Jakarta (Antara Babel) - Akbar Nugroho Gumay, rekan fotografer, menyikut
ANTARA News karena keceplosan melontarkan kalimat tidak enak didengar
saat antre check in selama hampir satu jam di Bandara Internasional
Hazrat Shahjalal, Dhaka, Bangladesh.
Suasana dan apalagi tata
letak bandara ini, ditambah waktu boarding pesawat yang semakin mepet,
telah membuat calon-calon penumpang termasuk ANTARA News cemas, khawatir
tertinggal pesawat. Suasana semrawut membuat cemas semakin menjadi.
Interior
dan eksterior bandara yang berlabelkan bandara internasional semakin
mempertegas kejauhtertinggalan Bangladesh dari Indonesia.
Datangi
lah negeri ini, lalu susuri kota-kotanya, desa-desanya, maka Anda akan
membuat kesimpulan sama dengan ANTARA News bahwa betapa maju Indonesia.
"Anda
dari mana?", sapa seorang pria yang berjalan tepat di samping ANTARA
News di jalan sempit pada koridor utama arus pengungsian Rohingya di
Teknaf dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar. "Dari Indonesia," jawab
ANTARA News.
Tak dinyana, pria yang kemudian memperkenal diri
sebagai Zubeir ini mendadak takjub. "Oh dari Indonesia. Negara yang
hebat. Saya berharap negara saya bisa semaju negara Anda," kata Zubeir.
Kalau melihat infrastruktur, termasuk jalan raya dan gedung-gedung pelayanan publik, Bangladesh jauh tertinggal dari Indonesia.
"Negara
ini seperti Indonesia era 1970-an," kata Mukhlis Abdul Gafar dari RSI
Sukapura, Tanjung Priok, yang bersama puluhan relawan lain datang ke
negeri ini demi menunaikan aksi kemanusiaan dalam wadah Indonesia
Humanity Alliance yang sebelumnya bernama Aliansi Kemanusiaan Indonesia
untuk Myanmar (AKIM).
Memacu adrenalin
Salah
satu sudut paling ramai di sentra bisnis pusat kota Dakha, Bangladesh,
di kawasan Eastern Plaza, 27/9/2017. (ANTARAFOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jalan-jalan
di negara ini begitu dipadati kendaraan, dengan tingkah para pengendara
yang kalau di Indonesia bisa membuat naik darah siapa pun. Tetapi
jarang sekali terlihat mobil baru berseliweran, termasuk kota
metropolitan sebesar Dhaka yang juga ibu kota negara Asia Selatan yang
tepat berada di mulut Teluk Benggala.
Negara ini agaknya cocok menjadi ajang adu pacu adrenalin untuk mereka yang mengaku jago berkendara.
Kenyataannya,
para pengemudi mobil di negeri ini rata-rata piawai berkendaran. Sampai
ada sebuah truk yang sehabis menurunkan muatannya berusaha memutar
balik di jalan sempit yang selebar truk itu dengan satu sisi jalan
bertepi cerukan yang sedikit saja roda kendaraan bablas maka niscaya
truk itu terjungkal.
"Menarik nih, rekam ah," kata dokter
Muhammad Iqbal Mubarak dari Dompet-Dhuafa, segera mengarahkan kamera
ponselnya ke adegan unik yang tak saja menarik, tapi memacu adrenalin
itu.
Tak hanya bus, truk, jeep, dan mobil biasa, tomtom yang
merupakan sejenis bajay yang bagai angkot di kota-kota Indonesia bebas
dihentikan calon penumpang meski sudah diisi penumpang lain, juga tak
kurang ugal-ugalan.
Kebiasaan itu merata terjadi di mana-nama,
tidak saja Dhaka, tapi juga Cox's Bazar, dan tempat-tempat lain,
termasuk di sepanjang jalan sempit ke tempat pengungsian yang rata-rata
berada di Ukhia.
Uniknya, meskipun nekad dalam berkendara, jarang
sekali terjadi kecelakaan, setidaknya selama seminggu Antara berada di
Bangladesh.
Lebih luar biasa lagi adalah keugal-ugalan mereka itu tak ada resonansinya dengan bahasa tubuh mereka karena emosi mereka di jalanan hanya ditumpahkan lewat klakson.
Jangan
harap ada orang marah karena disalip, meski disalip dengan cara yang
mengancam keselamatan jiwa. Mereka tidak pernh berhenti untuk menggebrak
dan menantang duel si penyalip ugal-ugalan seperti sering ditemui di
Indonesia.
Pemurah nan penolong
Satu lagi yang bisa
dipetik dari penduduk negara yang sebelum 1971 disebut Pakistan Timur
itu adalah kebiasaan mereka dalam memuliakan tamu.
"Kami tak suka
membohongi tamu," kata Minhajul Kabirs (23) yang ikut menemani ANTARA
News selama perjalanan ke Teknaf di perbatasan Bangladesh-Myanmar, Jumat
29 September lalu.
Inilah salah satu alasan yang membuat ANTARA
News menyesal melontarkan kalimat tidak pantas ke negara ini sewaktu
check in di Bandara Dhaka.
Negara ini memang tertinggal jauh di
belakang Indonesia, tapi penduduknya telah bersikap baik kepada tamunya.
Apalagi dalam antrean di bandara itu puluhan orang-orang Bangladesh
yang bekerja di Malaysia rata-rata fasih berbahasa Melayu.
Sama-sama menumpang Malaysia Airlines, mereka hendak kembali ke Malaysia untuk bekerja setelah berlibur di kampung halaman.
Awalnya
muka-muka mereka membuat siapa pun agak enggan menyapa mereka, tetapi
sekali bertegur sapa, sekali itu pula mereka menjadi orang-orang yang
enak menjadi teman mengobrol.
"Silakan ke depan antrean, lewati
saya saja," kata Baabullah dalam bahasa Melayu fasih, entah iba atau
jengkel kepada ANTARA News. Yang jelas dia berkata-kata dengan dihiasai
raut wajah ramah yang tak dibuat-buat.
Bukan hanya kepada turis
dan warga asing seperti ANTARA News, orang-orang Bangladesh juga membuka
tangannya lebar-lebar kepada pengungsi Rohingya.
"Silakan
tinggal di negeri kami, kita semua bersaudara. Dan sesama saudara saling
menolong," kata seorang donatur besar Bangladesh lewat pengeras suara,
kepada sekitar seribuan pengungsi yang antri bantuan di kamp pengungsi
Tengkhali.
Padahal, negara ini bukan negara kaya, sebaliknya
negara miskin. Sewaktu ANTARA News menyusuri jalan menuju Teknaf, dan
kamp-kamp pengungsi di Ukhia, di sepanjang jalan yang salah satu sisinya
bertepi pantai Samudera Hindia itu berdiri rumah-rumah yang lebih
pantas disebut gubuk.
ANTARA News mengira orang-orang yang menempati gubuk-gubuk itu warga Rohingya. Ternyata, bukan.
Bahkan
dengan masih banyak penduduk hidup di bawah garis kemiskinan semacam
itu Bangladesh mau menerima setengah juta pengungsi Rohingya.
Sheikh Hasina
Pengungsi
rohingya menaiki perahu usai melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh di
Teknaf, Cox Bazar, Bangladesh, Jumat (29/9/2017). (ANTARA/Akbar Nugroho
Gumay)
Tak seperti China dan India yang garis perbatasannya
dengan Myanmar jauh lebih panjang, Bangladesh tetap membuka diri untuk
Rohingya. Padahal banjir pengungsi Rohingya menjadi tantangan teramat
besar bagi negara dengan Produk Domestik Bruto 220 miliar dolar AS itu,
atau hanya 22 persen dari PDB Indonesia yang sebesar 932 miliar dolar
AS.
Dan ini bukan kali pertama Bangladesh kebanjiran pengungsi
Rohingya. Sebelum ini banjir pengungsi Rohingya pernah menimpa
Bangladesh pada 1978 dan awal 1990-an di mana seperempat juta orang lari
dari Myanmar.
"Saya pastikan kali ini angkanya jauh lebih besar
dari masa mana pun," kata Juru Bicara UNHCR di Bangladesh, Joseph
Tripura, 11 September silam.
Wajar jika kemudian seruan untuk
membuka diri kepada pengungsi Rohingya bergema dari mana-mana, termasuk
dari koran terkemuka Bangladesh, Dhaka Tribune, yang menyeru rekan
sebangsanya untuk lebih bersimpati lagi kepada Rohingya dan tak
memandangnya sebagai sumber kejahatan, ketika India dan China malah
asyik berselingkuh dengan pemerintah Myanmar.
"Tatkala dunia
mengacuhkan Rohingya. saya tidak lagi menganggap usaha kita menampung
mereka sebagai hambatan. Sebaliknya, saya melihat itu sebuah
kehormatan," tulis pemilik Dhaka Tribune, K. Anis Ahmed.
Pemimpin
Bangladesh sendiri sejalan dengan pemikiran rakyatnya, kendati awalnya
tak mau membuka pintu perbatasan ketika gelombang pertama pengungsi
Rohingya berusaha menerobos masuk ke Bangladesh.
"Jika kami bisa
memberi makan kepada 160 juta orang, maka kami pun bisa memberi makan
700.000 pengungsi Rohingya," kata Perdana Menteri Bangladesh Sheikh
Hasina beberapa waktu lalu.
Sepotong Kisah Dari Bangladesh
Kamis, 5 Oktober 2017 14:31 WIB
Anda dari mana?", sapa seorang pria yang berjalan tepat di samping ANTARA News di jalan sempit pada koridor utama arus pengungsian Rohingya di Teknaf dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar. "Dari Indonesia,