Jakarta (ANTARA) - Dua puluh tahun silam ada sebuah film satire gelap berjudul "Wag the Dog" yang dibintangi dua aktor kawakan Hollywood, Dustin Hoffman dan Robert de Niro, yang mengisahkan dua profesional suruhan presiden Amerika Serikat yang citranya sedang tercoreng skandal seks.

Dua profesional ini --seorang tukang pelintir dan seorang produser Hollywood-- merancang perang palsu di Albania, dengan tujuan mengalihkan perhatian rakyat Amerika dan media dari masalah domestik yang dihadapi sang presiden yang tentu saja merupakan karakter fiktif.

Judul film itu sekarang menjadi kerap disebut setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani, panglima pasukan elite Quds pada Garda Revolusi Iran, pada Jumat 3 Januari 2020.

Para politisi, pengamat dan media massa AS menengarai Trump sedang menjalankan siasat seperti cerita dalam film itu, termasuk salah satu kandidat calon presiden AS dari Partai Demokrat, Elizabeth Warren, yang menyebut Trump berusaha mengalihkan perhatian rakyat Amerika dari pemakzulan.

"Kita tahu Donald Trump marah sekali terhadap peradilan pemakzulan mendatang," kata senator dari Massachusetts itu dalam program televisi "Meet the Press" dari stasiun televisi NBC. "Tetapi lihat apa yang dia lakukan saat ini. Dia membawa kita ke tepi perang."

Tudingan taktik "wag the dog" sudah mengemuka tak lama setelah nyawa Soleimani direnggut oleh serangan drone di Baghdad ketika media arus utama seperti Sky, BBC, CNN dan Washington Post menduga alasan Trump melancarkan serangan target tinggi itu demi mengalihkan perhatian rakyat AS dari persoalan domestik agar tidak menggerus popularitasnya.

Calon-calon lawan Trump pada Pemilu 2020 seperti Joe Biden dan Elizabeth Warren, dan politisi Demokrat lain seperti Ketua Komisi Intelijen DPR Adam Schiff, heran mengapa eksekusi yang dihindari dua pendahulu Trump itu --George W. Bush dari Republik dan Barack Obama dari Demokrat-- baru dilancarkan ketika Trump sedang dijepit pemakzulan yang kini masuk peradilan Senat yang dikuasai Republik.

Majelis rendah atau House of Representatives atau DPR sudah mengajukan dua pasal dakwaan pemakzulan kepada Trump untuk diadili di Majelis Tinggi atau Senat, segera awal tahun ini, kemungkinan pada Januari ini.

Tapi dari kalkulasi mana pun, Trump bakal selamat di Senat mengingat butuh 2/3 suara untuk menyatakan Trump bersalah atas dua dakwaan DPR itu yang didasarkan kepada upaya dia memaksa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyelidiki dugaan korupsi oleh anak Joe Biden di Ukraina demi merusak citra Biden pada Pemilu 2020. Republik yang menguasai 53 kursi dari total 100 kursi Senat sudah pasti menolak memutuskan Trump bersalah.

Untuk itu, Trump tahu bakal menang di Senat. Tetapi dia juga tahu citra politiknya akan mengalami erosi besar karena fakta-fakta mencengangkan akan terekspos ke hadapan rakyat Amerika saat sidang pemakzulan di Senat nanti.

Demokrat menyadari mustahil melengserkan Trump, tapi mereka tahu sidang pemakzulan adalah panggung paling dahsyat untuk menghancurkan citra Donald Trump sehingga popularitas dia menurun dan kemudian kalah pada Pilpres 2020.

Sebagai orang yang paham dunia citra, Trump familiar dengan skenario ini. Dia khawatir popularitasnya merosot pada bulan-bulan kritis menjelang Pemilu 2020, apalagi kian banyak saja rakyat Amerika yang menginginkan Trump dimakzulkan dan atau dilengserkan. Survei terakhir Ipsos pada 3 Januari 2020 menunjukkan 57 persen rakyat Amerika percaya Trump telah melakukan perbuatan yang layak dimakzulkan.

Trump juga mengkhawatirkan pembangkangan para senator dari sejumlah negara bagian suara mengambang yang justru menjadi medan sangat menentukan untuk nasib politiknya.

Jika mereka membangkang, maka itu merepresentasikan adanya pembalikan suara pada Pemilu 2020. Dan ini artinya kekalahan sudah di depan mata.


Pengalih perhatian

Untuk itu Trump memerlukan pengalih perhatian agar rakyat Amerika tidak terus tercurah kepada pemakzulan yang sudah menciptakan cedera serius terhadap citra politiknya. Dia membutuhkan api kehebohan yang membetot perhatian rakyatnya.

Tapi Trump butuh pemantik yang sangat kuat yang bisa langsung membesarkan api sehingga perhatian rakyat Amerika teralihkan.

Dan sepertinya Iran memenuhi syarat untuk menjadi pemantik. Korea Utara juga berpotensi tapi amat berisiko mengganggu sebuah negara bersenjata nuklir yang pemimpinnya jauh lebih nekat dari pada para pemimpin Iran.

Berada di kawasan dengan konflik paling membara di seluruh dunia sepanjang zaman, Iran yang berebut status pemimpin kawasan dengan Turki dan Arab Saudi, adalah pemantik pas untuk menciptakan kehebohan yang memalingkan rakyat Amerika dari pemakzulan.

Tetapi Trump sadar tak mungkin menyerang Iran di wilayahnya karena sama artinya dengan mendeklarasikan perang terbuka yang dapat memicu sebuah perang dunia, selain menjadi bumerang untuk karir politiknya sendiri.

Menyerang fasilitas-fasilitas Iran di Suriah, Yaman, Lebanon dan Irak, juga tak menghasilkan resonansi politik besar karena gaungnya tak bisa mengalihkan perhatian rakyat dari pemakzulan. Pembalasan dari Iran pun akan lebih terselubung ketimbang terbuka.

Trump butuh simbol kuat sebagai pemantik kehebohan. Dan itu ada pada Jenderal Soleimani, sang arsitek dan sutradara di balik sukses Iran mencengkeramkan pengaruh regional Iran di Timur Tengah, khususnya Suriah, Yaman, Irak, dan Lebanon.

Trump juga menyadari Soleimani tak bisa diserang di negerinya karena itu sama artinya mengumumkan perang kepada Iran. Untuk itulah Soleimani dibunuh di Irak.

Dan benar saja, pilihan membunuh Soleimani, memberikan ganjaran yang diharapkan Trump. Iran marah besar, bersumpah membalas dan memang sedang melakukannya sekarang. Uniknya reaksi ini justru diharapkan Trump karena akan membuat jilatan api konflik semakin besar sehingga perhatian rakyat Amerika kian tercurah ke Timur Tengah untuk kemudian melupakan pemakzulan.

Iran mungkin sudah membaca arah teori Trump ini, namun berdiam diri sama halnya dengan meruntuhkan reputasi dan kredibilitasnya di kawasan, terutama di hadapan sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Untuk itu, Iran bersumpah membalas dan beberapa serangan ke fasilitas-fasilitas tidak langsung Amerika di Irak sudah dilakukan Iran.

Strategi nekat Trump dalam membunuh tokoh militer yang disanjung tinggi-tinggi di Iran itu setelah gagal mendapatkan insentif saat melancarkan perang dagang dengan China dan terakhir dari keberhasilan membunuh pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, sepertinya berjalan sesuai harapan dia.

"Mengapa pembunuhan ini baru sekarang dilakukan? Untuk memicu patriotisme palsu demi mengubah narasi. Dan coba tebak? Ini berhasil," sindir Lisa Fithian, seorang pegiat pro-pemakzulan, kepada Washington Post.


Lebih buruk lagi

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, akankah Trump melakukan cara-cara serupa di kemudian hari? Ini pertanyaan paling mengganggu karena berkaitan dengan perdamaian dunia.

Washington Post melihat bahwa gelagat Trump dalam mengacuhkan badan legislatifnya sendiri untuk menyerang elemen sah sebuah negara berdaulat, menunjukkan Trump cenderung memanipulasi kekuatan yang dimiliki AS bahkan dengan mengabaikan mekanisme checks and balances.

"Jika tidak diawasi, dia akan melakukannya lagi, dan lebih buruk lagi," tulis Washington Post.

Jika sudah demikian, dunia pantas khawatir oleh pemimpin sebuah negara adidaya dengan karakter seperti Trump. Di kemudian hari dia mungkin akan gampang menjadikan siapa pun di dunia ini, sebagai pion untuk kepentingan dirinya sendiri. Dan langkah ini tak bisa dicegah siapa pun, termasuk PBB, karena lembaga legislatif AS yang seharusnya menjadi mitra konsultasi untuk masalah-masalah besar seperti melancarkan perang di luar negeri saja, tidak dia pedulikan.

Lain dari itu cara dia menekan Presiden Ukraina untuk membantu menjatuhkan citra lawan politiknya, menunjukkan Trump akan melakukan apa saja demi dirinya.

AS memiliki semua faktor untuk menekan siapa pun di dunia, baik melalui kekuatan ekonomi, suara menentukan di badan-badan supranasional, teknologi tinggi, satelit-satelit yang membuat siapa pun di dunia ini tak bisa bersembunyi, sampai persenjataan militer termasuk pesawat nirawak maut.

Apa jadinya jika semua itu digunakan Trump untuk mengakhiri hidup seorang pemimpin berlegitimasi atau menghancurkan sebuah wilayah hanya karena itu berkaitan dengan citra politiknya, bahkan dia bisa melakukannya tanpa mempedulikan yurisdiksi dan kedaulatan negara.

Ingat, jenderal Soleimani bukan aktor non negara seperti Abu Bakr al-Baghdadi atau Osama bin Laden. Dia warga negara sebuah negara berdaulat yang menjadi anggota PBB. Ingat pula, kehadiran Iran di Irak adalah atas persetujuan Baghdad, sama halnya dengan posisi Amerika di Irak atau Rusia di Suriah. Meskipun, Iran memang sering menjadi batu sandungan AS dan sekutu-sekutunya dalam sejumlah kasus, salah satunya adalah dugaan serangan drone ke fasilitas pemrosesan minyak mentah terbesar di dunia milik Aramco di Arab Saudi pada 14 September 2019.

Pertanyaan lainnya adalah akankah sikap Trump ini beresonansi ke negara lain, khususnya negara-negara dengan magnitudo pengaruh setara dengan Amerika, misalnya China? Sulit mengesampingkan negara lain yang memiliki postur kekuasaan sama besar dengan AS tidak tergoda menempuh tindakan-tindakan sepihak seperti yang dilakukan Trump, sekalipun mungkin ditempuh dalam kadar intervensi lebih rendah atau relatif "lebih santun".

Dan agak mirip dengan cara Trump memproyeksi kekuatannya terhadap Iran, China belakangan ini cenderung menjadi sangat agresif dalam memproyeksikan kekuatannya sampai kepada tingkat yang sudah mengusik pihak lain sekalipun insentif yang diharapkannya jauh berbeda. China yang memiliki kekuatan hak veto di PBB dan tentakel ekonominya menjalar ke mana-mana saat ini sedang "bermain api" di Natuna dan bagian lebih selatan dari Laut China Selatan yang secara geografis jauh lebih dekat ke teritorial negara-negara ASEAN ketimbang China sendiri.

Untuk itulah, dalam perspektif itu semua, perintah Trump untuk membunuh Soleimani adalah preseden berbahaya bagi dunia.

Akan amat mengerikan jika Trump dibiarkan memandang dan memperlakukan negara lain serta pemimpinnya sebagai bidak untuk kepentingan pribadinya seperti saat dia menekan presiden Ukraina dan memerintahkan pembunuhan seorang pemimpin militer sebuah negara berdaulat yang tidak sedang dalam kondisi perang dengan Amerika yang statusnya tak beda jauh dari jenderal-jenderal Amerika atau Rusia yang sedang merancang perang atau memimpin operasi-operasi tempur di Timur Tengah atau kawasan lain dunia.

Tak berlebihan jika kemudian banyak kalangan di dunia yang diam-diam berharap rakyat Amerika tak memilih pemimpin gegabah pada Pemilu November 2020 ini.i.

Copyright © ANTARA 2020