Makassar (ANTARA) - Lembaga Anti Corrupption Committee (ACC) Sulawesi menyebut ada 132 kasus perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang ditangani penegak hukum selama 2019 mandek atau jalan di tempat.

"Jumlah tersebut muncul setelah dilakukan pendataan yang dirangkum selama satu tahun. Data ini bisa kami pertanggungjawabkan," tegas Direktur ACC Sulawesi Kadir Wokanubun saat rilis catatan akhir tahun di kantornya, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu.

Ia merinci untuk penanganan kasus korupsi di Polda Sulsel masuk dalam tahapan penyelidikan sebanyak tujuh kasus, penyidikan 17 kasus dengan total 24 kasus. Sedangkan di Polres se-Sulsel, penyelidikan sebanyak 16 kasus, penyidikan 20 kasus, dengan total 36 kasus.

"Jadi total kasus korupsi yang masih ditangani pihak kepolisian hingga akhir tahun ini sebanyak 60 kasus," bebernya.

Sementara, kasus Tipikor yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sulsel sebanyak 26 kasus masih di proses ke tingkat penyelidikan dan untuk penyidikan ada delapan kasus. Kemudian data kasus Topikor yang ditangani Kejari se-Sulsel sebanyak 20 kasus pada tingkat penyelidikan, dan penyidikan sebanyak 18 kasus. Total kasus yang ditangani Kejaksaan di Sulsel sebanyak 72 kasus.

Kadir mengungkapkan pihaknya telah mengawal kasus-kasus tersebut, terutama di kejaksaan, mengingat institusi ini memiliki kewenangan sangat besar sehingga diduga rawan wewenangnya disalahgunakan.

Berkaitan dengan itu, untuk perolehan data penanganan kasus Tipikor dalam lima tahun terakhir kecenderungannya tertutup, padahal jelas diatur dalam Undang-udang Keterbukaan Informasi Publik semua berhak memperoleh itu.

"Kami menilai Kepolisian Daerah masih terkesan menutup kasus-kasus yang berkaitan dengan korupsi. Beberapa kali permintaan informasi dan data tidak direspon positif ketika ACC Sulawesi memintanya," beber dia.

Padahal, tambah Kadir, akses informasi data sangat penting diketahui publik guna membangun sinergitas pencegahan dan penindakan perilaku korupsi yang merugikan negara. Tertutupnya informasi publik itu dinilai tidak adanya komitmen institusi kepolisian mengusut tuntas kasus korupsi di Sulsel.

Hal senada disampaikan peneliti ACC Sulawesi, Anggareksa bahwa beberapa kasus korupsi yang lama diketahui publik sedang dalam proses, itu nyaris hilang. Tanpa dukungan media melakukan fungsi kontrolnya, maka bisa saja kasus itu terlupakan.

Beberapa kasus, sebut dia, seperti DID di Kabupaten Luwu Utara, kasus Laboratorium Teknik UNM Makassar, dan kasus irigasi Tombolo di Kabupaten Pangkep, serta beberapa kasus lainnya terkesan didiamkan tanpa ada upaya penuntasannya.

Begitupun hadirnya kasus-kasus baru yang ditangani, bila tidak ada fungsi kontrol maka nasibnya akan sama dengan kasus-kasus korupsi sebelumnya yang mandek.

"Kami menilai ada kelemahan supervisi dan monitoringnya kepada penanganan kasus itu, baik ditangani Polda, Polres, hingga kejaksaan. Tentu diperlukan atensi atas kasus itu supaya publik bisa mengetahui ada upaya penegak hukum melaksanakan perannya," ungkap dia.

Peneliti ACC Sulawesi lainnya, Ali Asrawi, dalam rilis itu mengungkapkan, dengan adanya dugaan menutup keterbukaan informasi publik, transparan dan akuntabilitas perkara koruspi termasuk adanya dugaan jaksa 'nakal' dianggap memperparah keadaan penegakan hukum di Sulsel.

Tidak sampai di situ, adanya indikasi penanganan perkara korupsi 'tebang pilih' juga menjadi catatan bahwa ada yang perlu diperbaiki sebagai upaya langkah serius penegakan hukum untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.

"Salah satu contoh kasus yang fenomenal adalah kasus penanganan Soedirjo Aliman alias Jen Tang yang telah buron selama dua tahun dan berhasil ditangkap, tetapi belakangan ditangguhkan penahanannya tanpa dasar kuat hanya dengan alasan sedang sakit," tambahnya.

Peneliti ACC lainnya, Hamka Anwar, mengungkapkan untuk kerugian negara selama 2019 mencapai Rp92,12 miliar dengan 120 perkara. Bila dibandingkan pada tahun 2018 terdapat 112 perkara, dengan kerugian Rp61,6 miliar.

"Kasus tipikor yang terdaftar sebanyak 120 perkara, dengan jumlah koruptor divonis sebanyak 118 perkara. Hanya saja putusan dibagi dua dari tertinggi enam tahun penjara dan denda Rp200 juta serta terendah satu tahun dengan denda Rp50 juta. Putusan bebas sebanyak tujuh perkara," tambahnya.


Baca juga: ACC Sulawesi minta Jokowi-Amin perkuat penegakan hukum

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019