Bogor (ANTARA News) - Program bantuan langsung tunai (BLT) yang disalurkan pemerintah kepada 19,1 juta rumah tangga sasaran (RTS), dinilai tidak mengentaskan dan memberdayakan keluarga miskin. Dua pakar sosiologi pedesaan, Prof Dr Ir Sajogyo dan Prof Dr Ir Sediono MP Tjokronegoro mengatakan, program BLT yang disalurkan pemerintah tidak efektif dan tidak memberikan manfaat kepada keluarga miskin. Karena, pemberian uang tunai seperti BLT, tidak mendidik dan tidak menjadikan keluarga miskin produktif. "Kalau pemerintah ingin memberdayakan keluarga miskin, jangan berikan bantuan dalam bentuk uang tunai yang konsumtif, tapi berikan program padat karya. Sehingga keluarga miskin, bisa memiliki pekerjaan, memiliki penghasilan lebih baik, dan perlahan-lahan status sosialnya meningkat," kata Prof Dr Ir Sediono MP Tjokronegoro pada diskusi tentang "Kemiskinan dan Pembangunan Pertanian di Indonesia" di kediaman Prof Dr Ir Sajogyo di Bogor, Rabu. Guru Besar Emerse Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) mengusulkan, jika pemerintah ingin memberdayakan keluarga miskin, sebaiknya BLT yang diberikan adalah bantuan langsung tanah, melalui reforma agraria. Kalau tidak mungkin memberikan bantuan tanah, kata dia, bisa memberikan kesempatan pada keluarga miskin untuk menggarap tanah negara menjadi lahan pertanian. Sehingga, keluarga miskin bisa memiLiki pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Tidak nyambung dengan persoalan keluarga miskin Pemikiran yang sama dikemukakan guru besar sosiologi IPB, Prof Dr Ir Sajogyo yang mengatakan, program BLT yang disalurkan pemerintah saat ini tidak "nyambung" dengan persoalan keluarga miskin, sehingga tidak memberikan manfaat. Kalau pemerintah ingin memberdayakan keluarga miskin, kata dia, bagaimana mengupayakan agar masyarakat miskin bisa produktif, memiliki penghasilan lebih baik, dan bisa menabung, sehingga bisa meningkatkan status sosialnya. "Program pemberdayaan itu dilakukan melalui padat karya, bukan diberikan uang tunai," katanya. Kalau pemerintah ingin membantu keluarga miskin, kata dia, bantuan pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan gratis, lebih bermanfaat untuk keluarga miskin. Direktur Yayasan Bina Pembangunan Bambang Wiwoho juga mempertanyakan indikator pemerintah menetapkan sebanyak 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) yang menjadi RTS penerima BLT. Menurut dia, ada beberapa pendekatan yang menjadi indikator RTM, misalnya penghasilan satu dolar AS per hari atau dua dolar AS per hari, penghasilan Rp600.000 per bulan, atau kondisi rumah dan kondisi kecukupan gizi. Wiwoho juga mempertanyakan, kenapa pemerintah masih menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, kenapa tidak menggunakan data terbaru. Ia mensinyalir ada kepentingan politik, karena jika menggunakan data terbaru maka jumlah keluarga miskin akan lebih tinggi daripada tahun 2005. Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB, Dr Ir Arif Satria mengatakan, penduduk miskin tidak hanya petani, juga nelayan. Berdasarkan data nelayan dan masyarakat pesisir pada 2002, yang miskin 32 persen dari 16 juta KK nelayan, jika indikatornya 1 dolar AS per hari. Sedangkan, jika indikatornya 2 dolar AS per hari, nelayan miskin sekitar 60 persen dari 16 juta KK nelayan. "Itu data tahun 2002, saya tidak tahu data tahun ini, tapi kemungkinan besar meningkat," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008