Jakarta (ANTARA) - Guru Besar IPB Bungaran Saragih menyatakan industri perunggasan di tanah air memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional, namun demikian daya saing sektor ini masih rendah sehingga jika tidak dibenahi akan terancam ke depannya.

Saat menjadi pembicara utama Forum Diskusi Agrina "Penyediaan Jagung Pakan Sesuai Harga Acuan untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Ayam Nasional" di Jakarta, Rabu dia menyebutkan, masalah utama rendahnya daya saing industri unggas nasional adalah mahalnya biaya produksi ayam Indonesia dibandingkan dengan negara lain.

"Biaya pokok produksi ayam Indonesia mencapai 1,1 – 1,3 dolar AS per kilogram atau sebesar Rp15.000 - Rp.18.000 per kilogram," katanya.

Sedangkan biaya pokok ayam Brazil, lanjutnya, hanya sekitar 0,5 – 0,6 dolar per kilogram atau Rp9.000 - Rp10.000 per kilogram.

Baca juga: Pasar unggas dalam negeri jadi incaran negara produsen

Tingginya biaya pokok produksi ayam di Indonesia, menurut mantan Menteri Pertanian itu, karena mahalnya biaya pakan, mengingat biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi.

Bahan baku utama pakan unggas adalah jagung dan kedelai, tambahnya, keterkaitan kedua faktor tersebut menunjukkan bahwa negara dengan industri unggas yang unggul adalah negara yang juga memiliki keunggulan dalam industri jagung dan kedelai.

Brazil, Amerika Serikat dan China merupakan negara produsen unggas terbesar di dunia, dimana ketiga negara tersebut juga merupakan negara produsen jagung dan kedelai terbesar dunia.

"Titik lemah industri unggas nasional terletak pada kurang berkembangnya sektor hulu industri pakan. Indonesia berhasil mengembangkan industri substitusi ayam ras, namun sejak dahulu belum berhasil mengembangkan jagung dan kedelai," katanya.

Baca juga: Industri Unggas Diminta Tak Tergantung Asing

Implikasinya kebutuhan bahan baku pakan harus bergantung pada impor. Hal ini merupakan masalah serius bagi industri unggas nasional.

Brazil dan Amerika Serikat merupakan negara yang menguasai jagung dan kedelai dunia sekaligus negara eksportir unggas terbesar di dunia.

Ke depan, kedua negara tersebut akan lebih banyak menggunakan jagung dan kedelai sebagai bahan baku biofuel (selain untuk pakan ternak). Terbatasnya suplai dari kedua negara tersebut akan menyebabkan industri unggas nasional kesulitan memperoleh bahan baku pakan di pasar dunia.

Kedua negara tersebut juga akan lebih memilih mengekspor daging ayamnya ke Indonesia dibandingkan mengekspor jagung dan kedelai. Hal ini mengancam keberlangsungan industri unggas nasional.

"Untuk menghadapi kondisi yang demikian, jika kita ingin industri unggas nasional tetap survive bahkan bisa bersaing setidaknya di pasar domestik maka upaya yang harus dan secepatnya dilakukan adalah dengan membangun basis kuat industri pakan di dalam negeri," ujar Bungaran.

Pengembangan "corn estate" atau kawasan jagung dan "soy estate" atau kawasan kedelai yang modern dan terintegrasi dengan industri pakan harus segera dilakukan oleh industri pakan dan tidak bisa diserahkan kepada pihak lain seperti selama ini.

Selain itu, orientasi lokasi industri unggas juga menjadi startegi yang penting dilakukan guna meningkatkan daya saing industri unggas nasional. Ke depan, lokasi industri unggas diarahkan untuk dikembangkan di daerah sentra corn estate dan soy estate yang terintegrasi dengan industri pakan.

"Orientasi pengembangan lokasi yang demikian akan menurunkan biaya logistik sehingga biaya pokok produksi menjadi lebih kompetitif," katanya
 

Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019