Jakarta (ANTARA) - Salah satu fenomena yang menarik dari kultur rock 1970-an adalah berdirinya pemancar gelap dan radio amatir di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya.

Sebenarnya fenomena pemancar gelap ini sudah terjadi sejak akhir 1960-an. Lewat antena bambu sebagai pemancar transmisi mereka siap memutar lagu-lagu barat kesukaan.

Harry Pochang yang ikut menyiarkan lagu-lagu folk lewat pemancar gelap, mengatakan jumlah pemancar gelap saat itu cukup banyak. Lewat piringan hitam, setiap kelompok memutarkan jenis lagu yang berbeda-beda, ada yang khusus memutar lagu-lagu pop saja, ada yang memutar lagu-lagu rock ada juga yang khusus memutar lagu-lagu folk.

"Pemancar gelap sudah kayak tempat kumpul, jadi teman-teman datang, ada yang pacaran, kita memutar lagu-lagu yang kita suka aja. Ada yang khusus Bee Gees, ada yang lebih serius literaturya ngulik Bob Dylan," kata dia.

Selain dari pemancar gelap, ada juga radio-radio resmi seperti radio Mora di Bandung yang khusus memutarkan lagu-lagu rock seperti Rolling Stones dan sejenisnya.
 
Rolling Stone (FOTO ANTARA/Reuters)


Baca juga: Histori rock Indonesia, Orde Baru buka keran budaya barat

Baca juga: Cerita Dara Puspita siasati musik "Ngak Ngik Ngok" ala Barat


Tak hanya itu, kaset-kaset bajakan juga salah satu yang berkontribusi terhadap perkenalan mereka dengan musik-musik dari luar. Karena piringan hitam harganya mahal dan hanya bisa diakses oleh keluarga-keluarga yang berada.

"Kalau tanpa kaset bajakan dari mana orang bisa dengar musik keren? Piringan hitam mahal, tapi sebelum ada kaset bajakan kita memang enggak punya pilihan," kata dia.

Pembajakan pada era itu memang terbilang sangat masif, perbandingannya jika penjualan piringan hitam bekisar belasan ribu judul, kaset bajakan mencapai angka satu hingga dua juta judul, menurut Theodore KS dalam bukunya "Rock 'n Roll Industri Musik Indonesia".

Dia mengatakan masuknya nilai-nilai baru lewat musik, juga mengubah cara berpikir yang semakin revolusioner dan itu terlihat dari lagu-lagu yang dihasilkan Gang of Harry Roesly yang lebih bebas dan eksploratif.
 
Kelompok musik God Bless beraksi bersama Ridho & Abdee (gitaris Slank) pada acara "Rock n`Roll Propaganda" dalam rangka ultah majalah musik Rolling Stone ke-4 di Jakarta, Kamis (7/5) malam. (ANTARA/FANNY OCTAVIANUS)


Baca juga: Cerita kebangkitan Cokelat, album #LIKE! dan konsistensi konsep rock

Baca juga: Resep nge-band awet ala Ahmad Albar dan Eet Sjahranie


Referensi musik dari luar juga mengubah nilai estetika dalam bermusik, jika sebelumnya penyanyi identik dengan suara indah, hadirnya Bob Dylan yang suaranya tak semerdu Frank Sinatra, namun membawa pesan-pesan kuat dalam lirik-liriknya, membuat para pemuda terinspirasi bahwa menyanyi tidak mesti bersuara bagus.

"Kalau dulu kan penyanyi itu suaranya bagus, tetapi ketika ada Bob Dylan beken nah orang-orang berani tuh nyanyi meski suaraya jelek. Orang-orang lebih peduli ke isi, pesan-pesan bukan hanya tentang cinta yang personal tetapi lebih ke politik," kata dia.

Tapi dia tak memungkiri ada juga kelompok pemuda yang hanya mengikuti gaya hidup rock saja tanpa mengerti esensi dari nilai pergerakan yang dibawa dari musik-musik tersebut.

Baca juga: Kata Nicky Astria soal sulitnya mencari "Lady Rocker" masa kini

Baca juga: Gitar Chuck Berry, Elvis hingga Bob Dylan terpajang di museum ini

 
Barry, Maurice and Robin Gibb (personel The Bee Gees) (-)


Era 1970-an memang menjadi embrio muncul-munculnya band-band rock Indonesia, menurut Pochang band-band ini biasanya lahir dari pertemanan di sekolah atau tongkrongan-tongkrongan. Dia dan Harry Roesli misalnya, pertama kali bermain band dengan nama "Batu Karang" saat keduanya duduk di bangku SMA. Bersama tiga temannya yang lain, band mereka terinspirasi dari The Rolling Stones.

"Dari situ terus kita mengembangkan musik hingga akhirnya bertemu teman yang lain seperti Albert Warnerin, Janto Soedjono, Indra Rivai dan Dadang Latief, mengeluarkan album pertama yaitu Philosopy Gang pada 1973," ucap dia.

Pengamat musik yang juga akademisi dari Universitas Pasundan, Djaelani menuturkan tongkrongan kota memang cukup berpengaruh pada perkembangan musik rock awal terutama di Bandung.

Kata dia, di era 1970-an musisi Kota Bandung kerap nongkrong di kawasan Muara Rajeun. Beberapa nama yang sering berada di situ di antaranya adalah kawanan The Rollies dan Gang of Harry Roesli.

Kala itu, musik rock juga masih bersifat umum mengacu pada musik keras dan belum terkotak-kotakkan oleh genre turunannya. Tak heran di saat yang bersamaan, seorang pendengar musik rock bisa mendengarkan Rolling Stones yang sederhana hingga Genesis yang relatif lebih rumit.

"Orang main Rolling Stones orang main Beatles ya (disebutnya) rock saja. Belum ada itu heavy metal, belum sampai pada pecah ke subgenre dead metal, thrash metal, dan lain-lain," kata Djaelani.

Baca juga: Ric Ocasek, penyanyi The Cars tutup usia

Baca juga: Film pendek "Battle at Big Rock" jadi petunjuk sekuel "Jurassic World"

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019