Setelah menikmati sarapan Mohingar atau bihun kuah khas Myanmar yang segar dan wangi daun ketumbar, serombongan wartawan dan blogger dari beberapa negara ASEAN pada suatu pagi pertengahan Februari menuju ke Pagoda Shwedagon, tempat ibadah umat Budha yang berada di jantung kota Yangon, Ibu Kota Myanmar.
Rombongan oleh Klub Blogger Myanmar untuk mengikuti FAM (Familiarization) Trip ke Myanmar tersebut diajak menumpang becak sepeda melintasi pasar pagi yang meriah dengan warna-warni bebungaan dan aneka buah serta terlihat pedagang kaki lima yang menjual makanan siap santap untuk orang-orang yang makan pagi. Di kejauhan, Shwedagon terlihat berkilau dengan stupa utama berwarna keemasan saat tertimpa sinar matahari pagi.
"Jika berada di Yangon, belum lengkap bila tidak mengunjungi Shwedagon," tutur May Zune Win, pemrakarsa FAM TRIP bertajuk Marvalous Myanmar kepada 28 tamunya.
Di jalanan mengarah ke pagoda yang memiliki pintu masuk dari beberapa sisi, para peziarah mulai berdatangan dengan membawa sesaji bunga-bunga potong, aneka buah dan makanan.
Stupa berupa kubah emas yang menjulang tinggi terlihat anggun dan berkilau lembut tertimpa sinar matahari pagi, sehingga belum memasuki kawasan pagoda pun para awak media dan blogger ASEAN sudah berfoto-foto dari pelataran luar.
Peziarah dan wisatawan asing memiliki pintu masuk khusus, dan wajib membayar tiket masuk seharga 10 dolar AS atau setara dengan 10.000 Khat, mata uang Myanmar, dan mendapat air mineral satu botol serta tisu basah.
Fasilitas untuk pengunjung sangat memadai, antara lain tersedia jalan landai bagi mereka yang berkursi roda, serta "lift" untuk memudahkan pengunjung yang "tidak bersedia" menapaki anak tangga dari luar menuju pelataran pagoda.
Sebelum masuk para tamu wajib melekatkan stiker tanda masuk dan melepas sepatu serta kaos kaki, bisa dititipkan pada rak sepatu yang tersedia di depan pintu masuk atau dikantongi dan dijinjing sendiri.
Busana Myanmar
Para petugas juga akan memeriksa kelayakan berpakaian bagi pengunjung, yaitu untuk pria dan wanita harus mengenakan busana di bawah lutut, bisa celana panjang atau sarung dan bagian atas berlengan minimal di atas siku. Peziarah lokal rata-rata memakai sarung.
Khusus untuk wartawan dan blogger perempuan serta panitia FAM Trip, penyelenggara menyediakan busana khas Myanmar berupa sarung dan baju atasan dengan warna-warni meriah dan memastikan semua tamu berpakaian "sopan", tak lupa tas gantung berbahan tenun yang juga dibagikan ke semua peserta.
Dalam bahasa lokal, Shwedagon disebut Shwedagon Zeddi Daw dan dijuluki sebagai Pagoda Emas. Menurut situs resmi pagoda http://shwedagonpagoda.com pagoda tersebut dibangun sekitar 2.500 tahun yang lalu dan diduga sebagai pagoda tertua di dunia.
Pagoda terletak di dekat danau Kandawgyi di bukit Singuttara dengan stupa utama yang menjulang setinggi 98 meter berlapis warna emas, mudah di lihat dari berbagai sudut kota, seakan menjadi penjuru bagi warga kota.
Myanmar yang dikenal sebagai negara dengan kekayaan batu permata, menyimpan anugerah alamnya juga pada stupa puncak Shwedagon yang bertatahkan 7.000 batu berlian, rubi, giok dan lain-lain. Pengunjung bisa menyaksikan kilauan batu permata memakai teropong yang tersedia di salah satu dasar pagoda.
Bunyi gong bergaung beberapa kali, ketika seorang peziarah memukulnya sebagai penanda awal berdoa, sementara di pelataran dengan lantai marmer dan tegel, beberapa orang lain sudah khusyuk berdoa menghadap patung-patung Sang Budha yang bertebaran di seluruh pelataran dengan delapan sudut pagoda.
pada bagian dasar pelataran memiliki sudut-sudut dengan nama hari, yaitu sudut Senin, Selasa, Rabu pagi dan Rabu sore, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Biasanya para peziarah akan berdoa di sudut hari sesuai hari kelahiran dan di setiap sudut tersebut terdapat patung-patung hewan yang melambangkan hari-harinya dengan makna khusus.
Pagoda ini juga dikelilingi pagoda-pagoda lain berukuran lebih kecil dan sejumlah patung Budha dalam berbagai posisi, beberapa tempat pemujaan bagi orang sakit, bagi pengunjung yang ingin memiliki anak dan lain sebagainya.
Pada dinihari sekitar pukul 04.00 pagoda sudah dibuka untuk peziarah dan tutup pada pukul 22.00 namun pada hari-hari khusus misalnya tahun baru Myanmar (berdasar penanggalan bulan) tempat ibadah ini dibuka sepanjang hari.
Shwedagon bukan sekedar tempat ibadah Budhis, melainkan juga wahana untuk memperlihatkan keanggunan seni arsitektur Myanmar yang mempesona dan juga sebagai tempat persejarah yang terjada dan dirawat dengan baik.
Tempat tersebut diyakini menjadi tempat ibadah tersuci bagi umat Budha di Myanmar karena menyimpan delapan helai rambu Budha (Pangeran Sidharta Gautama), gigi, saringan air Konagamana, potongan tali Kassapa dan tongkat Kakusanda, telapak kaki dan relik lain.
Pengunjung tua-muda bahkan anak-anak tampak terus mengalir, masing-masing berdoa secara pribadi ataupun dalam kelompok keluarga dan mereka juga tidak terganggu oleh lalu-lalangnya wisatawan yang memotret berbagai objek termasuk para peziarah yang sedang berdoa.
"Saya berdoa untuk mendapat pekerjaan, saya baru lulus kuliah," tutur seorang peziarah muda setelah selesai berdoa. Dia tidak membawa sesaji melainkan memasukkan uang ke dalam kotak sumbangan.
Pasangan keluarga muda membawa anak mereka yang berulang tahun dan berdoa di sudut hari Jumat, yang merupakan hari kelahiran anaknya.
Meskipun matahari telah bersinar terang sekitar pukul 10 pagi dan kemilau emas dari ratusan stupa kecil di sekeliling pagoda utama, lantai pelataran tidak terasa panas sehingga pengunjung yang berkeliling dengan kaki telanjang tetap merasa nyaman. Namun pada musim panas tentu akan sangat panas buat mereka yang tidak terbiasa, sehingga disarankan sebaiknya mengunjungi Shwedagon pada sore hari, sehingga dapat menikmati cahaya terang, matahari terbenam dan malam hari dengan permainan cahaya lampu.
Bunyi lonceng, gong dan lantunan doa dari biksu-biksu mewarnai suasana sepanjang hari.
Menyalakan lilin
Beda suasana siang beda pula suasana malam. Bila pagi kemilau emas kubah-kubah ditimbulkan oleh cahaya matahari, maka pada malam hari cahaya lampu warna warni memberi sensasi tersendiri dengan permainan lampunya.
Pada kesempatan tersebut, penyelenggara Familiarization (Fam) Trip bagi media dan blogger telah menyiapkan upacara menyalakan seribu lilin di pelataran pagoda.
"Untuk meminta upacara seperti ini tidak bisa dadakan, harus dipesan beberapa hari terlebih dahulu," ujar Winko Kyaw, pemandu wisata yang menemani rombongan.
Petugas kuil menyiapkan sumbu-sumbu pada wadah berisi minyak yang tersedia berjajar di pelataran dan menyiapkan beberapa lilin menyala untuk menyulutnya. Dalam sekejab, seribu sumbu menyala dengan lidah api yang menari-nari menghiasi panorama sore itu.
Banyak wisatawan yang memotret pemandangan tersebut, sementara ada pula yang ikut berdoa mengarah ke stupa-stupa dengan patung-patung Budha.
Di puncak stupa, lampu menyorot dengan warna-warni yang menonjolkan keindahan Shewdagon yang menjadi incaran para wisatawan untuk berfoto atau memotretnya.
Suasana hening dalam doa dan lalu lalang peziarah bercampur decak kagum para wisatawan membuktikan keunggulan Shwedagon sebagai karya manusia dan semua kepentingan berjalan selaras di tempat itu.
Myanmar negeri seribu pagoda meskipun kenyataannya adal puluhan ribu stupa yang pernah dibangun oleh raja-raja Birma sejak ribuan tahun yang lalu, dan Shwedagon adalah salah satu yang dianggap penting.