Pangkalpinang (ANTARA) - Tanggal 17 Agustus selalu kita rayakan dengan gegap gempita. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut jalan, orasi tentang kemerdekaan menggema, dan slogan “Merdeka!” menggugah semangat bangsa. Namun, di balik euforia itu, ada ironi yang pahit: kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan oleh mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan penegak demokrasi para jurnalis.
Baru-baru ini, Bangka kembali berduka. Seorang jurnalis lokal meninggal dalam kondisi yang menyisakan banyak pertanyaan. Ia dikenal kritis, tak segan membongkar dugaan penyimpangan, dan berdiri tegak di atas prinsip independensi pers.
Kepergiannya memantik kekhawatiran bahwa risiko menjadi jurnalis di negeri ini masih tinggi, apalagi bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan kepentingan politik, ekonomi, atau bahkan jaringan kekuasaan yang tak kasat mata.
Pasal 28F UUD 1945 dengan tegas menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, termasuk bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 bahkan menyebutkan, pers memiliki kemerdekaan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi. Tapi apa arti semua itu jika di lapangan, seorang jurnalis masih dibungkam dengan intimidasi, ancaman, bahkan nyawa yang melayang?
Kemerdekaan pers bukan sekadar hak untuk menulis, tetapi juga jaminan keamanan untuk bersuara tanpa rasa takut. Tanpa itu, jurnalis hanya akan menjadi penulis yang terpenjara di balik “ruang redaksi” yang dikendalikan kepentingan. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis di daerah yang tak pernah tuntas, menambah daftar panjang luka demokrasi yang tak kunjung sembuh.
Peringatan Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi momentum refleksi. Apalah arti “merdeka” jika jurnalis yang berani membela kebenaran justru harus membayar dengan nyawa? Apalah arti “kemerdekaan” jika pemberitaan masih harus menunggu izin kekuasaan atau pengiklan besar?
Agar tragedi seperti yang terjadi di Bangka tidak terulang, pemerintah harus mengambil langkah tegas dan terukur. Kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak boleh berhenti pada penangkapan pelaku lapangan, tetapi harus diusut hingga ke aktor intelektual yang mungkin berada di balik layar. Proses hukum harus transparan, terbuka untuk pengawasan publik, dan bebas dari intervensi pihak manapun.
Negara juga perlu membangun sistem perlindungan yang nyata, bukan hanya jargon. Sebuah mekanisme darurat, misalnya hotline yang terhubung langsung dengan aparat keamanan harus tersedia bagi jurnalis yang menghadapi ancaman, baik di lapangan maupun secara daring. Aparat penegak hukum pun perlu mendapatkan pelatihan khusus terkait kebebasan pers, sehingga memahami batasan dan kewenangan mereka ketika berhadapan dengan pekerjaan jurnalistik.
Selain itu, keamanan jurnalis tak lagi cukup hanya di lapangan. Di era digital, ancaman juga datang melalui peretasan, doxing, dan teror di media sosial. Karena itu, pelatihan keamanan digital dan prosedur keselamatan liputan harus menjadi program rutin yang difasilitasi oleh pemerintah bekerja sama dengan organisasi pers.
Namun, perlindungan jurnalis bukan hanya tugas negara. Masyarakat pun memegang peran penting. Menghormati kerja jurnalis berarti memahami bahwa mereka bekerja untuk kepentingan publik. Kritik boleh, bahkan perlu, tetapi intimidasi dan kekerasan adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi itu sendiri.
Dukungan publik terhadap media yang independen juga menjadi benteng kebebasan pers. Dengan memilih membaca, berlangganan, atau menyumbang pada media yang kredibel dan bebas intervensi, masyarakat ikut memastikan ruang redaksi tidak tunduk pada tekanan politik atau bisnis.
Di saat yang sama, publik perlu menjadi mitra jurnalis dalam melawan disinformasi. Menolak menyebarkan berita yang belum terverifikasi dan membantu melaporkan hoaks adalah bentuk solidaritas yang tak kalah penting. Kemudian ketika ada jurnalis yang terancam, aksi dukungan baik melalui kampanye media sosial, petisi, maupun aksi solidaritas harus dilakukan untuk mengirim pesan jelas bahwa kekerasan terhadap jurnalis adalah garis merah yang tak boleh dilanggar.
Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga, termasuk jurnalis, dapat bersuara tanpa rasa takut. Ingatlah kemerdekaan itu tak datang dengan sendirinya, ia harus dijaga, dibela, dan diperjuangkan bersama.
Merdeka bukan hanya warisan yang kita rayakan, melainkan amanah yang harus kita tegakkan, terutama untuk mereka yang menjaga cahaya kebenaran tetap menyala di tengah gelapnya ancaman.
*) Arifah, S.I.Kom., M.A adalah Dosen Prodi Jurnalistik Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
