Pangkalpinang (ANTARA) - Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Bangka Belitung mengikuti Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelaksanaan Pidana Mati yang digelar secara daring pada Rabu (8/10). Kegiatan ini menjadi wadah diskusi nasional yang melibatkan pejabat pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, serta organisasi profesi hukum dari berbagai daerah di Indonesia.
Kepala Kanwil Kemenkum Babel, Johan Manurung, menyampaikan bahwa kegiatan tersebut memberikan wawasan baru tentang pelaksanaan pidana mati yang lebih manusiawi dan berkeadilan.
“Kanwil sangat mendukung reformasi hukum yang memperkuat sistem hukum nasional dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia,” ujar Johan dalam keterangan tertulis yang diterima di Pangkalpinang, Jumat.
Ia menambahkan, pembahasan mendalam dalam webinar ini membantu jajarannya memahami prinsip-prinsip pelaksanaan pidana mati yang sejalan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, yang menjelaskan bahwa penyusunan RUU ini merupakan amanat Pasal 102 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang mulai berlaku 2 Januari 2026. Menurutnya, RUU ini menggantikan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum modern.
Ia menegaskan bahwa terdapat perubahan paradigma dalam pelaksanaan pidana mati. Hukuman tersebut kini dipandang sebagai pidana bersyarat dengan masa percobaan, bukan lagi hukuman mutlak. Ia menyebut, RUU ini bertujuan memastikan pelaksanaan pidana mati dilakukan secara manusiawi serta menjamin perlindungan hak asasi manusia bagi terpidana.
“RUU ini mengatur secara komprehensif tahapan pelaksanaan pidana mati, mulai dari penetapan, pemberitahuan, eksekusi, hingga penanganan jenazah,” ujarnya.
Selain itu, mekanisme masa percobaan memungkinkan terpidana untuk mengubah hukumannya menjadi seumur hidup melalui keputusan Presiden.
Sementara itu, Plt. Wakil Jaksa Agung, Dr. Asep N. Mulyana, menegaskan pentingnya peran hakim dalam memastikan pelaksanaan pidana mati sesuai prinsip hukum dan kemanusiaan. Ia menilai pidana mati harus menjadi ultimum remedium atau upaya terakhir setelah semua jalur hukum ditempuh.
Perwakilan Polri, Kombes Pol. Toni Binsar, menambahkan bahwa kepolisian siap melaksanakan eksekusi pidana mati sesuai ketentuan yang berlaku. Ia menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak terpidana menjelang eksekusi, termasuk hak atas kesehatan, bantuan hukum, dan kunjungan keluarga.
Dalam sesi diskusi, para peserta menyoroti pentingnya keseimbangan antara ketegasan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Sejumlah akademisi dan praktisi hukum menilai RUU ini harus menjadi pijakan menuju pelaksanaan pidana mati yang lebih transparan, akuntabel, dan menghormati martabat manusia.
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya reformasi hukum pidana nasional yang membuka ruang partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan yang lebih manusiawi, RUU Pelaksanaan Pidana Mati diharapkan dapat memperkuat sistem peradilan pidana Indonesia dan membawa perubahan positif dalam penegakan hukum yang berkeadilan.
