Jakarta (ANTARA) - Ada tiga pengucapan menarik di sejumlah media massa yang ingin merujuk kepada status desa yang pemerintahannya tidak aktif namun tetap disebut sebagai desa.

Pertama, ada yang menyebutnya sebagai 'desa siluman'. Maksudnya 'desa siluman' tersebut adalah desa yang tidak berpenghuni tetapi mendapatkan kucuran Dana Desa dari pemerintah.

Menarik karena desa siluman ternyata tidak fiktif. Desa itu benar-benar ada. Dilansir dari situs Wikipedia, Siluman adalah salah satu desa di kecamatan Pabuaran, Subang, Jawa Barat, Indonesia. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian petani. Industri rumahan yang berkembang adalah perajin meubel.

Pengucapan kedua adalah desa hantu. Entah ada kaitan riwayat apa penyebut desa hantu itu dengan kisah viral desa penari yang katanya mau ditayangkan di Bioskop tanah air.

Tapi, desa hantu secara pengertian awam berarti desa yang dihuni penghuni tak kasat mata. Bisa dibayangkan, betapa menyeramkan desa itu kalau benar-benar ada.

Lanjut ke pengucapan ketiga, yakni desa fiktif. Menurut KBBI, fiktif itu artinya bersifat fiksi atau hanya terdapat dalam khayalan.

Dari ketiga pengucapan itu, tampaknya yang fakta hanya desa siluman. Kendati, bukan berarti desa siluman yang di Subang itu yang dimaksud oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

Dalam kunjungan Presiden di acara Peresmian Pembukaan Konstruksi Indonesia 2019 di Jakarta International Expo Kemayoran, Jokowi mengatakan akan mengejar siapapun pelaku atau oknum hingga tertangkap terkait dugaan adanya desa yang dibentuk oleh oknum untuk memperoleh kucuran dana desa.

"Yang namanya desa-desa tadi yang diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, tertangkap,” kata Presiden Jokowi di Jakarta, Rabu (6/11).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan ada laporan banyak desa baru tak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapat kucuran dana desa secara rutin tiap tahun.

"Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN sehingga sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya, hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," ujar Sri Mulyani di depan anggota Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (4/11).

Keberadaan aliran uang dana desa yang rutin dikucurkan itu, menurut Sri Mulyani, membuat pihak-pihak tidak bertanggung jawab memanfaatkan momentum dengan membentuk desa baru.

Pemerintah sudah menggelontorkan Rp257 triliun dana desa sejak 2015. Rinciannya, Rp20,67 triliun (2015), Rp46,98 triliun (2016), Rp60 triliun (2017), Rp60 triliun (2018) dan Rp70 triliun (2019).

Presiden Jokowi meminta agar dana desa dapat dipergunakan maksimal untuk pembangunan desa-desa. Namun, dengan adanya desa siluman, publik tentu bertanya-tanya. Kemana dana desa itu diberikan?

Dalam perjalanannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima pengaduan dari masyarakat tentang tidak adanya pelayanan masyarakat di desa hantu tersebut.

Perkara yang diadukan adalah dugaan tindak pidana korupsi membentuk desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah, sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe Tahun Anggaran 2016 sampai dengan Tahun Anggaran 2018.

Dalam perkara tersebut, diduga ada 34 desa yang bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sedangkan 31 desa lainnya ada akan tetapi surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur (backdate).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu (6/11), mengatakan KPK melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi dalam bentuk dukungan terhadap penanganan perkara oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara yang akan mengungkap desa fiktif tersebut.

Pada 24 Juni 2019, kata dia, penyidik Polda Sulawesi Tenggara bersama KPK telah melakukan gelar perkara dalam tahap penyelidikan di Markas Polda Sulawesi Tenggara.

"ebri mengatakan bahwa dalam gelar perkara tersebut disimpulkan saat naik ke tahap penyidikan akan dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana untuk menyatakan proses pembentukan desa yang berdasarkan peraturan daerah yang dibuat dengan backdate merupakan bagian dari tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

Selanjutnya pada 25 Juni 2019, dilakukan pertemuan antara pimpinan KPK dan Kapolda Sulawesi Tenggara. Dalam pertemuan tersebut, kata Febri, diminta agar KPK melakukan supervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi ahli dalam perkara tersebut.

Perkara itu telah naik ke tahap penyidikan dan Polda telah mengirimkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) ke KPK sesuai ketentuan pasal 50 Undang-Undang KPK.

Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan yang dilakukan Polri adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.

Febri menyatakan salah satu bentuk dukungan KPK adalah memfasilitasi keterangan ahli pidana dan kemudian dilanjutkan gelar perkara bersama pada 16 September 2019.

Febri menegaskan bahwa KPK berupaya semaksimal mungkin untuk tetap melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi agar anggaran yang seharusnya dinikmati rakyat tidak dicuri oleh orang-orang tertentu..

Baca juga: Sri Mulyani paparkan kriteria desa fiktif

Empat desa

Tim observasi Kemendagri telah berkomunikasi dengan Bupati Konawe untuk menanyakan keberadaan desa hantu tersebut.

Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Nata Irawan kepada wartawan usai rapat kerja bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rabu (6/11), mengakui setelah diverifikasi yang dinyatakan fiktif sebenarnya ada empat.

Adapun nama-nama ke empat desa hantu tersebut ialah desa Larehoma di Kecamatan Anggaberi, desa Wiau di Kecamatan Routa, desa Arombu Utama di Kecamatan Latoma serta desa Napooha di Kecamatan Latoma.

Adapun pembentukan desa 'hantu' diketahui ada melalui pendaftaran yang disampaikan dalam Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2012 tentang pendefinitifan desa-desa di Konawe, Sulawesi Tenggara.

Sementara usul (pembentukan desa) itu sudah ada disampaikan melalui Perda itu muncul tahun 2011," kata Nata.

Persetujuan Kemendagri tentang desa 'hantu' tersebut didasarkan pertimbangan pendaftarannya melalui Perda dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Pasal 116 UU Desa mengatakan bahwa desa yang ada sebelum UU Nomor 6 tahun 2014 berlaku, tetap diakui sebagai desa. "Kami dari Kementerian Dalam Negeri pikir, masa sudah ditetapkan dalam Perda kemudian kami tolak? Kan tidak mungkin," kata Nata.

Setelah menerjunkan tim observasi dan berkomunikasi dengan Bupati Konawe, Nata menegaskan bantuan alokasi dana desa (ADD) kepada desa 'hantu' sudah berhenti sejak 2017.

Dia juga mengungkapkan bahwa pihaknya sudah konfirmasi dengan Bupati, yang menyebut dana desa tidak digelontorkan kepada empat desa tadi dan ditahan sejak tahun 2017.

Ditemui di tempat yang sama, Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Aferi Syamsidar Fudail mengatakan kalau peraturan daerah yang membentuk desa hantu tidak mengacu aturan jumlah penduduk di Undang-Undang (UU) Desa.

Bahkan, tanpa menyebut nama desa, Feri mengatakan ada satu desa yang jumlah Kepala Keluarga (KK) hanya ada tujuh. Padahal menurut aturan Pasal 8 ayat 3 UU Desa menyebutkan kalau pembentukan desa baru di wilayah Sulawesi Tenggara harus memiliki minimal 400 KK atau 2.000 jiwa.

Ia mengatakan tujuan empat desa itu ditetapkan oleh pemerintah daerah saat itu adalah untuk memastikan keempatnya sebagai bagian daerah Kabupaten Konawe yang berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara.

Itu memastikan kalau daerah-daerah itu tidak diambil Kabupaten lain sehingga wilayahnya tetap berada dalam Kabupaten Konawe.

Baca juga: Tito Karnavian perintahkan Pemda verifikasi desa

Tak ditemukan

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengaku tak ditemukan desa fiktif di Konawe, Sulawesi Tenggara.

Halim mengatakan bahwa desa-desa yang disebut fiktif tersebut tetap berwujud desa lengkap dengan penduduk.

Termasuk yang di Konawe itu, tetapi kita tidak tahu di luar big data yang kita miliki. Apakah kemudian ada terselip, termasuk yang di Konawe itu.

Apakah kemudian ada terselip, Halim menyatakan juga menunggu, tapi terus diupdate dan setiap hari di-"check and recheck" pihaknya tidak menemukan di Konawe itu

Data di Kemendes PDTT menurut Halim sudah diberikan kepada Kementerian Keuangan. Di dalam tahun berjalan 2019 saat ini laporan semuanya baik. Halim pun mengaku pihaknya terbuka untuk melibatkan semua pihak dalam mengawasi penyaluran dana desa.

"Tetapi yang namanya Indonesia ini luas pulaunya banyak, jumlah desa 70 ribu sekian, bisa saja data kita ada yang belom ter-cover, kemungkinan, tapi dari setiap hari saya update, saya buka, saya pelajari, saya dalami, tidak ada, kayaknya nggak ada," ungkap Halim.

Baca juga: Inspoktorat telusuri tujuh kampung "siluman" di Papua Barat

Verifikasi ulang

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mendesak agar pemerintah melalui Kementerian Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi memverifikasi ulang keberadaan desa, termasuk legalitas desanya, sehubungan adanya kucuran dana desa yang masuk ke desa-desa fiktif.

Manajer Riset Seknas FITRA, Badiul Hadi menyebut verifikasi ulang ini hendaknya diutamakan untuk desa-desa pemekaran yang baru. Pengawasan ini juga tidak hanya dilakukan oleh pusat tetapi juga daerah.

Dia meminta perlu koordinasi lintas sektor untuk mencegah terjadinya kebocoran dana desa karena adanya desa-desa fiktif.

Menurut dia hendaknya mekanisme transfer dana dari kabupaten ke desa juga dievaluasi untuk meminimalisasi kebocoran dana desa. Di daerah, pengawasan internal bisa juga dilakukan dengan memperkuat posisi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP).

"Sementara dari eksternal dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam mengontrol pelaksanaan transfer dana desa," katanya.

Ia juga menilai selama ini faktor pengawasan dan evaluasi dana desa tidak berjalan dengan baik, hal itu memungkinkan kebocoran-kebocoran dana tersebut

Belakangan, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Nata Irawan menyatakan sebanyak empat desa yang belakangan dikatakan fiktif sebenarnya ada dan sah sebagai desa secara historis dan sosiologis.

Hanya saja, pembentukan dan langkah mendefenitifkan desa-desa dalam wilayah Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara itu ditemukan tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.

Ada 56 desa yang tercantum dalam peraturan daerah tersebut, termasuk empat desa yang dianggap fiktif, yaitu Desa Arombu Utama, Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma, Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau, Kecamatan Routa, dan Desa Napooha, Kecamatan Latoma.

Pada empat desa itu, tim mendapatkan aktivitas pemerintahan tidak berjalan dengan baik, karena kepala desa dan perangkat tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, persoalannya juga dipicu kesenjangan antara kepala desa beserta perangkat desanya terhadap penghasilan yang diterima pendamping lokal desa yang notabene tidak banyak membantu dan tidak selalu hadir di lapangan.

Tim juga mendapatkan data kepala daerah tidak melakukan pembinaan secara menyeluruh terkait dengan tata kelola pemerintahan desa.


Solusi Mendagri


Untuk mengatasi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan kementeriannya akan mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada semua kepala daerah untuk memverifikasi ulang desanya masing-masing.

"Tadi sudah dirapatkan, kami akan mengeluarkan surat edaran kepada semua kepala daerah untuk melakukan verifikasi desa-desa masing-masing," kata Tito usai Rapat Kerja dengan Komite I DPD RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11).

Menurut Tito, kalau memang ada desa yang menerima anggaran dan kemudian digunakan dan desanya tidak ada atau tidak lengkap, agar dikembalikan, karena kalau tidak dikembalikan maka pihaknya akan melakukan penegakan hukum.

Dia meminta untuk semua daerah melakukan verifikasi data desa masing-masing dan menyampaikan kepada Kemendagri, kalau ada informasi pihaknya akan turun ke lapangan untuk verifikasi lapangan apabila diperlukan.

"Nah, di beberapa tempat, di Konawe kalau saya tidak salah, itu ada (desanya) tapi kemudian masyarakatnya ada yang pindah, sehingga ini berkurang. Ada yang kode pemerintahannya yang tidak ada, ini masalah administrasi," ujarnya.

Tito menghimbau agar setiap instansi tidak seharusnya membuat pernyataan sendiri yang berbeda-beda jika nantinya kembali menemukan permasalahan yang sama seperti Desa Konawe.

Dia meminta setiap kementerian saling berkoordinasi sebelum membuat pernyataan ke publik seperti dirinya minta untuk koordinasi ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) khususnya Dirjen Anggaran dan Kementerian Desa (Kemendes) yang turun ke lapangan.

Selain itu menurut dia koordinasi ke KPK dan Polda Metro Jaya yang menangani ke lapangan aspek hukumnya.

"Prinsipnya saya minta untuk semua daerah melakukan verifikasi data desa masing masing dan menyampaikan kepada Kemendagri kalau ada informasi kami akan turun ke lapangan untuk verifikasi lapangan bila diperlukan," katanya.

Solusi Menkeu

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menghentikan sementara aliran Dana Desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke sejumlah desa yang dianggap fiktif.

Bendahara negara juga akan menarik kembali aliran Dana Desa yang sudah terlanjur disalurkan ke daerah tersebut.

“Kalau ada daerah yang ketahuan ada dana desa yang ternyata desanya tidak legitimate, ya kita bekukan. Kalau sudah terlanjur transfer (dana desa) ya kita ambil lagi,” katanya dalam acara Sosialisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa 2020, di Kantor DJP, Jakarta, Kamis (14/11).

Ia pun mengimbau kepada seluruh kepala daerah untuk dapat lebih cermat dan bertanggung jawab atas kondisi masing-masing daerahnya terutama terkait pengelolaan anggaran dana desa.

"Ya pemerintah daerahnya dong, yang tahu kan di daerah. Padahal sudah banyak berjenjang diawasinya. Kita berharap para pimpinan daerah betul-betul memiliki pengetahuan mengenai desa di dalam masing-masing,” tegasnya.

Untuk itu, diperlukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah termasuk mulai tingkat provinsi hingga desa untuk melakukan pengawasan tersebut sehingga anggaran yang disalurkan dapat lebih tepat sasaran.

"Jadi sebetulnya lurah dan desa semua mendapatkan dan itu berarti pada level masyarakat akar rumput, ada dana, ya ditransfer langsung,” ujar dia.

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019