Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nawawi berpendapat  tidak semua pekerjaan dapat diterapkan skema upah kerja per jam.

"Jadi harus bikin negative dan positive list pekerjaan mana yang bisa dibayarkan per jam. Karena di luar negeri dibatasi dengan jenis pekerjaannya, tidak semua jenis pekerjaan. Jadi, perlu ada rincian lebih lanjut," kata Nawawi saat dihubungi ANTARA, Jakarta, Sabtu terkait wacana perubahan sistem upah kerja menjadi per jam,

Menurut dia, di negara maju skema upah kerja per jam diberlakukan tapi tidak untuk semua jenis pekerjaan, dan skema ini menyasar pekerja-pekerja yang bersifat paruh waktu dengan fleksibilitas sangat tinggi untuk masuk ke dan keluar dari pekerjaan.

Nawawi mengatakan skema upah kerja per jam ini tentunya tidak menyasar pekerja penuh waktu karena akan mengurangi pendapatan mereka, tapi menyasar mereka yang bekerja di bawah 35 jam kerja per minggu.
Baca juga: Skema upah per jam jangan rugikan pekerja, kata peneliti LIPI
Baca juga: Pakar ketenagakerjaan dorong pemerintah bangun sistem pengupahan


Jika skema upah kerja per jam diterapkan, maka harus dipastikan tidak ada kerancuan dalam pekerja mendapatkan upah yang berakibat berkurangnya pendapatan mereka ke depan.

Misalnya, pekerja yang bekerja di bagian cleaning service akan terkendala dampak pengurangan upah jika dibayar per jam.

"Ini kan agak rancu ketika dia (orang yang bekerja di bagian cleaning service) dibayar per jam sementara pekerjaannya misalkan tidak memerlukan waktu sampai full time artinya pasti ada pengurangan," tuturnya.

Menurut Nawawi, saat ini seharusnya bukan menyoal upah per jam atau per bulan tapi memperhatikan hal yang lebih penting yakni berkenaan dengan pelaksanaan di lapangan terkait penerapan upah minimum yang ada sehingga baik pengawasan maupun penegakan hukumnya harus diperkuat.

"Upah minimum per bulan saja masih banyak pelanggarannya dan masih belum cukup sekali ditindak. Terlepas dari ini (upah kerja per jam) masih wacana atau belum saya pikir yang penting entah itu upah minimum kerja ataupun seperti yang sekarang ada saya pikir yang perlu ditekankan sebenarnya pelaksanaan di lapangan seperti apa," ujarnya.

Baca juga: Gaji karyawan Indonesia diprediksi naik 3,7 persen tahun ini
Baca juga: Sistem skala upah tetap pertimbangkan upah minimum


Apalagi saat ini perbedaan upah minimum begitu besar antara provinsi yang satu dengan provinsi lain dan antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga masih perlu pembenahan yang lebih baik ke depan.

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengkhawatirkan dampak omnibus law kluster ketenagakerjaan yang berkenaan dengan upah, pesangon, tenaga kerja asing, dan jaminan sosial terhadap nasib para buruh.

"Isi omnibus law tersebut sangat merugikan buruh. Antara lain pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA (tenaga kerja asing) buruh kasar, penggunaan outsourcing (alih daya) yang masif, jam kerja yang fleksibel, termasuk upah bulanan diubah menjadi upah per jam," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam siaran pers konfederasi yang diterima di Jakarta pada Jumat.

KSPI menolak omnibus law yang secara langsung merevisi Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terutama soal wacana perubahan sistem upah menjadi per jam.

Menurut KSPI, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003.

Penerapan sistem upah per jam, menurut Said Iqbal, bisa membuat buruh menerima upah bulanan di bawah nilai upah minimum.
Baca juga: Maspion tawarkan pensiun dini 1.800 karyawan

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019