Jakarta (ANTARA) - Banjir dan longsor merupakan bencana yang kerap kali terjadi di Indonesia, yang kerentanannya dapat diakibatkan, antara lain oleh curah hujan tinggi, kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan.

Berdasarkan data InaRisk milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ancaman bencana banjir dengan risiko sedang hingga tinggi terdapat di seluruh provinsi di Indonesia, dengan jumlah 510 kabupaten dan sebanyak 100.814.666 jiwa dapat terpapar bencana itu.

Baca juga: Mendamba "Deltawerken" humanis di Teluk Jakarta
Baca juga: Ini krisis iklim!


Sementara bencana longsor dengan risiko sedang hingga tinggi menjadi ancaman bagi 455 kabupaten dan kecamatan dengan jumlah jiwa yang dapat terpapar sebanyak 14.131.542 jiwa.

Banjir dengan ketinggian 30 sentimeter (cm) hingga 6 meter (m) merendam sejumlah wilayah di kawasan Jabodetabek di awal Januari 2020 akibat hujan ekstrem melebihi angka normal 150 milimeter (mm) per hari. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi di mana permukaan tanah di sejumlah wilayah, terutama di bagian utara Ibu Kota lebih rendah dari permukaan air laut dan kondisi air laut pasang.

 
Pengendara sepeda motor melintasi banjir rob di Kawasan Pasar Ikan Muara Baru, Jakarta, Selasa (7/6/2016). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras.



Lingkungan tidak mampu menampung air hujan yang turun melimpah karena daya dukung dan daya tampung lingkungan menurun. Padatnya pemukiman di daerah aliran sungai juga membuat wilayah menjadi semakin rentan terkena banjir, ditambah perilaku manusia yang membuang sampah sembarangan, terutama di saluran air.

Banjir dan longsor yang terjadi pada awal 2020 melanda 293 kelurahan di 74 kecamatan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi serta Provinsi Banten dan menyebabkan 67 orang meninggal dunia. Sementara, 35.502 warga mengungsi.

Banjir dan longsor sangat berdampak pada kerusakan fisik, bahkan menimbulkan korban jiwa. Oleh karena itu, penting dilakukan berbagai upaya mitigasi dengan mengarusutamakan penanggulangan bencana, termasuk salah satunya implementasi dan penguatan sistem peringatan dini (early warning system/EWS).

Baca juga: Satu garis hulu hilir bebas banjir
Baca juga: Sunatullah Jakarta


Peringatan dini

Sistem peringatan dini menjadi suatu kebutuhan di daerah yang rawan bencana, karena bertujuan memberikan peringatan tentang bencana yang mengancam secepat dan seakurat mungkin. Keberadaannya diharapkan mampu memberikan waktu bagi warga untuk bersiap menghadapi bencana yang datang, sehingga dapat mengurangi risiko, baik kerugian fisik maupun korban jiwa.

Pemasangan instrumentasi EWS banjir dan longsor semestinya dilakukan di seluruh wilayah yang rentan bencana. Namun saat ini belum seluruh wilayah terpasang alat tersebut, sehingga ke depan harus dipastikan seluruh area bencana telah terpasang untuk memberikan peringatan dini yang cepat dan tepat pada masyarakat.

Baca juga: "Kota Spons" bendung Shanghai dari banjir
Baca juga: Kanal-kanal pengendali banjir Jakarta


Sistem peringatan dini merupakan sistem penyampaian informasi hasil prediksi terhadap suatu ancaman bencana sebagai suatu peringatan kepada masyarakat sehingga warga atau penerima informasi dapat bersiap siaga dan bertindak sesuai kondisi, situasi dan waktu yang tepat. Sistem ini harus memberikan informasi cepat, akurat, tepat sasaran, mudah diterima, mudah dipahami, terpercaya dan berkelanjutan.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan teknologi untuk sistem peringatan dini banjir (flood early warning system/FEWS) dan longsor (landslide early warning system/LEWS).

FEWS berbasis curah hujan dan level ketinggian muka air dipasang di lokasi rentan banjir dengan teknologi Telemetri Automatic Water Level Recorder (AWLR) dan memanfaatkan SMS gateway atau komunikasi data SMS. Alat tersebut memiliki sensor tinggi muka air sungai (sonar) untuk memantau dan menangkap perubahan tinggi muka air.

 
Warga berada di atas pohon yang tumbang setelah hujan disertai bongkahan es di daerah Ladang Laweh, Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam, Sumbar, Rabu (21/5/2014). ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/pras.



Rekaman data digital mengenai tinggi muka air dari alat yang dapat dikendalikan dari jarak jauh tersebut kemudian dikirimkan dalam jaringan melalui SMS gateway kepada stasiun penerima.

Sementara teknologi sistem peringatan dini longsor atau LEWS ditempatkan di lokasi rentan gerakan tanah atau tanah longsor dan padat penduduk. Saat ini, alat LEWS telah dipasang di Kampung Jati Radio, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Sebanyak dua sensor dipasang di tebing di wilayah itu hingga kedalaman beberapa meter mencapai bidang gelincir yang merupakan daerah antara lapisan tanah dengan batuan di bawahnya sehingga dapat mendeteksi gerakan tanah dari dalam untuk menyajikan data yang lebih akurat.

"Kami melakukan pemboran ke bawahnya, dan kami lihat pergerakan di bidang gelincirnya," kata Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Anantasena kepada ANTARA.

Ketika ada gerakan di bidang gelincir, maka sensor langsung menangkap dan merekam, lalu data yang terekam itu langsung ditransmisikan secara seketika ke stasiun penerima. Stasiun penerima akan langsung memberikan peringatan kepada warga sekitar dengan bunyi alarm melalui sirene dan bahkan memberikan peringatan dalam kata-kata.

Baca juga: Adaptasi bersama atau tereliminasi
Baca juga: Cara mereka "menolak" tenggelam


Peringatan dini cuaca

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga mengembangkan dan mengelola Sistem Peringatan Dini Cuaca (meteorology early warning system/MEWS) untuk mendeteksi dan mengeluarkan peringatan dini dan informasi terkait cuaca ekstrem untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana.

Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Rajab mengatakan proses EWS yang dilakukan institusi tersebut dimulai dengan pengamatan cuaca di seluruh Indonesia, baik secara manual maupun otomatis, baik dari wahana permukaan (surface based observation) maupun wahana angkasa (space based observation atau pengamatan satelit). Satelit memfoto kondisi awan setiap lima menit dan radar menangkap kondisi awan setiap lima menit juga.

Pengamatan dilakukan setiap 10 menit, setiap jam, setiap hari sepanjang tahun. Peralatan pengamatan BMKG antara lain pengamatan manual, automatic weather station (AWS), automatic rain gauge (ARG), radar cuaca dan satelit cuaca.

 
Pengerukan lumpur di Waduk Pluit, Jakarta, Selasa (25/6/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/pras.



Pada dasarnya, pengolahan data dari pengamatan cuaca didasarkan pada proses komputasi dan analisis data. Kemudian, informasi terkait peringatan dini diolah dan dibuat dalam bentuk teks, grafis maupun video.

Selanjutnya, informasi EWS disebarluaskan, antara lain melalui website, aplikasi, sosial media dan broadcast message.

Kepala Bidang Informasi Meteorologi Maritim BMKG Eko Prasetyo menuturkan MEWS dapat mendeteksi suatu keadaan di suatu wilayah yang bisa mendorong dikeluarkannya sebuah peringatan dini, seperti ketika sudah mulai terindikasi tren awan-awan hujan.

Sistem deteksi dini itu mampu mencatat adanya hujan yang berlangsung berjam-jam dan memberikan peringatan bahaya jika ada potensi yang membahayakan akibat kondisi hujan tersebut.

Selain itu, BMKG mengelola Sistem Monitoring Peringatan Dini Banjir Pesisir (Coastal Inundation Forecasting System) yang dapat membantu para penambak menghindari kerugian dan kemungkinan dampak lain akibat banjir rob di wilayah pesisir.

Sistem itu mengintegrasikan pantauan curah hujan dan tinggi gelombang air laut yang bersumber jauh, pasang surut air laut, dan garis pantai atau topografi pantai. Dengan demikian, BMKG dapat memprediksi dan memberi tahu masyarakat tentang kemungkinan terjadi banjir rob tiga hari sebelum kejadian.

Baca juga: Memperpanjang usia barang sayangi lingkungan
Baca juga: Gaya hidup "zero waste" yang semakin dilirik



Sistem peringatan dini komprehensif

Karena Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana, maka perlu sistem peringatan dini yang komprehensif dan menyeluruh. Untuk itu, BNPB terus mengintensifkan pengembangan multi hazard early warning system (MHEWS) atau sistem peringatan dini multibencana sebagai salah satu langkah meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana di Indonesia.

Sistem peringatan dini multibencana telah dikembangkan dan digunakan sejak 2017, namun sistem ini masih perlu pemutakhiran untuk meningkatkan keakuratan data terkait potensi bencana.

Resolusi yang dimiliki oleh MHEWS pada 2017 ialah 10 kilometer dimana hal ini berarti satu titik dalam sistem sama dengan 10 kilometer per segi.

Pada 2018 dan 2019, resolusi itu mulai ditingkatkan menjadi tujuh kilometer. Namun resolusi tersebut dinilai belum begitu rapat untuk mendapatkan hasil yang benar-benar akurat.

Kepala Pusdalop BNPB Bambang Surya Putra mengatakan keakuratan data dari sistem peringatan dini multibencana tersebut masih sekitar 60 persen sehingga dinilai belum begitu akurat.

Saat sistem memberikan peringatan bencana di desa A di Kecamatan I, maka kejadian yang memang terbukti terjadi bukan di desa A tapi di desa B di Kecamatan I.

Oleh karena itu, peningkatan kualitas sistem ini terus dilakukan dan pelatihan penggunaan MHEWS kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terus ditingkatkan demi mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana. Sistem peringatan dini yang akurat boleh jadi diperlukan sebagai bentuk mitigasi manakala kerentanan warga Jabodetabek meningkat seiring proyeksi tenggelam di 2050.

Baca juga: Kutak-katik kapasitas Bantargebang
Baca juga: Intip cara Anies kelola sampah di Jakarta

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020