Jakarta (ANTARA) - Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

"Kami mendesak pemerintah terutama DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS," kata Koordinator Pemberdayaan dan Partisipasi Politik DPP HWDI, Muharyati saat berorasi di depan Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Selasa.

HWDI berpandangan terdapat sejumlah poin sehingga RUU PKS perlu segera disahkan. Pertama, penyandang disabilitas cukup rentan terhadap kekerasan seksual. Buktinya, terdapat 90 kasus kekerasan yang dilaporkan dan dialami perempuan disabilitas dalam kurun waktu 2015-2016.

Rinciannya ialah 51,11 persen disabilitas mental, 28,88 persen disabilitas rungu wicara, 5,5 persen disabilitas intelektual, 6,6 persen disabilitas fisik, 2,22 persen disabilitas netra dan 5,55 persen tidak diketahui disabilitasnya.]
Baca juga: Pegiat Perempuan sebut DPR tak serius bahas RUU kekerasan seksual

"Dari 90 kasus kekerasan tersebut, 92,2 persen merupakan kekerasan seksual dan kasus yang dilaporkan merupakan fenomena gunung es. Bahkan, masih banyak kasus yang belum terungkap," katanya.

Kemudian, kata dia, terdapat sembilan isu penting terkait hal ini yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.

Menurutnya, jika pemerintah mengesahkan RUU PKS, maka penyandang disabilitas akan dimudahkan dalam proses peradilan baik sebagai korban maupun saksi.

Seterusnya, upaya perlindungan terhadap penyandang disabilitas akan lebih maksimal karena kerja aparat pemerintah diatur dengan jelas.

"Kemudian, RUU PKS juga akan memunculkan rasa keadilan karena mekanisme penegakan hukum yang baik dapat diperoleh dan berpihak kepada penyandang disabilitas," ujar dia.
Baca juga: Mahasiswa Sumbar minta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual direvisi

HWDI juga menyakini apabila RUU PKS disahkan, maka jumlah korban kekerasan seksual terutama penyandang disabilitas akan berkurang.

Kemudian, para pelaku akan berfikir dua kali karena adanya sanksi hukum yang lebih berat dan menimbulkan efek jera.

"Terakhir, penyandang disabilitas yang pernah menjadi korban akan sadar hukum dan memanfaatkan mekanisme yang ada dalam mencari keadilan," katanya.

Orasi tersebut tidak hanya disuarakan oleh HWDI, namun dari beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sahkan RUU PKS.

Sementara itu, Awi salah seorang perwakilan Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) yang juga turut berorasi di depan Gedung MPR/DPR menyatakan menolak RUU PKS karena menilai banyak pasal yang multitafsir.

"Sikap kami jelas menolak, asas yang mereka kemukakan yaitu Hak Asasi Manusia bukan UUD 1945 dan pancasila," kata dia.
Salah seorang peserta aksi unjuk rasa membentangkan poster di depan Gedung MPR/DPR RI mendesak pemerintah menolak RUU PKS. (ANTARA/ (Muhammad Zulfikar)

Ia menjelaskan jika RUU PKS disahkan, maka kebebasan yang mengarah kepada penyimpangan seksual terbuka lebar. Sementara hal itu dinilai ACN bertolak belakang dengan butir pertama pancasila.

Namun, jika RUU PKS bertujuan baik untuk melindungi kaum perempuan dari kekerasan seksual, ACN mengajak semua pihak terkait duduk bersama untuk membahasnya.
Baca juga: Pegiat: RUU PKS tak bertentangan dengan agama
Salah seorang peserta aksi unjuk rasa berdiri di depan Gedung MPR/DPR RI mendesak pemerintah segera mensahkan RUU PKS. (ANTARA/ (Muhammad Zulfikar)

 

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019