Jakarta (ANTARA) - Pada dekade 1980-1990, Indonesia pernah dijuluki sebagai "macan Asia" yang sangat disegani oleh negara-negara lain, bukan hanya di Asia Tenggara, melainkan kawasan Asia Pasifik.

Julukan itu bukan tanpa dasar, kekuatan Indonesia kala itu sangat diperhitungkan dunia internasional, mulai ekonomi hingga kekuatan tempur dan pertahanan.

Bahkan, beberapa kali Indonesia dengan pasukan elitenya berhasil menyelesaikan misi pembebasan sandera dengan sukses yang menuai pujian dunia.

Indonesia juga rutin mengirimkan pasukan untuk misi perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di berbagai negara berkonflik yang dinamai kontingen Garuda.

Sejak era reformasi, auman Indonesia perlahan mulai lirih terdengar, karena proses pendewasaan politik mengharuskan bangsa Indonesia kembali meniti dan menata diri, termasuk soal militer.

Kekuatan militer yang begitu digdaya masa Orde Baru, mau tidak mau harus tunduk oleh kekuatan publik seiring reformasi, kembali kepada khittahnya.

Artinya, militer harus konsisten menjaga pertahanan dan keamanan negara, dan tidak usah ikut-ikutan terjun ke dunia politik.

Penataan ulang struktur pun mulai dilakukan, TNI dan Polri akhirnya dipisah zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Polri dikembalikan sebagai institusi sipil.

Dwifungsi ABRI yang dulu diagungkan juga ikut dihapus. Praktis, perhatian terhadap pengembangan kekuatan militer menjadi berkurang pada awal masa reformasi.

Namun, kini bangsa Indonesia mulai menyadari pentingnya memperkuat pertahanan negara, apalagi ancaman yang dihadapi pun sudah berubah dan kian kompleks di era revolusi industri 4.0.

Proyeksi jangka panjang untuk bidang pertahanan pun mulai serius digarap, mulai pemutakhiran konsep bela negara, industri pertahanan, hingga kesiapan alutsista.

Dukungan anggaran

Pertahanan yang kuat tidak akan bisa tanpa dukungan anggaran yang besar. Itulah sebabnya, pemerintah kini memberikan perhatian untuk semakin memperkuat sektor pertahanan nasional.

Apalagi, jabatan Menteri Pertahanan dipercayakan kepada Prabowo Subianto, mantan rival politik Presiden RI Joko Widodo pada Pilpres 2019 yang kala itu rajin mengkritisi minimnya anggaran pertahanan.

Kini, Kementerian Pertahanan digelontor anggaran yang teramat besar, yakni mencapai Rp131,2 triliun, naik Rp21,6 triliun dari APBN 2019. Padahal, pada RAPBN 2020 juga hanya diusulkan Rp127,4 triliun.

Sebenarnya, anggaran pertahanan dari tahun ke tahun secara umum mengalami kenaikan, meski ada beberapa fase turun, misalnya saja selama empat tahun ini. Pada 2017 tercatat sebesar Rp108 triliun, kemudian Rp105,7 triliun pada 2018.

Namun, anggaran pertahanan pada 2019 kembali naik menjadi Rp109,559 triliun, dan terus naik pada 2020 menjadi lebih dari Rp131 triliun, sangat signifikan.

Prabowo optimistis bahwa Indonesia akan memiliki industri pertahanan yang kuat di masa mendatang, apalagi saat ini progresnya sudah sedemikian bagus.

"Saya bersyukur, kita mampu membuat propelan, bahan untuk peluru dan roket yang diproduksi dalam negeri. Saya optimistis di tahun-tahun mendatang, kita punya industri pertahanan yang kuat," kata Prabowo.

Bahkan, produk-produk industri pertahanan dalam negeri Indonesia sudah dibeli negara-negara lain, seperti produksi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia.

Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu bertekad akan mewujudkan pertahanan dan keamanan negara yang kuat, profesional, dan kekuatan TNI disegani di tingkat regional.

Prabowo mengungkapkan Desember 2019, produk-produk piranti lunak yang bersifat revisi dan pemutakhiran strategi, dan doktrin pertahanan dan keamanan negara akan diselesaikan.

Di sisi lain, dengan dukungan anggaran terbesar dalam APBN 2020, menjadi tugas berat pagi Menhan Prabowo dan Wamenhan Sakti Wahyu Trenggono untuk mengelolanya secara efektif dan tepat sasaran.

Jaga rahasia dan jalin relasi

Masih soal anggaran, ada satu kejadian menarik ketika Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (11/11) ketika membahas tentang anggaran pertahanan.

Sejumlah anggota Komisi I DPR RI ingin Prabowo membeberkan rincian anggaran pertahanan secara terbuka, namun Menhan menolak dan meminta detail anggaran dibahas tertutup.

Ternyata, sikap Prabowo itu menuai pujian sejumlah kalangan, salah satunya pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta Dr Emrus Sihombing yang menilai riskan jika rincian anggaran pertahanan dibahas secara terbuka.

"Respon Prabowo tersebut sangat, bernas, cerdas, bagus dan luar biasa. Dia tidak terjebak pada pandangan yang meminta uraian anggaran pertahanan. Secara tegas Prabowo menolak," ujar Emrus.

Dijelaskan Direktur Eksekutif Emrus Corner itu, membuka rincian anggaran pertahanan dalam rapat terbuka sangat riskan dilakukan karena rahasia negara berpotensi menjadi konsumsi publik dan dunia internasional.

Untuk menjaga pertahanan, relasi dan kerja sama juga terus ditingkatkan. Sejak menjabat sebagai Menhan, Prabowo tak henti menerima kunjungan duta besar dan delegasi asing.

Di antaranya, Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R Donovan dan Dubes Arab untuk Indonesia Saudi Esam A Abid Althagafi yang bertemu Prabowo, Selasa (12/11) lalu.

Kemudian, Rabu (13/11), giliran Prabowo menerima kunjungan kehormatan Dubes Malaysia untuk Indonesia Dato Zaenal Abidin Bakar, kemudian Dubes India Pradeep Kumar Rawat, dan delegasi negara sahabat lainnya.

Menhan juga hadir pada pertemuan ASEAN Defence Ministers' Meeting (ADMM) Retreat, di Bangkok, Thailand, Minggu (17/11), menyampaikan komitmen Indonesia untuk membangun kawasan Asia Tenggara yang aman, damai, dan sejahtera, serta disegani oleh kawasan lain.

"ASEAN tidak boleh terpecah belah dan terpolarisasi yang akan mengakibatkan konflik dan perpecahan. Indonesia secara tegas menentang invasi negara dalam bentuk apa pun dan di wilayah negara mana pun khususnya di Asia tenggara," tegas Prabowo.

Prabowo juga berkunjung ke Malaysia, dan baru-baru ini melangsungkan kunjungannya ke Turki, menjajal kapal selam hingga bertemu Presiden Recep Tayyip Erdogan. Akankah auman Indonesia sebagai "macan Asia" kembali menggema?

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019