Denpasar (Antara Babel) - Dalam kondisi kedaruratan berkaitan dengan
terjadinya perubahan status satu gunung dari Siaga (Level III) ke Awas
(Level IV), maka hal yang paling ditunggu adalah terjadinya letusan,
karena Level IV itu sudah paling tinggi.
Hal itu juga dibenarkan Geolog Institut Tekonologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur, Dr Ir Amien Widodo MSi.
Ia menegaskan bahwa perubahan status dari Siaga menjadi Awas memang didasari prediksi akan terjadinya letusan.
Masalahnya, menurut dia, jarak dari penetapan status Awas ke
meletus itu tidak dapat diprediksi. Hal ini pula yang kini tengah
dihadapi Gunung Agung di Bali.
"Paling cepat bisa dua jam, tapi bisa juga dua tahun," ungkapnya.
Hingga Selasa (26/9) pukul 12.00 Wita, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tingkat kegempaan mencapai 74
kali vulkanik dangkal, 86 kali vulkanik dalam, dan lima kali tektonik
lokal, namun waktu letusan tidak bisa diprediksi.
Apalagi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
menyebutkan hingga Selasa (26/9) belum terdeteksi debu vulkanik Gunung
Agung yang menyelimuti wilayah udara Bali, meskipun gunung berapi itu
dalam status Awas.
Kepala BMKG Wilayah III Denpasar Taufik Gunawan menyatakan
pergerakan abu vulkanik Gunung Agung tidak terdeteksi berdasarkan citra
satelit cuaca Himawari.
BMKG menyebutkan prakiraan angin saat ini (26/9) berembus dari
timur-tenggara dengan kecepatan 05 hingga 10 knots sampai dengan pukul
12.00 Wita pada ketinggian sekira 3.000 meter di atas permukaan laut.
Pihaknya juga menyebutkan prakiraan angin berhembus dari timur laut
dengan kecepatan 10 hingga 15 knots dari ketiggian 5.000 meter di atas
permukaan laut hingga pukul 12.00 Wita.
Sementara itu, Volcano Observatory Notice for Aviation (VONA) Badan
Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
mengeluarkan kode kuning untuk penerbangan.
BMKG menyebutkan sesuai data PVMBG pascapeningkatan status awas
gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut itu menunjukkan
peningkatan frekuensi gempa signifikan antara tanggal 21 hingga 2 5
September 2017 dengan total gempa sebanyak 369 kali.
Hingga 26 September 2017 pukul 08.00 Wita, BMKG menganalisis hasil
rekaman seismograf BMKG dengan nilai magnitudo dominan pada 2,6 hingga
3,0.
Oleh karena ketidakpastian itu, pihak berwenang perlu mengambil
langkah cepat untuk mengosongkan kawasan rawan bencana (KRB) melalui
pengungsian menjadi lebih penting daripada menunggu letusan gunung yang
berstatus Awas sejak Jumat (22/9) pukul 20.30 Wita itu.
Apalagi, BPNB hingga Selasa (26/9) pukul 12.00 Wita juga mencatat
jumlah pengungsi dari 22 desa sudah mencapai 75.673 pengungsi yang
tersebar pada 377 titik lokasi.
Sebaran dari 75.673 pengungsi adalah Kabupaten Buleleng (8.518
pengungsi), Jembrana (82), Tabanan (1.080), Badung (756), Bangli
(4.890), Gianyar (540), Denpasar (2.539), Klungkung (19.456), dan
Karangasem (37.812). Klungkung dan Karangasem memang terbanyak.
Adapun
jumlah bantuan yang sudah terdistribusi adalah 640.000 masker, Rp1
miliar, 50 tenda, 8.400 selimut, dan sejumlah kebutuhan seperti makanan,
minuman, kue, dan sejenisnya.
Instruksi PVMBG
Jumlah pengungsi belum di kawasan Gunung Agung bisa jadi belum
semuanya terpantau, namun Dr Ir Amien Widodo sebagai ahli geologi dari
ITS Surabaya menegaskan bahwa radius 12 kilometer yang disarankan PVMBG
Badan Geologi Kementerian ESDM memang harus dikosongkan.
Menurut dia, KRB untuk Gunung Agung di Karangasem, Bali itu sudah
ditetapkan oleh PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM yakni radius 12
kilometer yang merujuk pada data-data letusan sebelumnya pada tahun 1963
dengan KRB berjarak 9 kilometer, sehingga tahun ini disimpulkan 12 km.
Angka itu merupakan hasil perhitungan PVMBG untuk jangkauan terjauh
bila terjadi hujan batu, hujan pasir, abu, aliran lahar, lalu awan
panas dengan tingkat panas bisa mencapai 300 derajat celsius.
Masalahnya, kata Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan
Iklim (PSKBPI) ITS Surabaya itu, langkah cepat itu juga bukan langkah
yang mudah karena ada ribuan penduduk dari puluhan desa dan juga ada
ribuan ternak yang harus dipindahkan.
Artinya, kata peneliti yang lulusan Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta itu, pemerintah harus berkejar-kejaran dengan waktu, meski
masalah pasca-pengungsian juga bukan perkara yang lebih mudah juga.
Saran yang sama juga disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meninjau pengungsi di Klungkung, Bali, Selasa (26/9).
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan RI itu meminta warga di
sekitar Gunung Agung untuk mematuhi instruksi seluruh petugas guna
mengantisipasi peningkatan aktivitas vulkanik gunung berapi itu.
"Agar kita semua sekuat tenaga bisa meminimalkan seluruh dampak yang
ada dari Gunung Agung," kata Presiden Jokowi, ketika memberikan
pernyataan setelah meninjau pengungsi di GOR Swecapura di Kabupaten
Klungkung, Bali.
Menurut Presiden Jokowi, penanganan bencana alam gunung berapi itu
tidak mudah, karena tidak ada waktu kepastian, termasuk jadi atau
tidaknya Gunung Agung meletus. Tidak ada yang bisa memprediksi akurat
untuk gejala alam.
Oleh karena itu, pemerintah pusat, pemerintah provinsi termasuk
kabupaten akan berupaya agar kerugian masyarakat bisa diminimalkan
sekecil mungkin termasuk ekonomi yang terhenti karena masyarakat
mengungsi.
Tetapi, Presiden mengemukakan bahwa prioritas terpenting adalah keselamatan rakyat.
Presiden juga sempat meninjau pengungsi di Posko Utama Darurat Gunung Agung di Dermaga Pesiar Tanah Ampo, Karangasem itu.
Ketidakpastian letusan itu dibenarkan Amien Widodo, yang sudah
meneliti sejumlah gunung di Jawa itu. Menurut dia, letusan itu ada yang
bertahun-tahun.
"Letusan itu ada yang membumbung ke atas dan ada pula letusan yang
meleleh, namun keduanya juga sama-sama bisa cepat dan sama-sama bisa
tahunan," katanya.
Ia mengatakan kalau letusan membumbung itu memang berbahaya, karena
letusan itu bisa menimpa masyarakat, namun PVMBG sudah menetapkan batas
radius aman 12 kilometer yang harus diikuti masyarakat dan pemerintah.
Meski demikian, masyarakat di luar radius 12 kilometer juga tetap
perlu melakukan antisipasi terkait kemungkinan terpaan abu yang bisa
puluhan kilometer. Untuk itu, perlu siapkan masker dan menutup talang
rumah.
Sementara itu, letusan yang meleleh itu bisa membentuk "anak
gunung" di dekatnya. Letusan meleleh ini tidak berbahaya, seperti yang
pernah terjadi di Kelud pada tahun 2007, namun letusan membumbung dan
letusan meleleh itu sama-sama bisa tahunan.
Hal terpenting yang tidak diketahui masyarakat adalah letusan
gunung itu sebenarnya merupakan gejala alam dalam menjaga keseimbangan
energi yang dimiliki, karena itu letusan gunung pun tak perlu ditakuti,
tapi diantisipasi sesuai imbauan Badan Geologi.
Letusan mungkin tidak dapat dihindari, namun keselamatan rakyat
menjadi kata kunci, karena itu pengungsian menjadi lebih penting
daripada menunggu letusan gunung itu sendiri.
Mengungsi Atau Menunggu Letusan Gunung Agung
Rabu, 27 September 2017 11:18 WIB
Paling cepat bisa dua jam, tapi bisa juga dua tahun,