Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT Komjen Pol Drs Suhardi Alius MH membahas kebijakan yang dilakukan dunia internasional terhadap "Foreign Terrorist Fighters (FTF) returnees" (WNI terduga teroris di luar negeri yang kembali ke Indonesia) saat melakukan pertemuan dengan Andreano Erwin selaku Deputi Wakil Tetap I Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB di Jenewa, Swiss, pada Selasa (3/12) waktu setempat.

BNPT terus mendalami kebijakan yang dilakukan dunia internasional terhadap "FTF returnees" wanita dan anak-anak karena ada alasan yang dilematis, seperti kebijakan Uni Eropa dan Australia yang hanya menerima "returnees" anak-anak saja, sementara di Jerman setelah returnees anak-anak dipulangkan ternyata pengadilan memutuskan untuk menjemput ibunya.

"Itulah sebabnya pihak Jerman saat ini juga tengah melaksanakan pertemuan dengan para pakar terorisme dari Indonesia di Wiesbaden guna mengetahui lebih dekat dan mempelajari bagaimana cara Indonesia menjalankan empat tahapan deradikalisasi dimulai dari indentifikasi, rehabilitasi, edukasi sampai reintegrasi sosial," ujar Suhardi di hadapan Andreano Erwin yang dirilis BNPT, Jumat.

Pertemuan ini bertujuan untuk mengetahui dan membahas tentang kebijakan dan program terkini yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dalam penanggulangan terorisme, serta menindaklanjuti komitmen tinggi Indonesia mengenai perlindungan HAM dalam penanggulangan terorisme, termasuk melalui proses peradilan dan deradikalisasi.

Bahkan Kepala BNPT mengatakan bahwa dirinya beberapa waktu lalu juga sudah bertemu dengan "Chief of Mission International Organization for Migration (IOM)" Indonesia, Louis Paul Hoffman, di Jakarta untuk mengetahui lebih jauh tentang proses pemulangan "returnees" antara lain asal Afrika yang didanai oleh IOM.

Mantan Kabareskrim Polri ini juga mengatakan bahwa BNPT sendiri sangat serius untuk ingin bekerjasama dengan IOM terutama dalam menangani "returnees" wanita dan anak-anak, karena IOM juga memiliki pemahaman yang sama dengan BNPT mengenai motivasi wanita dan anak-anak yang berangkat ke medan konflik seperti Suriah dan Irak.

"Alasan lain karena di kita (Indonesia) punyai populasi muslim terbesar di dunia, namun secara kwantitatif jumlah WNI yang berangkat ke medan konflik sekitar 500 orang termasuk wanita dan anak-anak. Itu termasuk kecil dibandingkan negara lain. Artinya Indonesia mampu mendeteksi, mencegah dan mereduksi jumlah FTF yang akan berangkat ke medan konflik," kata mantan Sekretaris Utama Lemhannas RI ini yang dalam kesempatan tersebut juga didampingi didampingi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo,.

Alumni Akpol tahun 1985 ini juga mengatakan bahwa strategi penanggulangan terorisme melalui pendekatan lunak yang dilakukan Indonesia sudah diperkenalkannya aat tampil sebagai pembicara di berbagai konferensi internasional yang diselenggarakan oleh PBB, Uni Eropa, ASEAN serta berbagai pertemuan regional dan internasional lainnya.

"Bahkan bapak Presiden bersama pak Menko Polhukam dan bu Menlu juga menyampaikan hal yang sama saat menghadiri berbagai konferensi internasional mengenai isu-isu terorisme. Oleh karena itu, kami berharap peran dan dukungan yang besar dari PTRI untuk mensosialisasikan strategi penanggulangan terorisme ini kepada seluruh counterpart PTRI di Jenewa. Karena keberhasilan Indonesia dalam menangani terorisme terbukti menjadi salah satu alasan Indonesia diterima menjadi anggota Dewan HAM PBB," kata mantan Wakapolda Metro Jaya ini.

Baca juga: BNPT-Pemerintah Ceko bahas kerja sama kembalinya kombatan teroris ISIS

Baca juga: BNPT reedukasi napi terorisme dengan wawasan kebangsaan

Baca juga: BNPT harapkan masyarakat rangkul mantan napi teroris dan keluarganya


Sementara itu Andreano Erwin mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berkoordinasi dengan pejabat IOM, khususnya yang menangani Partnership Regional East Afrika Counter Terrorism (PREACT) untuk dapat mengatur pertemuan dengan delegasi BNPT.

PREACT sendiri adalah program berbasis komunitas untuk mencegah ekstremisme kekerasan yang didanai oleh US-AID, termasuk program Demobilization, Reintegration and Disarmament yang berkaitan dengan FTF.

"IOM saat ini sedang menjalankan program Rehabilitatif untuk 1000 orang returnees asal Kosovo yang merupakan keluarga yang tidak terjerat kasus kriminal. Kosovo adalah negara bekas Yugoslavia, tetapi negara ini belum diakui oleh Pemerintah kita (Indonesia). Sementara prinsip kerja IOM sendiri akan selalu manghormati kedaulatan suatu negara," ujar Andreano Erwin.

Dia menejalskan bahwa pihaknya secara intens terus berkomunikasi dengan seorang pejabat IOM pada "working level" bernama Jason Aplon yang nantinya dapat bertemu dengan pejabat terkait di BNPT.
"Paling tidak untuk membangun network agar dapat mengetahui lebih rinci mengenai program PREACT. Dan kami juga berjanji akan bertemu langsung dengan pihak IOM guna menindaklanjuti hasil pertemuan ini," katanya.

Dalam pertemuan tersebut kepala BNPT juga didampingi Deputi II bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, Irjen Pol Budiono Sandi, Direktur Kerjasama Bilateral Brigjen Pol Kris Erlangga dan Kasi Kerjasama Eropa BNPT AKBP Zaenal Ahzab. Sementara itu Andreano Erwin tampak didampingi Atase Pertahanan KBRI Paris, Kolonel M Yusrif Guntur dan beberapa staf PTRI yang menangani urusan Politik, HAM dan IOM.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019