Jakarta (ANTARA) - Kumpulan buku berhuruf Braille berjejer rapi di lemari-lemari yang ada di Layanan Lansia dan Disabilitas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.

Di bagian perpustakaan dengan warna dominan putih itu juga ada kursi roda, alat pembaca audio book, dan komputer khusus untuk orang-orang dengan gangguan penglihatan akut.

Komputer khusus yang ada di tempat itu memungkinkan pengguna memperbesar gambar pada buku menggunakan pemindai. Mesin juga bisa membacakan kalimat-kalimat yang tercetak di buku.

"Cuma, karena ini dari luar negeri jadi aksennya seperti orang Swedia," ujar Arum Nugrahanti, staf di tempat Layanan Lansia dan Disabilitas.

Layanan Lansia dan Disabilitas memiliki 3.276 judul buku edisi Braille dan 462 audio book atau buku yang disuarakan, yang meliputi biografi, fiksi, non-fiksi, buku agama, dan buku pengetahuan. 

Koleksi novel fiksi edisi Braille milik Perpustakaan Nasional (Perpusnas) cukup lengkap, mencakup beberapa novel yang sudah diangkat ke layar lebar seperti "Dilan" karya Pidi Baiq dan "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer.

Menurut Arum, umumnya penyandang disabilitas lebih memilih menggunakan audio book. Namun tidak sedikit pula yang menikmati buku-buku berhuruf Braille.

Bagi Arum, seorang penderita low vision --kelainan penglihatan yang tidak dapat diperbaiki--, novel tentang penyihir cilik "Harry Potter" edisi Braille meninggalkan kesan tersendiri.

"Harry Potter kan banyak serinya, ada tujuh. Satu novel bisa dipecah dalam beberapa edisi Braille. Bayangkan ini bukunya ada tujuh," kata Arum, takjub dengan banyaknya seri Braille dari buku karya novelis Inggris J.K. Rowling itu.

Arum menjelaskan pula bahwa penyandang disabilitas biasanya mengunjungi Layanan Lansia dan Disabilitas Perpustakaan Nasional secara berkelompok.

Mereka biasanya datang bersama komunitas menggunakan kendaraan khusus seperti TransJakarta Cares untuk menikmati koleksi bacaan perpustakaan.

"Sempat waktu itu mereka ke sini datang, senang sekali membaca lewat audio book sampai berganti buku beberapa kali. Bahkan ada yang bertahan di sini sampai sore," ujar Arum.
 

Staf Layanan Lansia dan Disabilitas Perpustakaan Nasional Arum Nugrahanti memamerkan salah satu koleksi novel Braille di Gedung Perpunas RI, Jakarta, Kamis (5/9/2019). (ANTARA/Prisca Triferna)
Tantangan Akses

Meski kehadiran teknologi sudah sangat membantu, akses literasi masih menjadi salah satu tantangan besar bagi penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, yang ingin menempuh pendidikan ke jenjang lebih tinggi menurut aktivis Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Furqon Hidayat.

Furqon mengatakan bahwa kendati sekarang sudah ada cara baru untuk mendapatkan bahan bacaan, ketersediaan bacaan edisi Braille atau audio book masih terbatas.

Bahan bacaan yang bisa didapat cuma-cuma secara daring pun, menurut dia, kadang formatnya tidak memungkinkan untuk dibaca menggunakan aplikasi pembaca semacam Screen Reader.

Namun tantangan dan kendala itu tidak menyurutkan para penyandang tunanetra yang ingin menambah pengetahuan untuk mendapatkan bacaan.

 

Aktivis Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Furqon Hidayat ketika ditemui di Jakarta Timur pada Jumat (6/9/2019). (ANTARA/Prisca Triferna)

Tantangan dan permasalahan akses buku bagi tunanetra dan orang dengan gangguan penglihatan akut menjadi perhatian negara-negara di dunia, yang tahun 2013 menyepakati Pakta Marrakesh di Maroko untuk mempermudah produksi dan transfer internasional format buku-buku khusus untuk tunanetra.

Pemerintah Indonesia juga sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menjamin integritas dan pemenuhan hak mereka sebagai warga negara, termasuk hak akan pendidikan.

Undang-undang itu mencakup pemenuhan akses literasi bagi penyandang disabilitas. Menurut undang-undang itu, penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan bermutu dan akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Penyandang disabilitas juga berhak atas aksesibilitas untuk memanfaatkan pelayanan publik dan fasilitas publik.

Furqon memuji pengesahan undang-undang tersebut, namun menekankan perlunya pembentukan Komisi Nasional Disabilitas yang anggotanya para penyandang disabilitas untuk menggali masalah nyata yang dihadapi kaum disabilitas, terutama di bidang pendidikan dan literasi, serta menghadirkan solusinya.​​​​​​​
​​​​​​​
Ia menekankan bahwa saat ini penyediaan sumber literasi bagi penyandang disabilitas sudah makin baik, namun belum tersosialisasikan dengan baik kepada kelompok-kelompok atau komunitas penyandang disabilitas.

Sosialisasi dengan cakupan yang lebih luas, menurut alumnus Universitas Negeri Jakarta itu, dibutuhkan agar para penyandang disabilitas mengetahui dan bisa mengakses fasilitas yang disediakan pemerintah.

"Sebenarnya yang dikehendaki tunanetra itu adalah ketersediaan bahan bacaan yang terjangkau. Misalnya terjangkau dari rumahnya atau tidak terlalu jauh," kata Furqon, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Pertuni.

Dia memuji layanan yang disediakan oleh Perpunas RI. Namun, komunitas penyandang disabilitas tidak terpusat di daerah sekitar perpustakaan saja. Penyandang disabilitas yang tinggal di tempat yang jauh dari perpustakaan tentu tidak akan mudah menjangkau layanan itu.

Masalah lainnya, kata Furqon, minat baca di kalangan penyandang disabilitas juga masih rendah sebagaimana di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya. 

"Tunanetra masih belum sepenuhnya bisa mengikuti pendidikan dengan bermakna, karena terkadang terdapat kesulitan bahan bacaan atau sejenisnya," katanya.

Padahal, ia melanjutkan, para penyandang disabilitas selain memiliki keterampilan juga mesti giat membaca dan meningkatkan literasi agar tidak menjadi objek belas kasihan.

"Saya tunanetra, tapi saya bisa jadi ustadz, memberikan penyuluhan agama kepada masyarakat. Berarti itu saya dihargai," katanya.

Harapannya, akses pendidikan dan literasi bagi para penyandang disabilitas pada masa mendatang makin terbuka sehingga mereka bisa makin berdaya.

"Ke depan semoga tunanetra bisa mengikuti pendidikan dengan lebih bermakna," demikian Furqon Hidayat.

Baca juga: Mendikbud: angka buta aksara di Indonesia bagian timur masih tinggi

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019