Jakarta (Antara Babel) - Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah terus
berupaya meningkatkan pajak menjadi salah satu senjata pamungkas
mendorong pemerataan ekonomi dan menghadirkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
"Dengan basis pajak yang kuat bisa membiayai program-program
strategis dan prioritas nasional kita," kata Presiden saat berpidato
dalam acara sosialisasi tahap akhir amnesti pajak di Jakarta
Internasional Expo (JI-Expo) Kemoyoran, Jakarta, Selasa.
Presiden dalam kesempatan itu memamerkan berbagai pembangunan
infrastruktur di Indonesia, mulai dari pembangunan jalan tol, pelabuhan,
hingga Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang tidak terlepas dari pajak
yang dibayarkan oleh masyarakat.
Jokowi juga menyebut progres pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera
yang dikerjakan siang malam dan rajin dicek agar cepat selesai. "Kerja
kalau nggak ada yang kontrol, nggak dikawal, nggak jadi-jadi. Kalau
mangkrak saya yang digebuk," kata Presiden.
Jokowi juga mengakui bahwa menjadi pemimpin harus berani mengambil
resiko, karena setiap putusan yang diambil pasti akan menemui
permasalahan.
"Setiap memutuskan pasti ada masalahnya, itu resiko yang dipegang
setiap memutus. Itu pasti ada resikonya, pemimpin itu harus berani ambil
resiko. Kalau ngak akan maju mundur, maju mundur, kalau kena majunya
ngak apa-apa, kalau mundurnya," katanya.
Presiden mencontohkan pembangunan MRT (mass rapid transit) yang
direncanakan 26 tahun dan dia putuskan dilanjutkan saat dirinya menjabat
Gubernur DKI Jakarta.
"Saya dipaparkan saat jadi gubernur untung rugi. Kalau dipaparkan
untung rugi pasti rugi dan tidak dimulai-mulai," ungkapnya.
Presiden mengatakan dalam memutuskan pembangunan infrastruktur itu
harus dilihat secara makro, yakni kemacetan yang terjadi di Jakarta
membuat kehilangan Rp28 triliun per tahun di Jakarta.
"Kalau tidak diputuskan makin mahal harganya, duit kita hilang
semakin banyak. Jangan dihitung MRT saja, nanti PSO kan bisa, subsidi
pemerintah," jelasnya.
Presiden juga mengaku saat memutuskan pembangunan MRT ini banyak
mendapatkan kritikan namun dirinya tetap melanjutkan program tersebut.
"Saya ingat baru buat MRT 15 km ramainya, kereta cepat baru buat 148
km ramainya, padahal di Tiongkok per tahunnya buat kereta cepat itu
2.000 km per tahun. Kita 148 km ramainya, kapan kita maju, tapi saya ini
kupingnya tebal, kalau kupingnya tipis tidak dimulai," katanya.
Presiden: Pajak Senjata Pamungkas Pemerataan Ekonomi
Selasa, 28 Februari 2017 21:04 WIB