..., rencana pembatasan impor jangan sampai menjadi bumerang untuk pemerintah...
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan bahwa kebijakan sektor perdagangan di Indonesia perlu lebih terbuka untuk  menghadapi beragam tantangan perekonomian global yang semakin kompleks pada masa mendatang.

"Dalam beberapa tahun belakangan kebijakan perdagangan Indonesia cenderung semakin proteksionis atau semakin tidak terbuka," kata Galuh Octania di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Indonesia cenderung kurang termotivasi untuk membuka hambatan dalam perdagangan internasionalnya.

Baca juga: Indonesia ingin bangun perjanjian perdagangan dengan Tanzania

Ia mengingatkan bahwa dalam International Trade Barrier Index yang dirilis Property Rights Alliance baru-baru ini, Indonesia berada di posisi 72 dari 86 negara. Di antara negara-negara ASEAN, Singapura menduduki peringkat pertama dalam indeks ini.

Indonesia, lanjutnya, bahkan kalah dari Malaysia dan Vietnam yang duduk di peringkat 55 dan 67. Namun Indonesia masih lebih baik dari Filipina dan Thailand yang berada di peringkat 78 dan 83.

"Wacana pembatasan impor perlu pertimbangan mendalam. Di satu sisi, pembatasan impor dilakukan terkait adanya kekhawatiran soal defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, rencana pembatasan impor jangan sampai menjadi bumerang untuk pemerintah. Salah satu dampak yang berpotensi terjadi akibat pembatasan impor adalah melemahnya daya beli masyarakat," jelas Galuh.

Ia menyadari bahwa defisit neraca perdagangan memang dapat berdampak negatif pada kestabilan moneter Indonesia, namun harus dipikirkan pula dampak pembatasan impor terhadap para konsumen, terutama mereka yang termasuk ke dalam masyarakat miskin.

Galuh juga berpendapat bahwa masih adanya perspektif yang salah terhadap impor yang lebih dipandang sebagai kegiatan yang tidak nasionalis dan tidak pro rakyat, padahal untuk beberapa komoditas, baik itu barang modal dan barang baku, impor masih perlu dilakukan.

Baca juga: Airlangga pastikan Indonesia siap manfaatkan peluang perdagangan RCEP

"Perspektif yang salah ini juga menyebabkan upaya Indonesia untuk menerapkan kebijakan berbentuk hambatan nontarif dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya mengarah pada produk yang tidak bersaing dengan harga di pasar internasional," ungkapnya.

Pemerintah ingin memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia. Tetapi keinginan ini bertolak belakang dengan kebijakan proteksi impor. Birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor dan hambatan non tarif lainnya akan membawa dampak negatif bagi investasi dan nilai ekspor. Kinerja investasi dan ekspor Indonesia pada akhirnya akan mempengaruhi perekonomian Indonesia secara agregat.

Apalagi, ujar dia, saat ini banyak produk Indonesia membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor sehingga dengan adanya pembatasan terhadap impor yang berlebihan juga ke depannya berpotensi menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani memaparkan Indonesia memiliki dua peluang dalam memanfaatkan adanya situasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang tak kunjung selesai.

“Warning besar ini. Harusnya kita bisa mengambil keuntungan at least dengan dua aspek,” katanya dalam acara Seminar Nasional Dinamika dan Tantangan Indonesia dalam Perekonomian Global di Widya Graha, LIPI, Jakarta, Kamis (12/12).

Baca juga: RI-India sepakat tingkatkan perdagangan sebesar 50 miliar dolar AS

Peluang pertama adalah mengambil pasar produk China yang diekspor ke AS sebab berbagai barang tersebut saat ini sedang dikenakan tarif yang cukup tinggi sehingga Indonesia memiliki kesempatan untuk menggantikannya.

Di sisi lain, pemerintah perlu memperhatikan kapasitas sebab tidak semua produk China yang diekspor ke AS diproduksi di Indonesia sehingga perlu membangun industri dalam negeri yang lebih baik jika ingin menikmati pangsa pasarnya.

“Itu butuh waktu yang cukup lama 12 sampai 18 bulan. Jadi mungkin ini lebih menengah dan jangka panjang,” katanya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019