Jakarta (ANTARA) - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai wacana menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) menjadi 7 persen memiliki dampak yang kurang baik bagi penyelenggaraan pemilihan umum.

"Ambang batas memang bisa secara cepat mengurangi jumlah partai yang bisa masuk parlemen, tapi juga bisa membawa dampak kurang baik bagi penyelenggaraan pemilu. Semakin tinggi ambang batas maka partai makin sulit untuk bisa dapat kursi dan mengirim wakil-wakilnya masuk parlemen," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini saat dihubungi melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Akademisi: Ambang batas parlemen tidak perlu ditingkatkan

Titi menilai akibat dari ambang batas parlemen yang semakin tinggi dapat mengakibatkan pemilu semakin disproporsional. Artinya, perolehan suara yang diperoleh partai tidak seimbang dengan perolehan kursi saat dilakukan konversi suara menjadi kursi.

"Padahal kita menganut sistem proporsional," katanya.

Selain itu, Titi juga melihat ambang batas parlemen yang tinggi akan membuat makin banyaknya suara sah yang sudah diberikan pemilih saat mencoblos di TPS menjadi tidak bisa dihitung, atau menjadi suara terbuang (wasted votes).

Menurut dia, semakin besar angka dan semakin banyak partai yang tidak bisa mengonversi suara yang mereka peroleh menjadi kursi di parlemen, maka hal tersebut dapat berakibat pada timbulnya ketidakpuasan politik.

"Hal itu dapat membuat apatisme politik warga, atau bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik," kata Titi.

Baca juga: Ambang batas parlemen tujuh persen kuatkan dominasi oligarki politik

Lebih lanjut Titi mengatakan ambang batas yang tinggi juga bisa memicu pragmatisme politik, di mana alih-alih mereka memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, malah disikapi dengan mengambil jalan pintas dengan melakukan politik uang yang lebih masif dengan harapan bisa merebut suara melalui praktik jual beli suara.

Selain itu, ambang batas parlemen yang tinggi juga bisa mengakibatkan makin sulitnya perempuan untuk duduk di kursi parlemen karena partai-partai yang mengusung mereka tidak lolos ambang batas parlemen.

"Ini pernah kejadian pada Grace Natalie dan Tsamara dari PSI saat Pileg 2019 lalu, padahal perolehan suara mereka cukup besar," katanya.

Sebelumnya, dalam pertemuan antara Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada hari Senin (9/3), ada beberapa poin yang dibahas.

Salah satunya usulan Surya Paloh agar ambang batas parlemen menjadi 7 persen dan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden tetap 20 persen.

Dalam kaitan itu, Airlangga menegaskan bahwa Golkar siap mendukung konsep yang disampaikan Paloh tersebut dan sepakat agar diberlakukan secara nasional.

Baca juga: Gerindra tidak persoalkan PT jadi 7 persen

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020