Coxs Bazar, Bangladesh (Antara Babel) - Perkosaan digunakan sebagai
senjata dalam krisis Rohingya, dan tak seorang perempuan pun aman dari
resiko serangan seksual sementara kaum Muslim Myanmar terusir dari
kampung mereka, kata ahli di lapangan dan mereka yang terjebak dalam
krisis.
Para dokter yang merawat beberapa ratus ribu Muslim Rohingya yang
telah menyelamatkan diri ke Bangladesh dari Myanmar selama beberapa
pekan belakangan telah menyaksikan puluhan perempuan menderita cedera
akibat kekerasan seksual, kata beberapa dokter PBB.
Dan semua perempuan yang diwawancara oleh wartawan Thomson Reuters
Foundation, yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu siang, bercerita
mengenai perkosaan dengan kekerasan oleh pasukan keamanan Myanmar saat
mereka meninggalkan rumah mereka, bagian dari pengungsian besar-besaran
kaum Rohingya.
"Militer Burma (Myanmar) dengan jelas telah menggunakan perkosaan
sebagai salah satu dari sejumlah metode mengerikan pembersihan etnik
terhadap kaum Rohingya," kata Skye Wheeler, ahli kekerasan seksual di
Human Rights Watch yang telah menilai kamp yang terisi dengan cepat.
"Perkosaan dan bentuk lain kekerasan seksual telah tersebar dan
sistematis serta brutal, merendahkan martabat dan menimbulkan trauma,"
kata wanita pegiat tersebut kepada Thomson Reuters Foundation.
Maynmar membantah semua tuduhan mengenai pembersihan etnik itu, dan
mengatakan negara tersebut "harus menanggulangi aksi perlawanan", yang
dituduhnya memulai pertempuran dan menyerang warga sipil, serta pasukan
keamanan.
Namun warga desa yang menyelamatkan diri dari kekerasan mengatakan
perkosaan adalah senjata rutin dalam persenjataan militer, dan PBB
sekarang membuat penilaian apakah kekerasan itu berubah menjadi
pemusnahan suku bangsa.
Apapun definisi hukumnya, Nurshida --yang berusia 18 tahun-- hanya mengetahui dengan sangat baik apa yang terjadi pada dirinya.
Ketika
berbicara dengan wartawan Thomson Reuters Foundation dari kampnya yang
relatif aman, Nurshida mengenang bagaimana kelasnya yang terdiri atas 30
siswa berbaris tanpa suara memasuki sekolah mereka pada September.
Mereka berbaris di bawah todongan senjata oleh tentara berseragam, lalu digiring ke auditorium utama.
Semua siswi tersebut, kata Nurshida, ketakutan dan berkumpul di satu sudut, sementara kaum pria itu memperkosa mereka.
Nurshida, yang memiliki kulit cerah, mengatakan ia dipilih pertama
oleh kelompok enam tentara yang membawa senjata api dan parang.
Nurshid dan teman-temannya mengalami perlakuan kasar dan tak manusiawi.
Pemerintah Bangladesh mengatakan cerita Nurshida cocok dengan pola serupa yang mengerikan.
"Cerita
yang kami dengan merujuk kepada perkosaan yang digunakan secara
strategis sebagai senjata perang," kata Rashed Hasan, seorang letnan
kolonel di Angkatan Darat Bangladesh.
Perempuan dari segala usia dan latar-belakang telah melaporkan
serangan seksual brutal serupa --serta menyaksikan pembunuhan anggota
keluarga, kehilangan anak dan dipaksa meninggalkan rumah mereka.
"Perkosaan adalah perbuatan kekuatan. Perbuatan itu tak mengenal
diskriminasi dalam hal usia, seks atau suku," kata Saba Zariv dari Dana
Penduduk PBB kepada wartawan Thomson Reuters Foundation.
Dokter PBB Sebut Pasukan Keamanan Myanmar Perkosa Perempuan Rohingya
Sabtu, 21 Oktober 2017 15:47 WIB