Jakarta (ANTARA) - ​​​​​​PDI Perjuangan menegaskan bahwa pandangan Presiden Joko Widodo terkait dengan amandemen terbatas UUD 1945 tidak ada perbedaan fundamental atau ada kesamaan dengan pandangan PDI Perjuangan.

"Amandemen terbatas hanya bersentuhan dengan haluan negara, tapi tidak mengubah tata cara Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, pendapat PDI Perjuangan sama dengan pernyataan Presiden. Namun, ada yang berupaya melakukan framing sehingga dipersepsikan berbeda," kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, melalui pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Jokowi: MPR kembangkan terobosan kreatif sosialisasikan Pancasila-NKRI

Baca juga: Jokowi: Perbedaan adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi


Menurut Hasto, Presiden Joko Widodo berpandangan bahwa dunia telah bergerak cepat dan dinamis, sehingga harus direspons cepat. "Kecepatan itu instrumen, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang bergerak revolusioner. Kecepatan itu mendinamisir. Namun mengelola negara tetap berpijak pada hal fundamental, yakni haluan negara," katanya.

Implementasi strategisnya, kata dia, diperlukan kebijakan operasional seperti penelitian, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia yang handal, dan sebagainya. Hasto mencontohkan, pernyataan Presiden Joko Widodo pada Sidang Bersama DPR RI-DPD RI, pada hari ini, menyebutkan soal rencana pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.

"Keputusan ini cepat, menjawab berbagai tantangan. Namun, keputusan tersebut harus diletakkan dalam cara pandang jauh ke depan, melampaui dimensi waktu 50-100 tahunan, bahkan lebih," katanya.

Baca juga: Zulkifli Hasan puji Jokowi melalui pantun di Sidang Tahunan MPR

Menurut Hasto, keputusan tersebut juga harus dilihat dalam perspektif geo-politik dan geo-strategis, yang dalil pokoknya sama, tapi implementasinya bisa dipengaruhi oleh dinamika politik global-internasional dan perkembangan teknologi.

"Cita-cita pokoknya tetap sama, yakni Indonesia membangun peradaban dunia melalui suatu tatanan dunia baru yang antipenjajahan dan penindasan," katanya.

Dengan demikian, kata Hasto, untuk urusan pemindahan ibu kota, diperlukan haluan negara agar utuh cara pandangnya. Menurut dia, sekiranya presiden pasca-tahun 2024 mengubah rencana tersebut hanya karena undang-undang bisa diubah, maka di situlah terjadi ketidakpastian arah pembangunan.

"Karena itulah mengapa haluan negara diperlukan sebagai tanggung jawab, konsistensi, dan kepastian bagi arah masa depan, dengan landasan politik yang kuat, yakni Ketetapan MPR RI," katanya.

Hasto menjelaskan, penataan sistem politik Indonesia telah dilakukan melalui amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali pada awal era reformasi. Amandemen sebelumnya, kata dia, dilakukan berdasarkan "euforia" demokrasi dan agenda reproduksi gaya politik global, "one man one vote", yang ternyata bersifat kapitalistik-liberal, penuh dengan transaksi politik uang, dan berbiaya mahal.

Baca juga: Jokowi: Semangat persatuan Indonesia harus terus dijaga

"Amandemen terbatas, khusus menyentuh haluan negara. Suatu kebijakan pokok yang menempatkan ideologi Pancasila sebagai dasar dan bintang pengarah," katanya.

Menurut Hasto, hal tersebut adalah suatu perencanaan menyeluruh yang mengikat seluruh lembaga negara, mengintegrasikan pemerintah pusat dan daerah, serta menentukan arah masa depan rakyat Indonesia, sehingga derap pembangunan negara berjalan seirama, berkesinambungan, dan membentuk kedaulatan politik, ekonomi, dan kebudayaan sebagai satu kesatuan.

Indonesia sebagai pertemuan peradaban besar dunia, kata Hasto, memiliki tanggung jawab untuk mencapai taraf kemajuan dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk tanggung jawab bagi masa depan dunia yang lebih damai dan berkeadilan. "Jadi haluan negara adalah tugas sejarah untuk solidnya pergerakan kemajuan Indonesia Raya," katanya.

Baca juga: Jokowi: Pembangunan harus dinikmati oleh seluruh pelosok nusantara





 

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019