Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil kajian sektor kelistrikan, yakni pengelolaan sampah untuk Energi Listrik Terbarukan (EBT).

"KPK perlu memaparkan bahwa selain melalukan upaya penindakan hukum, KPK juga melakukan "review" terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dalam pandangan KPK itu juga mengancam inefisiensi dan kebetulan yang menjadi poin pada hari ini adalah kajian KPK berkaitan pengelolaan sampah untuk EBT," ucap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Baca juga: Pemkot Palembang target PLTSa Keramasan mulai dibangun 2020

Baca juga: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah perlu diperbanyak

Baca juga: Legislator apresiasi upaya pemerintah untuk membangun PLTSa


Adapun latar belakang KPK melakukan kajian itu, pertama volume sampah di Indonesia yang diperkirakan mencapai 64 juta ton per tahun sehingga perlu diselesaikan.

Kedua, kata Ghufron, program pemerintah untuk meningkatkan bauran energi melalui EBT dengan target sebesar 23 persen di 2025, namun sampai saat ini baru 10 persen. Pemerintah kemudian mencanangkan percepatan penanganan sampah melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

"Jadi, dua hal masalahnya, sampah menumpuk 64 juta ton per tahun sementara kita juga butuh energi baru terbarukan (EBT)," ungkap dia.

Sejak 2016, kata dia, telah dikeluarkan tiga Peraturan Presiden (Perpres) untuk percepatan pembangunan PLTSa tersebut. Terakhir, adalah Perpres 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

"Namun, hingga akhir tahun 2019 belum satu pun PLTSa berhasil terbangun. Proses pembangunannya sudah selesai tetapi belum sukses sebagaimana diharapkan mengentaskan sampah dan menghasilkan energi listrik," tuturnya.

Oleh karena itu, KPK melakukan kajian tersebut untuk mendukung program pemerintah dan mendorong investasi.

"Jadi, dua hal harapannya sampah yang semula menjadi masalah, harapannya menjadi salah satu produk yang bisa diinvestasikan yang akhir capaiannya adalah energi listrik," kata Ghufron.

Dalam kajian itu, ia menjelaskan bahwa KPK menemukan permasalahan sektor kelistrikan di dua aspek, yakni model bisnis dan basis teknologi.

"Jadi model bisnis pengelolaan sampah, sampah menjadi energi itu bisnisnya masih bermasalah juga teknologinya. Teknologi mengelola sampah menjadi listrik sampai saat ini belum ada yang menunjukkan hasil positif," tuturnya.

Dari aspek bisnis, implementasi Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) kontrak bisnisnya terpisah antara pemda-pengembang dan pengembang-PLN.

"Karena kan ada dua hal ya, sampah di masyarakat ke pemda itu ada bisnis sendiri sementara pemda dengan sektor swasta yang melahirkan listrik itu satu hal juga menyebabkan proses berlarut dan berpotensi kepada praktik bisnis yang tidak 'fair'," ungkap dia.

Pertama, "tipping fee" memberatkan pemda, artinya biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah dianggap memberatkan daerah atau anggaran APBD.

Kedua, tarif beli listrik memberatkan PLN karena menggunakan model "take or pay".

"Berapapun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian. Kondisinya, jumlah sampah tidak sesuai target kuota sampah. Jadi, kalau sampah tidak sesuai jumlah yang diharapkan tetap dibayar dengan harga standar, sebaliknya juga ketika sudah menjadi listrik, listriknya tidak sesuai yang diperjanjikan standar dan tegangannya kurang tetap dibayar. Kondisi ini hanya menguntungkan pengusaha," kata Ghufron.

Ia mengatakan jika PLTSa itu dijalankan maka pemerintah perlu memikirkan beban anggaran sekitar Rp3,6 triliun.

"Jadi yang semula berharap mengolah sampah itu bisa mengentaskan sampah menghasilkan energi ternyata inefisiensi bisa sampai Rp3,6 triliun kalau dilanjutkan," ucap dia.

"Perhitungannya bagaimana? Dihitung dari biaya langsung pengolahan sampah Rp2,03 triliun yang disediakan per tahun untuk dibayarkan ke badan usaha dan perkiraan subsidi yang harus dibayarkan ke PLN sebesar Rp1,6 triliun atas selisih harga tarif beli listrik PLTSa yang tinggi," kata Ghufron.

Baca juga: Ganjar optimistis PLTSa mampu selesaikan masalah sampah

Baca juga: Penggunaan pembangkit listrik tenaga sampah bantu penanganan sampah

Baca juga: AZWI sebut PLTSa bukan solusi berkelanjutan masalah sampah


Kedua, risiko beban anggaran menjadi signifikan mengingat masa kontrak PLTSa cukup panjang yakni 25 tahun.

"Per tahun saja bisa Rp3,6 triliun kalau kemudian kontraknya 25 tahun tentu bisa diperhitungkan besarnya seberapa. Sementara 'reserve margin' pasokan listrik PLN di Jawa Bali sudah mencapai 30 persen atau sudah tidak ada urgensi pasokan listrik baru di wilayah Jawa dan Bali, artinya tingkat kecukupannya sudah memenuhi atau optimal," ujar dia.

Sedangkan dari basis teknologi, ia mengungkapkan belum ada teknologi yang mampu melakukan dan juga kebijakan sebaiknya "waste to energy", tidak "waste to electricity".

"Jadi, maksudnya harapannya pengelolaan sampah itu cukup sampai ke energi saja kalau untuk ke listrik menjadi sangat berat," ujar dia.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020