Jakarta (ANTARA) - Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengatakan bahwa opini publik sehari-hari sering disetir oleh robot-robot (bot) untuk menggiring opini dan framing.

"Jadi, sekarang perang media sosial itu pakai metodologi. Perang bertujuan membuat bimbang sikap publik pada pemberantasan korupsi. Dalam rangka menggiring opini pembenaran atau justifikasi, digunakan bot-bot. Seperti yang diulas para pakar media sosial," ujar Giri saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

Jika masyarakat harus lebih cerdas menyikapi ini sebab kemampuan klarifikasi di media arus utama belum bisa mengimbangi penggiringan opini bot-bot tadi.

"Kalau dibaca sekarang media arus utama pada komentarnya, misalnya ada 500 komentar yang berbicara jelek soal KPK, ada satu saja yang dukung KPK. Seakan-akan yang benar yang banyak tadi," ujar Giri.

Baca juga: Australia akan kembangkan kode etik untuk Facebook dan Google

Baca juga: Mengaku sempat antisosmed, Gibran Rakabuming: Akun ini baru ada...


Padahal, menurut dia, 500 komentar yang menjelekkan KPK, 499 di antaranya adalah robot. Media cetak dan media daring tidak bisa membalikkan opini robot itu karena media tersebut dalam analisis jaringan medsos berada pada posisi arbitrase (di tengah), tidak bisa mengimbangi derasnya opini tersebut.

Konferensi pers dan press release yang biasa dilakukan Juru Bicara dan Humas pun tidak bisa mengimbangi opini itu.

Dalam perang digital ini, kata Giri, masyarakat harus lebih cerdas dari bot tersebut.

"Jadi, masyarakat harus lebih cerdas. Kalau namanya @Rieni7646 belum tentu @Rieni7646 itu manusia. Jangan-jangan bot itu," ujar Giri.

Ia menambahkan kalau bot yang dipakai oleh para pendengung (buzzer) itu sudah digunakan untuk menggiring opini framing negatif kepada KPK dalam rangka pembenaran (justifikasi) revisi UU KPK dan macam-macam kepentingan lainnya.

Baca juga: BNPT ajak generasi millenial tangkal radikalisme di dunia maya

Misalnya, isu taliban dan radikalisme di KPK, itu dipakai ciri-ciri yang terlihat secara fisik untuk menggiring alam bawah sadar masyarakat.

"Misalnya, jenggotan dibilang taliban, padahal bisa saja dia anggota klub motor. Atau, orang abis salat Zuhur, tiba-tiba disuruh menjemput Novel Baswedan di depan kantor, lalu dijepret, masih memakai kopiah. Nah, itu dikira taliban." ujar Giri.

Penggiringan opini juga dilakukan dengan framing. Misalnya, ada kasus KPK menangkap Ketua Umum PPP Romahurmuziy, lalu KPK menangkap mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, keduanya anggota Nahdlatul Ulama (NU). Karena mereka berdua kader NU, dibentuklah framing jika KPK memusuhi NU, padahal tidak demikian.

"Saya pernah ditanya, emang KPK menargetkan orang NU? Enggaklah. KPK cinta banget NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya. Banyak kerja sama kami lakukan. KPK itu imparsial, independen. Tidak berpihak, kecuali kebenaran dan keadilan," ujar Giri.

Lebih sulit lagi, menurut Giri, ketika framing dilakukan dengan dukungan visual. Karena masyarakat biasanya lebih sensitif dengan masalah visual, tidak pada sesuatu yang esensial.

Baca juga: Waspada umbar data pribadi lewat medsos

Baca juga: ANTARA sebagai "corong" negara/publik pada era disrupsi


Untuk mengatasi itu, selain memakai rasional, Giri menyarankan agar masyarakat diminta untuk memperbanyak bertanya dan proaktif dalam forum-forum diskusi.

"Forum-forum diskusi seperti itu penting. Karena metode perang pemikiran dan syaraf dalam mengendalikan otak manusia sekarang makin canggih," kata Giri.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019