Jakarta (Antara Babel) - Kalangan pendukung pengendalian tembakau
mengapresiasi rencana pemerintah yang akan menyederhanakan sistem cukai
tembakau sehingga dapat membuat kebijakan pengendalian tembakau menjadi
lebih efektif.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan Goro Ekanto telah mengatakan pemerintah berencana
menyederhanakan sistem cukai rokok dari 12 lapis menjadi sembilan lapis.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi
mengatakan pengurangan lapisan tarif cukai akan dilakukan secara
bertahap dengan menyisakan delapan atau sembilan lapis pada 2018.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan berbagai
macam peraturan yang rumit dapat menimbulkan komplikasi dari sisi
kepatuhan sehingga perlu disederhanakan.
Para pendukung pengendalian tembakau berharap penyederhanaan sistem
cukai produk tembakau yang sebelumnya terdiri dari 12 lapisan menjadi
semakin sedikit secara bertahap dapat mengembalikan filosofi cukai
sebagai instrumen pengendalian, bukan semata-mata pendapatan negara.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai memang menyebutkan
karakteristik barang kena cukai yang salah satunya konsumsinya perlu
dikendalikan.
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang tersebut menyebutkan barang-barang
yang terkena cukai memiliki sifat atau karakteristik yang konsumsinya
perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkunan hidup dan
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara negara demi keadilan dan
keseimbangan.
Barang-barang kena cukai menurut Undang-Undang tersebut adalah
produk hasil tembakau, etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol.
Salah satu pihak yang mengapresiasi rencana pemerintah
menyederhanakan sistem cukai produk tembakau dari 12 lapis menjadi
sembilan lapis adalah Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia.
Penyederhanaan sistem cukai akan meningkatkan keefektifan kebijakan
cukai dalam pengendalian konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan
negara, kata peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah
Ahsan.
Sistem cukai saat ini menghasilkan rentang harga rokok yang sangat
lebar sehingga tujuan cukai untuk mengendalikan konsumsi rokok mengalami
hambatan.
Saat ini harga rokok termurah Rp400 per batang atau Rp4.800 per
bungkus, sedangkan harga rokok di kelompok tertinggi sekitar Rp1.215 per
batang atau Rp14.580 per bungkus.
"Hal itu membuat rokok masih terjangkau oleh masyarakat, bahkan
untuk mereka yang termasuk kelompok rentan seperti anak-anak, remaja dan
rumah tangga miskin," tuturnya.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
sebelumnya pernah mengusulkan peta jalan reformasi kebijakan cukai
hasil tembakau yang diserahkan kepada Kementerian Keuangan sebagai
masukan dalam pembuatan kebijakan.
Peta jalan tersebut merekomendasikan agar pemerintah
menyederhanakan sistem cukai rokok dari 12 batasan tarif menjadi dua
batasan tarif dalam kurun waktu lima tahun.
Menurut peta jalan yang diusulkan tersebut, pada 2016 batasan tarif
cukai rokok disederhanakan dari 12 lapis menjadi sembilan lapis,
kemudian berturut-turut dari 2017 hingga 2021 disederhanakan menjadi
lima, empat, tiga dan dua lapisan.
Tahapan awal penyederhanaan ditujukan terutama kepada industri
rokok besar yang selama ini mendominasi pasar rokok di Indonesia.
Sementara industri rokok kretek tangan skala menengah dan kecil
dilakukan penggabungan cukai pada tahun kelima.
Dengan rentang waktu lima tahun, pemerintah dan industri rokok
kretek tangan menengah dan kecil memiliki cukup waktu untuk
mempersiapkan diri.
Namun, peta jalan usulan Lembaga Demografi Universitas Indonesia
itu ternyata tidak diakomodasi pemerintah karena peraturan Menteri
Keuangan tentang tarif cukai rokok pada 2017 tidak ada pengurangan
batasan tarif.
"Jumlah batasan tarif pada 2017 tetap 12 lapis seperti kondisi pada
2017. Hal itu sangat disayangkan karena bila mengikuti peta jalan yang
kami usulkan maka pada 2017 sudah terjadi pengurangan batasan tarif
cukai menjadi sembilan lapis," katanya.
Bila penyederhanaan itu dilakukan pada 2017, pemerintah memiliki
potensi mendapatkan tambahan penerimaan negara dari cukai tembakau
hingga Rp2,3 triliun dengan asumsi tarif cukai sigaret putih mesin sama
dengan sigaret kretek mesin.
Revisi Undang-Undang
Terpisah, Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan
(PKEKK) Universitas Indonesia Prof Budi Hidayat mengusulkan revisi
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Terutama klausul yang mengatur batas maksimal cukai rokok terhadap
harga jual eceran sehingga dapat mendongkrak ruang fiskal pemerintah
secara signifikan, kata Budi.
Kebijakan cukai dengan mengambil basis harga jual eceran terlebih
dahulu lebih banyak dinikmati oleh industri, bukan pemerintah.
Alternatif kebijakan itu tidak mampu mendongkrak ruang fiskal pemerintah
secara signifikan.
Karena itu, solusi alternatif yang diusulkan PKEKK adalah merevisi
Undang-Undang Cukai terutama klausul yang mengatur batas maksimal cukai
rokok terhadap harga jual eceran.
Saat ini, Undang-Undang Cukai mengamanatkan angka cukai hasil tembakau maksimal 57 persen dari harga jual eceran.
"Upaya ini akan menuai dua keuntungan, yaitu menyelamatkan warga
negara melalui pengendalian konsumsi produk hasil olahan tembakau dan
menambah ruang fiskal pemerintah," tuturnya.
Selain mengusulkan revisi Undang-Undang Cukai, Budi juga
mengusulkan kenaikan harga rokok. Menurut dia, kenaikan harga rokok yang
ideal di Indonesia berada pada rentang 150 persen hingga 270 persen.
Angka itu diperoleh setelah mempertimbangkan pola konsumsi rokok,
pendapatan negara dari cukai rokok, pendapatan industri serta angka
kemiskinan.
Angka yang diusulkan Budi itu jauh bertolak belakang dengan
kenaikan harga rokok yang diberlakukan pemerintah melalui pengenaan
cukai.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, kenaikan harga rokok pada 2016
hanya rata-rata 10,54 persen.
Selain itu, angka kenaikan harga rokok yang diberlakukan pemerintah
pada 2012 hingga 2016 masih jauh dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Undang-Undang Cukai mengamanatkan tarif cukai sebesar 57 persen
dari harga jual eceran. Rata-rata kenaikan cukai tahunan yang diatur
hanya 43 persen dari harga jual eceran atau berkisar 44,4 persen hingga
51,4 persen.
PKEKK UI merilis hasil penelitian bertajuk "Harga Rokok Ideal"
sebagai bentuk keprihatinan terhadap perdebatan yang masih terjadi
antara kepentingan industri rokok, pengambil kebijakan dan masyarakat
pendukung pengendalian tembakau.
Penelitian tersebut mencoba memberikan kontribusi pada perdebatan
mengenai wacana penerapan cukai yang tinggi terhadap hasil tembakau.
PKEKK menilai selama ini wacana penerapan cukai rokok tinggi masih
dipandang negatif tanpa didukung fakta yang berbasis bukti dan data.
Reformasi Kebijakan Cukai Untuk Kendalikan Tembakau
Senin, 29 Mei 2017 13:45 WIB
Hal itu membuat rokok masih terjangkau oleh masyarakat, bahkan untuk mereka yang termasuk kelompok rentan seperti anak-anak, remaja dan rumah tangga miskin,