Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI Ecky Awal Mucharam menginginkan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mempercepat penurunan angka defisit perdagangan dapat dipercepat guna memperbaiki kinerja perekonomian dan anggaran nasional.

"Defisit perdagangan mencapai 1,94 miliar dolar AS pada Januari-September 2019. Perlu kita pahami bahwa surplus neraca perdagangan menjadi sangat penting, karena hanya komponen tersebut yang dapat menurunkan defisit neraca transaksi berjalan," kata Ecky Awal Mucharam, Jumat.

Menurut dia, terjadinya penurunan kinerja sektor eskpor yang mengkhawatirkan karena tidak bisa mempercepat upaya penurunan defisit perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Baca juga: KEIN nilai UMKM perlu didukung untuk sokong ekspor

Ecky berpendapat bahwa beberapa hal yang mempengaruhi daya saing komoditas Indonesia di perdagangan global antara lain struktur ekspor yang didominasi oleh komoditas mentah seperti minyak, batubara, hingga CPO, di mana harganya cenderung turun.

Selain itu, ujar dia, faktor lainnya adalah sempitnya jangkauan pasar ekspor Indonesia, di mana hanya 13 negara sasaran ekspor yang berkontribusi hingga sekitar 70 persen dari nilai ekspor.

Sebagaimana diwartakan, pemerintah dinilai perlu terus menggenjot kinerja ekspor di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Baca juga: Apindo: Fokus kembangkan industri hulu, tekan defisit neraca dagang

"Sangat penting bagi pemerintah untuk terus meningkatkan kinerja ekspor mengingat kondisi perdagangan kita saat ini sangat terpengaruh dengan kondisi global yang kian dinamis dan cenderung tidak menentu. Dibukanya pasar-pasar baru untuk menjadi tujuan ekspor Indonesia merupakan langkah strategis yang dapat ditempuh untuk menangkap peluang memperbesar volume ekspor," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan.

Menurut dia, pemerintah perlu memperhatikan dua hal, yaitu pembukaan pasar-pasar baru dan harmonisasi regulasi untuk mendukung investasi, serta perjanjian kerjasama perdagangan secara bilateral maupun regional menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Dari pantauan CIPS, sejauh ini pemerintah Indonesia telah mengantongi 17 perjanjian kerjasama ekonomi dengan mayoritas melibatkan ASEAN dengan 10 perjanjian. Selain itu, untuk saat ini, masih terdapat 12 perundingan yang masih berjalan.

Beberapa diantaranya mencakup kerja sama dengan mitra yang memiliki potensi pangsa pasar yang besar seperti perjanjian Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), ASEAN-India Free Trade Agreement (FTA) dan juga Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang disebut-sebut akan rampung di akhir tahun 2019 ini.

"Pemerintah juga perlu terus mengeksplorasi kemungkinan kerjasama perdagangan yang dapat menjadi negara tujuan ekspor. Tercatat setidaknya terdapat 11 potensi kerjasama perdagangan dengan mitra yang baru. Beberapa diantaranya disinyalir berada di kawasan Afrika dan juga Timur Tengah," jelas Pingkan.

Ia berpendapat bahwa ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar ekspor dominan, seperti China, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Asia Tenggara pada umumnya perlu digeser dengan membuka pasar-pasar baru. Pasar Afrika, dalam hal ini, menjadi pasar potensial untuk dilirik sebagai tujuan ekspor.

Apalagi pada saat ini, ujar dia, nilai perdagangan di negara-negara di Afrika masih didominasi oleh China dan negara-negara Uni Eropa.

"Namun, adanya peningkatan jumlah penduduk kelas menengah di Afrika dapat mendorong tumbuhnya permintaan yang selanjutnya dapat diisi oleh produk asal Indonesia," ucapnya.

Seperti diketahui, Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru mengenai kondisi neraca perdagangan Indonesia menunjukkan kita masih mengalami defisit yang dihitung secara kumulatif dari Januari hingga September 2019 bernilai sebesar 1,94 miliar dolar AS.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019