Jakarta (ANTARA) - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan 
Korupsi Roby Arya Brata menyebutkan bahwa visi KPK yang menginginkan Indonesia bebas dari korupsi keliru.

"Ada kekeliruan visi KPK, dia (KPK) mengatakan visinya kan Indonesia bebas dari korupsi. Saya kira itu keliru, nanti kalau saya di dalam akan saya ubah. Visi KPK adalah mewujudkan pemerintahan yang efektif dengan cara mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi," kata Roby di Gedung Sekretariat Negara Jakarta, Kamis.

Roby menyampaikan hal itu saat mengikuti uji publik seleksi Calon Pimpinan (Capim) KPK 2019-2023 pada 27-29 Agustus 2019. Uji publik itu diikuti 20 capim sehingga per hari, Pansel Capim KPK melakukan wawancara terhadap tujuh capim yang dilakukan secara bergantian selama satu jam.

"Dengan visi yang keliru akhirnya penyidiknya nangkapi orang. Targetnya adalah sebanyak-banyaknya OTT (Operasi Tangkap Tangan)," katanya.

KPK merasa kinerjanya baik kalau sebanyak mungkin OTT. "Padahal yang terjadi adalah temen saya banyak di daerah, pada ketakutan. Ini keliru sekali," katanya.

"KPK dimana-mana yang maju fokusnya pencegahan, Australia pencegahan. Singapura pencegahan," kata Roby.

Baca juga: Jubir KPK duga pelaporan terhadap dirinya terkait seleksi capim KPK
Baca juga: Capim KPK Roby Arya ingin masukkan dewan pengawas dalam UU KPK
Baca juga: Hari ini pansel akan uji 6 calon pimpinan KPK


Roby yang saat ini menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet mengaku juga akan melakukan pendekatan sistemik ke personel di KPK.

Banyak ahli kriminologi masih berbeda pendapat bahwa penghukuman yang berat tidak berkorelasi dengan tingkat kejahatan. Jadi dihukum seberat apapun tidak menurunkan tingkat kejahatan.

"Ini saya tidak mengerti kenapa KPK melakukan penindakan terus padahal para pakar sendiri tidak yakin penindakan tidak punya efek," kata Roby.

Roby pun berniat untuk mengevaluasi penindakan yang dilakukan KPK.

"Saya akan evaluasi penindakan di KPK, bahwa OTT itu tidak menghasilkan apa-apa  buktinya IPK kita stagnan hanya 37, kurang ada impact. Perlu ada evaluasi yang penting adanya reform di pengadilan," katanya.

"Saya akan hentikan penyidikan itu terutama di lapas karena kok Setnov itu keliatannya lebih gemuk ya?," katanya.

"Untuk apa penindakan kalau tidak ada efek jera!" tegas Roby.

Baca juga: Capim KPK Nurul Ghufron dicecar soal LHKPN hingga plagiarisme
Baca juga: Capim KPK Neneng ingin menjadikan KPK berkelas dunia


Roby mengaku akan lebih mementingkan perampasan aset dengan penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Yang penting itu TPPU yang mereka rampok kita ambil. Dari 131 kasus hanya 15 yang ditindak TPPU. KPK ini kan triger mechanism, berarti memperkuat Kepolisian- Kejaksaan. Kalau saya di KPK bisa saja penyidikan di KPK, penuntutan di Kejaksaan tapi supervisi tetap jalan," katanya.

"Bagaimana mau trigger mechanism kalau semua dipegang? Peradilan polisi paling korup berarti KPK gagal," katanya.

Panelis dalam uji publik tersebut terdiri atas Yenti Garnasih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, Hamdi Moeloek dan Al Araf.

Pansel juga mengundang dua panelis, yaitu sosiolog hukum Meutia Ghani-Rochman dan pengacara Luhut Pangaribuan.

Panitia Seleksi (Pansel) capim KPK pada Jumat (23/8) mengumumkan 20 orang yang lolos lolos seleksi profile assesment.

Mereka terdiri atas akademisi/dosen (3 orang), advokat (1), pegawai BUMN (1), jaksa (3), pensiunan jaksa (1), hakim (1), anggota Polri (4), auditor (1), komisioner/pegawai KPK (2), PNS (2) dan penasihat menteri (1 orang).
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019