Bogor, (ANTARA News) - Pengembangan "integrated silvopastural" diyakini mampu menekan laju kerusakan hutan hingga 30 persen per tahun, serta mampu pula merehabilitasi hutan ataupun lahan secara mudah dan mandiri. Staf pengajar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Ricky Avensora MScF mengatakan hal itu di Bogor, Minggu . "Dalam konteks teknis, jika saja ada satu kabupaten di propinsi yangkaya seperti di Nanggroe Aceh Darussalam/NAD dan Kalimantan Timur,dalam tiga tahun mau fokus menggunakan Rp500 juta/tahun dari anggaran belanja mereka untuk mengembangkan integrated silvopastural, misalnya,akan mampu menekan laju kerusakan hutan hingga 30 per tahun," katanya kepada ANTARA. Dalam pandangan Ricky Avenzora, dengan pengembangan "integrated silvopastural" tersebut, maka secara matematis mudah dihitung dan diyakini bahwa pada akhir tahun ketiga di sebuah kabupaten tersebut, akan mampu mempunyai industri peternakan. Berbagai turunan industri hilirnya setidak-tidaknya mampu mengurangi 20 persen angka pengangguran, nyata ataupun terselubung, di kabupaten tersebut per tahun. Selain itu, juga akan mampu menekan laju kerusakan hutan hingga 30 per tahun serta mampu pula merehabilitasi hutan ataupun lahan secara mudah dan mandiri pada akhir tahun keenam. Pada bagian lain, ia mengatakan bahwa penurunan laju deforestasi hutan di Indonesia, seperti yang dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ataupun pihak lain, khususnya tentang volume pekerjaan rehabilitasi ataupun penghijauan, bagi sekelompok masyarakat tertentu barangkali adalah angka yang menakjubkan dan menggembirakan. Namun bagi kelompok masyarakat lainnya barangkali masih menjadi sumber pertanyaan ataupun malah sumber kesedihan. "Tanpa bermaksud mengecilkan apa yang telah dibuat, dalam konteks rasio statistik maka angka tersebut secara obyektif harus dikatakan masih tergolong sangat kecil dibandingkan dengan luas hutan dan lahan terlantar yang masih harus direhabilitasi atau dihijaukan," kata Ricky Avenzora, yang menyelesaikan S-2 dan S-3 di "George August Universitaet", Gottingen-Jerman itu. Tanpa mengecilkan arti gerakan moral yang sedang dilakukan saat ini,kata dia, kecepatan berbuat dan bertindak melalui gerakan moral tersebut akan selalu kalah dengan kecepatan perusakan hutan dan lingkungan secara umum yang terus terjadi setiap detik. Karena itu, ia menyarankan semua pihak harus berhenti untuk berpikir dan bertindak egois --apakah egois yang berbunyi "rendahnya persentase tumbuh berarti proyek lagi bagi diriku/kelompokku tahun depan"-- ataupun egois yang berbunyi "selama isu kerusakan hutan/lahan bisa aku/kami jual untuk mendapatkan uang, maka aku/kami tidak perlu memeras otak dan bersatu untuk memperbaikinya". Sebagai contoh sederhana, kata dia, jika saja semua bupati mau berhenti berpikir egois dan mau bersatu, maka barangkali pola "bagi-bagi kue" bisa dihentikan, sehingga setiap tiga tahun satu kabupaten selesai direhabilitasi atau dihijaukan secara integratif untuk menghasilkan berbagai kehijauan hutan dan lahan yang sekaligus bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat pada skala ekonomi yang sesungguhnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketika kerusakan hutan dan lahan kritis di satu kabupaten berhasil diubah posisinya dari aset tetap yang membebani keuangan daerah (ataupun pusat) menjadi aset lancar yang menghasilkan uang, maka pada tahun ke empat pola yang sama bisa digulirkan ke kabupaten yang lain. "Dan, pada tahun ke empat itu juga kabupaten pertama tadi telah mampu menjadi sumber serapan tenaga kerja dari berbagai kegiatan ekonomi yang dibangun secara integratif dalam rehabilitasi hutan dan penghijauan lahan," kata Ricky Avenzora.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008