hampir 100 persen kebutuhan pangan dalam negeri dicukupi dengan komoditas impor
Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amien menyebutkan bahwa ketimpangan impor pangan di Indonesia masih besar dibandingkan kebutuhan.

"Kita harus membangun arus bawah ekonomi, sebab ketimpangan impor pangan di Indonesia masih terjadi," kata Ma'ruf Amien dalam diskusi ketahanan pangan di Jakarta, Sabtu.

Menurut Ma'ruf selama ini pembangunan banyak dilakukan pada arus atas sehingga terjadi konglomerasi. Seharusnya diharapkan aliran ekonomi akan merembet untuk kalangan bawah, namun praktiknya hal tersebut urung terjadi.

Baca juga: Anggota DPR: impor pangan harus pada waktu yang tepat

"Pembangunan ekonomi arus atas diharapkan menetes ke bawah, namun belum terjadi secara maksimal, makanya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menginisiasi inkubasi bisnis berbasis syariah untuk menguatkan arus bawah," kata Ma'ruf.

Ia banyak menyoroti pada sektor pertanian, di mana Indonesia memiliki keunggulan pada sektor tersebut. Lahan dan kualitas tanah Nusantara sudah layak untuk ditanami berbagai jenis komoditas, tetapi kuantitas menunjukkan angka berbeda.

Sektor pertanian mulai jagung, hingga kopi yang harusnya tersedia banyak di Indonesia, pada kenyataannya masih membutuhkan banyak impor.

Baca juga: Peneliti minta data pangan diperbaiki untuk kurangi kesemrawutan impor

Melihat neraca perdagangan ekspor impor komoditas pangan pada semester pertama 2019 hanya senilai Rp170 miliar, merupakan peringkat ke-29 negara, sedangkan nilai impor komoditas pangan pada semester pertama 2019 justru senilai Rp35,5 triliun.

Hal ini dinilai sangat timpang, karena hampir 100 persen kebutuhan pangan dalam negeri dicukupi dengan komoditas impor. Berangkat dari kenyataan tersebut, Pusat Inkubasi Bisnis Syariah (PINBAS) Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencanangkan Gerakan Nasional Kedaulatan Pangan (GNKP) telah diresmikan langsung oleh Ma’ruf Amien untuk menjawab permasalahan kedaulatan pangan yang masih sulit tercapai.

Baca juga: HKTI ingin impor yang merugikan petani dapat dihentikan

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019