Karangasem, Bali (ANTARA) - Ritual "Tawur Agung Kesanga" serangkaian Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 di Pelataran Pura Agung Besakih, Kabupaten Karangasem, Bali dilakukan dengan sederhana, karena situasi dalam darurat COVID-19.

Pemantauan di Pura Agung Besakih, Bali, Selasa, umat Hindu yang melaksanakan upacara ritual "Tawur Agung Kesanga" tahun ini yang hadir sembahyang umat sedharma sangat terbatas. Sebab semua masyarakat mengikuti imbauan dari pemerintah untuk membatasi kerumunan massal (social distancing).

Biasanya pada tahun sebelumnya ritual "Tawur Kesanga" di Pelataran Pura Agung Besakih, ribuan umat Hindu dari pelosok Pulau Dewata berduyun-duyun hadir untuk melakukan doa persembahyangan untuk keselamatan umat dan kedamaian dunia.

Baca juga: Sebanyak 30 objek wisata di Buleleng-Bali tutup sementara

Bendesa (Ketua) Adat Besakih Jero Mangku Widiarta mengatakan memang pada pelaksanaan rirual "Tawur Agung Kesanga" kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Terutama kehadiran umat Hindu yang sembahyang, karena masyarakat mengikuti imbauan pemerintah untuk membatasi kerumunan masyarakat.

"Dengan demikian umat Hindu pun dalam pelaksanaan ritual ini tidak diwajibkan sembahyang ke Pura Besakih. Namun boleh berdoa dan sembahyang dari rumah masing-masing," ucapnya.

Ia mengatakan terkait dengan serangkaian sesaji yang dipersembahkan tetap dibuat sesuai dengan petunjuk para rohaniawan Hindu yang memimpin upacara ritual tersebut.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Gusti Ngurah Sudiana mengatakan ritual "Tawur Agung Kesanga" merupakan upacara "Bhuta Yadnya" yang bermakna menetralisir (nyomia) butha supaya menjadi Butha Itha yang baik.

Baca juga: Tanah Lot mulai ditutup hingga 30 Maret, cegah sebaran Corona di Bali

Melalui acara ritual "Tawur Kesanga" yang dilakukan di Pulau Dewata diharapkan para butha tidak mengganggu kehidupan manusia sehingga kehidupan di muka bumi ini akan berlangsung secara harmonis, aman dan damai.

Tawur Kesanga juga bermakna sebagai simbol pembersihan alam untuk mencapai keseimbangan Makro Kosmos (Bhuana Agung) dan Mikro Kosmos (Bhuana Alit) dan diikuti dengan "Catur Brata Penyepian" (empat pengendalian diri) saat Nyepi.

Pada saat Nyepi ada empat pantangan yang dilakukan umat Hindu yakni pertama, Amati Agni (tidak menyalakan api) artinya secara lahiriah tidak menyalakan api untuk memasak, dan tidak menyalakan lampu penerangan. Kedua, Amati Karya (tidak bekerja) artinya tidak melaksanakan kerja fisik sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ketiga, Amati Lelungan (tidak bepergian), maksudnya diam sehari semalam di dalam rumah ibarat penyu yang menarik semua organ tubuhnya untuk istirahat. Keempat Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan) artinya tidak menikmati keindahan atau yang mengasyikkan seperti menikmati hiburan musik, lagu, dan yang lain-lainnya. Pikiran dipusatkan ke dalam diri sendiri.

Baca juga: PLN pastikan keandalan listrik di Bali saat Nyepi
Baca juga: Pemprov Bali tambah 7 RS rujukan untuk tangani pasien COVID-19
Baca juga: Warga China dominan perpanjang izin tinggal darurat di Bali

Pewarta: I Komang Suparta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020