Jakarta (Antara Babel) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengkritisi kebijakan "land swap" lahan gambut milik pemegang konsesi yang ada di area fungsi lindung dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) tentang Perubahan P.12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin, mengatakan jika ada temuan 2,5 juta hektare (ha) konsesi di kawasan gambut dari empat juta ha yang memiliki fungsi lindung atau kubah gambut, maka seharusnya langkah yang ditempuh oleh pemerintah adalah review perizinan dan mengurangi luasan konsesi terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.
Nur Hidayati menambahkan bahwa kebijakan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan "land swap" menunjukkan semakin kukuhnya kekuatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk penguasaan sumber-sumber agraria dengan pemberian fasilitas berupa lahan baru, padahal korporasi ini secara terang-terangan melanggar hukum dan Undang-Undang (UU).
Walhi menilai kebijakan yang memberikan kemewahan kepada korporasi ini justru dapat melemahkan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan, katanya. Pemerintah baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun Badan Restorasi Gambut (BRG) harus membuka nama-nama perusahaan yang ada dalam peta indikatif restorasi gambut, khususnya yang berada di kubah gambut.
Dari advokasi yang dilakukan oleh Walhi is mengatakan bahwa selama ini industri perkebunan baik HTI maupun sawit memang tidak berupaya meningkatkan produktivitas kebun mereka, namun terus menargetkan perluasan konsesi.
Di sisi yang lain, dari fakta tragedi kebakaran menandakan bahwa perusahaan sesungguhnya tidak mampu mengelola dan mengawasi wilayah konsesi mereka. "Inilah yang kami tengarai sebagai modus land banking, kejahatan perusahaan untuk menguasai tanah secara legal," ujar Nur Hidayati.
"Dari 800.000 ha lahan pengganti yang sudah disiapkan oleh KLHK yang dikatakan bersumber dari hutan produksi yang belum dibebani izin dan area izin penebangan yang sudah tidak lagi beroperasi, pertanyaan kritisnya adalah dimana lokasi dari lahan pengganti tersebut? Kami khawatir lahan pengganti ini justru yang dapat dijadikan sebagai tanah objek reformasi agraria," lanjutnya.
Menurut dia, harusnya lahan yang tersedia ini diredistribusi kepada rakyat yang tidak memiliki tanah sebagaimana yang menjadi janji pemerintah.
Terakhir, sebagaimana yang telah publik ketahui bersama bahwa Presiden Joko Widodo berkali-kali menegaskan komitmen pemerataan terhadap sumber-sumber agraria untuk menjawab ketimpangan sumber-sumber agraria selama ini. Saat Presiden ingin mengatasi ketimpangan, pemerintahan di bawahnya justru mengeluarkan kebijakan "land swap" yang akan semakin melanggengkan ketimpangan tersebut.
"Kami khawatir, kebijakan 'land swap' ini justru akan menghambat komitmen Presiden untuk mengatasi ketimpangan dan kemiskinan, mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat, serta bagian dari penyelesaian konflik struktural sumber daya alam atau sumber-sumber agraria," ujar dia.
Sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang mendorong revisi Rencana Kerja Usaha bagi industri, khususnya 101 pemegang izin hutan tanaman industri yang berada di rawa gambut yang memiliki fungsi lindung dengan luas mencapai lebih dari 2,5 juta ha dari sekitar empat juta ha yang harus direstorasi melalui empat Peraturan Menteri LHK yang merupakan turunan dari PP 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Walhi Kritisi Kebijakan "Land Swap" Lahan Gambut
Senin, 27 Februari 2017 10:16 WIB
Kami khawatir, kebijakan 'land swap' ini justru akan menghambat komitmen Presiden untuk mengatasi ketimpangan dan kemiskinan, mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat, serta bagian dari penyelesaian konflik struktural sumber daya alam atau sumber-sumber