itu sebenarnya mengatur hal-hal yang sudah diatur oleh UU yang
lain, sehingga akhirnya tak terhindarkan bahwa ia hanya membahas isu-isu
non-teknis seperti nilai, direktif/arahan atau yang lain.
Tiba-tiba, munculah pasal-pasal tentang Bakamla. Mereka sepertinya
hanya menyempil dan nampaknya dimasukkan pada detik-detik terakhir
proses drafting. Memang seperti itulah kenyataannya.
Bakamla menemplok di UU Kelautan, sebab sebelumnya sudah kecewa
terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) "Coast Guard" yang
diajukan oleh Kemhub, menindaklanjuti amanat UU No. 17/2008 tentang
Pelayaran.
Menurut penjelasan UU Pelayaran 2008, pendirian "coast guard" atau
penjagaan laut dan pantai adalah dengan memberdayakan Bakorkamla dan
menguatkan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), sebuah unit Kemhub
yang membidangi keselamatan dan keamanan di laut.
Informasi yang ada mengungkapkan, RPP Coast Guard versi terakhir --
ada tiga versi sebelumnya -- sudah tidak lagi melibatkan Bakorkamla
sebagai salah satu elemen pendiri penjaga laut dan pantai Indonesia.
Patah arang, Bakorkamla merapat ke Senayan yang saat itu tengah
membahas RUU Kelautan. Publik tahu bagaimana akhirnya cerita perjuangan
Bakorkamla itu.
Setelah RUU Kelautan diundangkan, eksistensi Bakamla hanya diatur
oleh Peraturan Presiden (Perpres) No. 178/2014, dan tidak ada Peraturan
Pemerintah atau PP yang berstatus lebih tinggi dan kuat dibanding
Perpres.
Inilah salah satu sebab mengapa seluruh pejabat eselon satu masih
berstatus Plt -- pelaksana tugas. Hingga hari ini, tidak terdengar KKP
selaku "leading agency" UU Kelautan membahas PP yang diamanatkannya.
Kendati badan baru, Bakamla menyerap hampir seluruh nilai
kelembagaan (corporate values) yang melekat pada pendahulunya, seperti
perilaku militeristik misalnya.
Adapun nilai ini diserap dari instansi kepada mana Bakamla
menginduk, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan. Di sini berkumpul para tentara dan polisi, sehingga atmosfer
yang terhirup pun "rasa tentara". Belum berkembang nilai-nilai yang khas
Bakamla.
Ambisi Besar
Bakamla juga meneruskan saja program yang dirancang Bakorkamla.
Proyek surveillance yang akhirnya membelit Deputi Informasi, Hukum dan
Kerja sama Bakamla, ESH, merupakan kelanjutan dari program monitoring
pendahulunya yang sudah membangun beberapa stasiun pemantau di beberapa
provinsi. Bakamla juga sudah, tengah, dan akan membangun armada kapal
patroli.
Di sisi lain, proyek merupakan hal yang lazim, sehingga tidak ada
masalah dengan proyek-proyek Bakamla. Hanya saja, kedua proyek tersebut
tergolong ambisius karena APBN yang ada sangat ketat.
Di samping itu, proyek-proyek itu sepertinya tidak berkoordinasi
dengan pihak yang bisa terlibat dalam perencanaan proyek nasional
seperti Bappenas, Kemenkeu dan Banggar DPR RI.
Ketiadaan koordinasi itu terasa sedikit mengganggu karena yang
diadakan Bakamla (satelit dan kapal patroli) sudah dimiliki oleh
instansi bahkan dengan spesifikasinya yang lebih tinggi.
Lebih dari itu, untuk apa Bakorkamla/Bakamla yang memiliki tugas
mengkoordinasi harus memiliki aset? Bukankah mereka bisa memanfaatkan
fasilitas yang dimiliki oleh instansi yang ada dalam lingkup koordinasi
mereka?
Ada kemubaziran di sini. Rasanya korupsi di Bakamla yang terjadi di
penghujung tahun 2016 ini bukan semata-mata soal kerakusan personal. Ada
masalah tata kelola yang tidak tepat yang membuat pegawainya lincah
memanfaatkan kesempatan.
Dari sana pulalah barangkali upaya membenahi Bakamla bisa dimulai. Dimulai dari pembenahan kelembagaan.
Alangkah lebih baiknya Bakamla menjadi lembaga koordinasi yang
menyinergikan berbagai instansi yang sudah ada lebih dahulu di laut.
Ia tidak perlu aset untuk itu, tetapi cukup berkomunikasi yang
intensif dengan mitranya. Sejak menjadi Bakamla, lembaga ini menjadi
sangat aktif melakukan patroli; sepertinya "berlomba" dengan instansi
dalam lingkup koordinasinya.
Pilihan kedua ini jelas akan menimbulkan kemarahan dari pegawai
Bakamla dan akan dianggap tidak mendukung Poros Maritim Dunia mengingat
Bakamla dianggap sebagai wujud dari visi poros dimaksud.
Pilihan itu adalah Bakamla dibubarkan dan pemerintah dapat mendirikan "coast guard" sebagai gantinya.
*Penulis, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Catatan Tutup Tahun Kemaritiman Kita
Sabtu, 24 Desember 2016 12:27 WIB