mayoritas beras yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari produksi domestik, namun Indonesia juga termasuk ke dalam negara-negara importir beras.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengingatkan tentang panjangnya proses birokrasi perdagangan komoditas beras seperti dalam aktivitas impor yang berdampak pada potensi meningkatnya harga beras nasional.

"Keputusan untuk mengimpor beras harus mempertimbangkan beberapa hal, seperti stok beras Bulog, perbedaan harga, dan atau produksi beras nasional. Data pertanian yang tidak sama antarinstansi juga dijadikan dasar pengambilan keputusan ini," kata Felippa Ann Amanta di Jakarta, Jumat.

Menurut Felippa, panjangnya proses birokrasi ini seringkali menghalangi Bulog untuk mengimpor pada saat harga internasional sedang rendah, karena yang terjadi seringkali adalah Bulog harus mengimpor saat harga beras internasional tinggi dan masa itu bersamaan dengan masa panen petani domestik.

Pada akhirnya, ujar dia, petani juga yang dirugikan, serta penerapan berbagai kebijakan hambatan nontarif (non tariff measure/NTM) ini seringkali dijustifikasi oleh argumen swasembada pangan di mana Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, memastikan beras domestik mendominasi pasar dan melindungi petani beras domestik.

"Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan banyak kebijakan NTM, salah satunya pada perdagangan pangan. Penerapan NTM di sektor pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena mempengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi. Hal ini pada akhirnya berkontribusi pada munculnya angka malnutrisi," jelasnya.

Baca juga: Pengamat sebut perlu diversifikasi pangan untuk kurangi impor

Felippa menuturkan bahwa mayoritas beras yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari produksi domestik, namun Indonesia juga termasuk ke dalam negara-negara importir beras.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mencatat rantai atau pola utama distribusi perdagangan komoditas beras yang terpanjang terjadi di DKI Jakarta pada 2018.

“Pola utama distribusi perdagangan beras Indonesia melalui produsen, ke distributor, lalu pedagang grosir, kemudian pedagang eceran, dan konsumen akhir. Sedangkan, potensi pola terpanjang terjadi di DKI Jakarta,” kata Suhariyanto di Jakarta, Kamis (2/1).

Potensi pola terpanjang distribusi perdagangan komoditas beras yang terbentuk di wilayah DKI Jakarta adalah melalui jalur luar provinsi, lalu pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen akhir dengan Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) 28,02 persen.

Baca juga: Peneliti: ekspor 500.000 ton beras positif bagi usaha penggilingan

Total MPP beras nasional pada 2018 sebesar 20,83 persen, atau turun jika dibandingkan 2017 sebesar 25,35 persen.

MPP menggambarkan selisih antara nilai penjualan dengan nilai pembelian yang mengikutsertakan biaya pengangkutan. Dengan total MPP beras 20,83 persen, artinya kenaikan harga beras dari tingkat produsen atau penggilingan padi sampai ke konsumen akhir sebesar 20,83 persen.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020