Biak (Antara Babel) - "Berbiak-biaklah kamu dan bertambah banyaklah",
begitu bunyi salah satu ayat dalam Kitab Kejadian yang dikutip oleh
seorang mama paruh baya di Pulau Biak, Papua, saat menanggapi program
keluarga berencana (KB) dari pemerintah.
Pada Senin (28/8) siang di sebuah lapangan pinggir pantai pedalaman
Kabupaten Biak Numfor itu, seorang mama atau ibu paruh baya lain
mengeluh di hadapan para pejabat Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasioal (BKKBN) yang baru datang dari Jakarta. Dia berkata
begini:
"Sebelum kami punya anak laki-laki, ini barang tidak akan berhenti
berproduksi," kata dia sambil menunjuk perutnya, yang kemudian disambut
gelak tawa ratusan warga yang menghadiri acara sosialisasi keluarga
berencana (KB).
"Lagi pula, mahar nikah orang Biak sangat mahal. Oleh karena itu
rugi kalau kita orang tidak punya banyak anak," kata si mama beranak
enam itu.
Itulah gambaran betapa sulitnya merencanakan keluarga berencana di
Papua. Kuatnya keyakinan agama ditambah praktik budaya yang meminggirkan
perempuan--dengan mengharuskan mereka melahirkan anak berkelamin
pria--membuat kebijakan kependudukan di wilayah ini lemah.
Di provinsi paling timur Indonesia ini, tingkat pertumbuhan
penduduk dalam lima tahun terakhir selalu mencapai lebih dari lima
persen, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 1,1 persen.
Tingginya laju pertumbuhan penduduk itu tentu saja menyimpan bom
waktu mengingat masih rendahnya indeks pembangunan manusia di Papua,
yang bisa ditunjukkan dengan indikator harapan lama sekolah yang hanya
10,23 tahun dan rata-rata lama sekolah 5,9 tahun.
Artinya, semakin banyaknya jumlah anak tidak diimbangi dengan daya kompetisi yang kuat.
Hasil penelitian terbaru dari badan kependudukan PBB (UNFPA) di
Papua dan Papua Barat, budaya dan agama memang menjadi penghambat utama
keberhasilan program KB di dua provinsi tersebut.
Selain itu, melahirkan anak juga menjadi strategi perempuan Papua
untuk mengikat pasangannya. Suami di sini cenderung akan meninggalkan
istrinya jika pasangan tersebut hanya memiliki sedikit keturunan,
demikian laporan UNFPA.
Problem ini juga diakui oleh Bupati Kabupaten Biak Numfor, Thomas
Alfa Edison Ondi, yang pada siang itu meresmikan pencanangan 12 kampung
KB---yang merupakan strategi sosialisasi pemerintah untuk penjarakan
kelahiran--bersama Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty.
"Tentu saja budaya adalah persoalan besar yang masih lama penyelesaiannya," kata Thomas.
Thomas juga khawatir tingginya pertumbuhan penduduk yang sebagian
besar mencari uang dengan menanam ubi dan mencari ikan, tanpa kesiapan
daya saing, akan membuat daerahnya hanya menjadi konsumen yang tidak
mempunyai kemampuan untuk mengembangkan ekonomi daerah secara mandiri.
"Kita sudah melihat sendiri bahwa sejak otonomi khusus, Papua
mendapatkan dana besar dari pemerintah pusat untuk proyek-proyek
pembangunan. Tapi yang mengerjakan dan menikmati proyek tersebut adalah
para pendatang," kata Thomas merujuk pada tingginya angka transmigran
dari Makassar dan Pulau Jawa di kabupaten yang dia pimpin.
Kampung KB
Selain budaya, faktor penghambat lain adalah persepsi salah soal KB
yang masih dianggap membatasi pasangan untuk hanya mempunyai dua anak.
Persoalan ini sebetulnya juga mengindikasikan lemahnya sosialisasi
pemerintah.
"Negara tidak punya hak untuk membatasi jumlah anak di masyarakat
kami," kata Otto Mandowen, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Biak Numfor yang juga salah mengartikan program KB,
dalam acara yang sama.
UNFPA juga menemukan dalam penelitian mereka, bahwa sebagian
masyarakat Papua dan Papua Barat masih menganggap program KB Presiden
Joko Widodo tidak berbeda dengan slogan Orde Baru "dua anak cukup" yang
sudah mengakar sejak tahun 1970.
Pernyataan Otto langsung dibantah oleh Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty.
"Kami tidak pernah ingin membatasi jumlah anak. Kami hanya
mengimbau warga untuk menjarak kelahiran minimal tiga tahun demi
memastikan kualitas asuhan dalam keluarga," kata Surya.
Salah satu strategi pemerintah untuk mengubah persepsi salah itu
adalah membentuk kampung KB yang sudah dimulai sejak awal tahun lalu.
Pada tahun ini, BKKBN menargetkan satu per kecamatan. Hingga saat ini
baru ada sekitar 1.000 kampung KB dari hampir 7.000 kecamatan di seluruh
Indonesia.
Namun bukan jumlah kampung KB yang menjadi kekhawatiran melainkan tidak lanjut setelahnya.
Kampung KB bukan hanya kebijakan sosialisasi untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat untuk program tersebut. Alih-alih, Jokowi
memaksudkannya sebagai sebuah program di mana perencanaan pengadaan
fasilitas publik, kesehatan, kependudukan dan pendidikan dimulai pada
tingkat paling rendah; desa--khususnya desa tertinggal dengan tingkat
kemiskinan tinggi.
Warga di kampung KB juga diharapkan berpartisipasi untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung terciptanya keluarga ideal seperti
tersedianya taman bermain, sekolah, jalan yang layak anak, pusat
pelayanan kesehatan, atau sanitasi rumah.
Setiap kampung tersebut akan didampingi oleh penyuluh dari BKKBN
yang kemudian akan meneruskan aspirasi warga ke lembaga pemerintah
terkait seperti Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, atau
Kementerian Pekerjaan Umum.
Inilah gagasan revolusi kampung lintas sektoral dari Jokowi.
Namun pada titik koordinasi antar sektor itulah program tersebut
belum bisa dijalankan. Fakta tersebut sudah diakui sendiri oleh Kepala
BKKBN Provinsi Papua, Charles Brabar, yang sudah mengevaluasi lima
kampung KB yang sudah dibentuk sejak setahun lalu di kabupaten lain,
selain Biak Numfor.
"Kami memang belum maksimal dalam koordinasi," kata Charles.
Menurut sumber Antara, yang mengetahui persoalan dan memberikan
keterangan secara anonim karena tidak punya wewenang berbicara dengan
pers, presiden sudah menyatakan rasa kecewa terhadap program yang
digagasnya sendiri karena belum ada perkembangan tindak lanjut.
Sulitnya Merencanakan "Berbiak-biak" Anak di Papua
Selasa, 29 Agustus 2017 13:58 WIB
Sebelum kami punya anak laki-laki, ini barang tidak akan berhenti berproduksi,