Jakarta (Antara Babel) - Ini tidak ada hubungannnya dengan keributan yang mengharu-biru.
Juga tidak ada kaitannya dengan revolusi yang berdarah-darah, apalagi yang melibatkan mereka yang dianggap berdarah biru.
Revolusi Biru (Blue Revolution) dalam tulisan ini adalah sebuah
gerakan besar secara drastis untuk mengubah pola pikir atau "mind set"
bangsa Indonesia untuk berorientasi ke laut. Tujuannya adalah:
"Membangun Identitas Manusia Maritim Indonesia".
Ini berarti membangun manusia Indonesia "baru" dengan identitas
"baru" yang sadar bahwa hari depan, kemakmuran, dan kehormatannya
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengolah kekayaan potensi sumberdaya
maritim yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Membangun identitas manusia berarti membentuk jati diri atau
karakter. Ini adalah sebuah proses "pembudayaan", yakni menanamkan dan
mengamalkan nilai-nilai dalam perilaku kehidupan sehari-hari, sehingga
menjadi sebuah "kebiasaan" yang kemudian melalui transformasi menjadi
sebuah "kebudayaan".
Ini adalah sebuah proses yang memakan waktu lama dan biaya besar
dengan landasan komitmen yang konsisten, jangan gampang berubah. Wahana
paling efektif untuk transformasi adalah "pendidikan", baik di keluarga,
sekolah, masyarakat maupun di tempat kerja.
Selama ini pola pikir manusia Indonesia masih terlalu
"berorientasi daratan" (land-minded), mulai dari kurikulum pendidikan
hingga kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara negara.
Untuk mengubah "land-mindedness" yang sudah terlalu lama berurat
berakar atau karatan, menjadi "sea-mindedness" berarti kurikulum
pendidikan dan kebijakan-kebijakan penyelenggaraan negara kita harus
diubah secara drastis atau revolusioner.
Seseorang, sekelompok orang, sebuah masyarakat, dan suatu bangsa
mau berubah secara cepat umumnya jika eksistensinya terancam
Hari depan, kedaulatan, kehormatan
Bangsa-bangsa
maju sudah lama menyadari bahwa laut adalah "Lebensraum" (ruang
kehidupan manusia) masa depan. Alasannya, daratan diperkirakan tidak
akan lagi mampu menampung keperluan umat manusia, baik dalam suplai
bahan pangan, obat-obatan dan energi, maupun tempat tinggal.
Jadi, hari depan umat manusia, termasuk manusia Indonesia,
terletak di laut! Apakah kita mau hidup atau mati secara pelan-pelan
dalam kemiskinan dan kehinaan?
Demikian strategisnya laut, karena itu laut adalah wilayah
kedaulatan penting yang diincar, diperebutkan dan dipertahankan oleh
banyak bangsa dan negara sejak dulu kala sampai saat ini.
Menguasai laut, terutama selat, dari jaman dulu berarti menguasai
"jalan air" sebagai jalur perdagangan yang berarti mengendalikan
perekonomian dan sekaligus pertahanan dan keamanan suatu bangsa dan
negara. Jadi, jangan heran, kalau kini banyak sengketa bilateral dan
internasional terkait wilayah laut, seperti klaim atas Ambalat dan Laut
Cina Selatan.
Bangsa yang jaya di masa lampau adalah bangsa yang menguasai
lautan dengan teknologi pelayaran, astronomi, pembangunan kapal dan
armada perangnya. Karena itu, Kerajaan Inggris punya semboyan "Britain
rules the waves". (Gara-gara banyak korupsi semboyan itu di Indonesia
diplesetkan menjadi "Indonesia waves the rules" atau Indonesia membuang
aturan-aturan).
Sejarah penjajahan bangsa Eropa atas bangsa-bangsa lain di luar
benua Eropa juga bermodalkan penguasaan atas ilmu dan teknologi
kelautan, karena ekspedisi untuk menjajah bangsa-bangsa lain dilakukan
lewat laut.
Kini, berkat kemajuan ilmu dan teknologi, laut menjadi wilayah
kedaulatan yang semakin penting karena di dalam laut tidak hanya
ditemukan ikan, tetapi juga bahan-bahan tambang, terutama minyak dan
gas, sumber energi lain, bahan pangan, dan obat-obatan.
Laut dengan pantai daratan yang indah, gelombang yang tinggi,
angin yang mendesau juga merupakan obyek pariwisata yang mempesona,
termasuk wisata olah raga.
Laut juga menginspirasi lahirnya karya sastra, prosa dan puisi
yang indah dan film yang indah dan bermutu. Misalnya, novel terkenal
"The Old Man and the Sea" karya Ernest Hemingway.
Laut juga menumbukan perdagangan dan pertukaran budaya antar
pulau dan bangsa serta berbagai macam industri berteknologi tinggi untuk
pengolahan kekayaan alamnya, perkapalan, konstruksi tahan air, dan
pertahanan/keamanan.
Pokoknya, laut menjanjikan hampir segala kebutuhan manusia.
Harapan Besar Dunia
Kerajaan-kerajaan besar Indonesia dulu juga terkenal dengan
keunggulan mereka dalam menguasai lautan. Kerajaan Sriwijaya yang
berpusat di Pulau Sumatera dan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Pulau
Jawa adalah dua imperium yang dihormati bangsa-bangsa lain di luar
kawasan Nusantara.
Setelah itu, muncul Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, Kerajaan
Demak di Jawa, dan Kerajaan Goa di Sulawesi serta beberapa kerajaan lain
sebagai penerus kedua imperium tersebut. Tetapi, mereka kalah bersaing
dengan bangsa-bangsa Eropa yang bergerak ke Nusantara untuk mencari
rempah-rempah.
Kapal bangsa Eropa lebih besar dengan tiang layar yang lebih
tinggi dan layar yang lebih lebar, sehingga bisa melaju lebih cepat.
Ditemukannya mesiu dan mesin uap, semakin menambah keunggulan armada
laut bangsa Eropa atas kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Dulu pelaut-pelaut Nusantara berlayar sampai ke Madagaskar dan
wilayah Afrika Selatan dan meninggalkan jejak peradaban di wilayah itu,
di antaranya adalah ditemukannya kosa kata yang sama dengan bahasa
daerah Indonesia.
Keunggulan nenek moyang kita itulah yang kemudian mengilhami
lahirnya lagu "Nenek Moyangku Orang Pelaut". Sayang, lagu itu sekarang
sudah jarang diperdengarkan, dibandingkan pada tahun 50-an dan 60-an
yang menjadi lagu wajib untuk dihafal anak-anak sekolah. Padahal,
katanya kita bangsa bahari.
Benua Maritim Terbesar
Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas 17 ribu pulau lebih dengan
lautan yang menyatukannnya, bukan memisahkannya, menurut Badan Kelautan
Amerika Serikat (NOA) adalah sebuah benua maritim (maritime continent).
Menristek Prof Dr. B J Habibie yang kemudian menjadi presiden
ke-3 RI sering mengumandangkan Indonesia sebagai Benua Maritim terbesar
di dunia.
Secara geografis letak kepulauan Indonesia di antara dua benua
Asia dan Australia dan dua lautan besar, Samudera Hindia dan Lautan
Pasifik, dan di bawah Garis Khatulistiwa memegang peranan penting dalam
penentuan cuaca dan iklim dunia.
Indonesia adalah negara terkaya dalam keanekaragaman hayati laut
(marine biodiversity) di dunia. Jika digabung dengam keanekaragaman
hayati daratan, Brazil berada di urutan pertama dan Indonesia kedua.
Posisi geografisnya yang strategis dan kekayaan sumber daya
alamnya yang melimpah telah menjadikan Indonesia sebagai "Lebensraum"
masa depan terbesar umat manusia sedunia.
Itu bukan sesuatu yang mustahil. Apalagi, akhir-akhir ini mulai
diungkapkan temuan bahwa Benua Atlantis yang hilang itu sebenarnya
adalah wilayah Nusantara atau NKRI sekarang ini.
Menyimak fakta-fakta dan ceritera itu, maka tidak ada pilihan
lain bagi bangsa Indonesia kecuali segera melancarkan Revolusi Biru
(Blue Revolution).
Dunia pernah melancarkan Revolusi Hijau (Green Revolution) tahun
1970an dalam upaya mencukupi kebutuhan pangan manusia. Indonesia
berkat revolusi itu pernah berhasil mencapai swasembada beras.
Presiden Soeharto atas keberhasilan itu mendapat Penghargaan dari
FAO (Food and Agriculture Organization) di markas besarnya di Roma,
Italia tahun 1985. (Saya meliput peristiwa itu sebagai wartawan ANTARA
yang berkedudukan di Eropa).
Revolusi Hijau telah mendorong pembukaan hutan sebagai lahan
pertanian dan penggunaan bahan-bahan kimia untuk pupuk dan pestisida
secara berlebihan. Bersamaan itu, eksploitasi energi fosil yang
bersumber di daratan telah merusak lingkungan hidup.
Akibatnya, bumi makin panas dan terjadi perubahan iklim dunia
(global warming and global climate change). Lalu muncullah gerakan pro
penyelamatan lingkungan seperti Green Peace, Green Civilization, Green
Culture, dan Green Lifestyle.
Dampak kerusakan lingkungan itu kini kita rasakan dalam bentuk
ketidakteraturan musim, banjir, kekeringan, dan kekurangan pangan.
(Bersambung).
*Penulis, Wartawan sejak 1973, pernah menjadi Pemimpin Umum/Pemred
Koran Republika, Pemimpin Umum (sekarang Dirut)/Pemred Lembaga Kantor
Berita ANTARA, Sekjen PWI, Sekjen Organisasi Kantor-kantor Berita Asia
Pasifik (OANA), Dirut RRI dan Ketua Satgas Pramuka Peduli/Waka Kwarnas
Gerakan Pramuka, Ketua KELK (Komisi Evaluasi Lingkungan Kota) Provinsi
DKI. Kini: Ketua Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial
(DNIKS) bidang Relawan dan Peduli Bencana, Ketua Umum IRSI (Ikatan
Relawan
Sosial Indonesia), pegiat kepramukaan dan aktivis sosbudling
(sosial, budaya, dan lingkungan) serta pemain Kethoprak (sandiwara
tradisional Jawa). Penulis sejumlah buku, termasuk Jurnalisme Profetik:
Mengemban Tugas Kenabian dan kolumnis.
Telaah - Revolusi Biru (1): Menyongsong Indonesia baru
Senin, 6 Februari 2017 23:31 WIB