Dengan AS 'bersiaga' menunggu tanda-tanda dari Arab Saudi bahwa Iran terlibat, ketegangan di Timur Tengah bisa menjadi lebih buruk sebelum mereka menjadi lebih baik. Dalam keadaan ini harga minyak masih bisa naik untuk beberapa waktu
Tokyo (ANTARA) - Harga minyak turun lebih dari satu persen di perdagangan Asia pada Selasa pagi, karena pasar bergantung pada kegelisahan setelah serangan terhadap fasilitas minyak mentah Arab Saudi.

Serangan itu meningkatkan ketidakpastian di pasar yang menjadi relatif tenang dalam beberapa bulan terakhir karena melambatnya pertumbuhan akibat perang perdagangan AS dan China kini menghadapi hilangnya minyak mentah dari Arab Saudi, biasanya menjadi pemasok terakhir ketika semuanya gagal.

Indeks volatilitas pasar minyak pada Senin (16/9/2019) naik ke posisi tertinggi sejak Desember 2018, dan aktivitas perdagangan menunjukkan investor memperkirakan harga lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang.

Baca juga: Minyak melonjak 15 persen setelah serangan terhadap fasilitas Saudi

Minyak mentah Brent turun 77 sen atau 1,1 persen menjadi diperdagangkan di 68,25 dolar AS per barel pada pukul 00.51 GMT (07.51 WIB), sementara minyak mentah West Texas Intermediate turun 82 sen atau 1,3 persen menjadi diperdagangkan di 62,08 dolar AS per barel.

Harga minyak mentah melonjak hampir 20 persen pada Senin (16/9/2019) ketika mereka merespons serangan pada Sabtu (15/9/2019), lompatan terbesar dalam hampir 30 tahun, sebelum ditutup sekitar 15 persen lebih tinggi.

“Dengan AS 'bersiaga' menunggu tanda-tanda dari Arab Saudi bahwa Iran terlibat, ketegangan di Timur Tengah bisa menjadi lebih buruk sebelum mereka menjadi lebih baik. Dalam keadaan ini harga minyak masih bisa naik untuk beberapa waktu," kata analis Cityindex Fiona Cincotta.

Baca juga: Pasar saham Australia berakhir datar meski harga minyak melonjak

“Namun, jangan lupa juga bahwa angka permintaan tidak terlalu bagus saat ini yang akan meredam harga minyak dengan cepat. Baru-baru ini angka produksi industri China mengecewakan dalam semalam," kata Cincotta.

Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar di dunia dan dengan kapasitas cadangan yang relatif besar, telah menjadi pemasok terakhir ketika semuanya sudah gagal selama beberapa dekade.

Serangan terhadap fasilitas pengolahan minyak mentah milik produsen Saudi Aramco di Abqaiq dan Khura memangkas produksi sebesar 5,7 juta barel per hari dan menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuannya untuk mempertahankan ekspor minyak.

Perusahaan belum memberikan garis waktu khusus untuk dimulainya kembali produksi penuh.

Penyulingan di Asia, wilayah konsumen terbesar di dunia, berebut untuk pasokan alternatif, sementara produsen minyak mentah AS meningkatkan upaya untuk mengekspor minyak mentah dan Arab Saudi mencoba untuk mengamankan produk olahan.

Baca juga: Harga minyak melonjak usai serangan terhadap fasilitas Saudi

 

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019