stigma juga akan menimbulkan marginalisasi
Jakarta (ANTARA) - Budi merasa sangat ketakutan. Tubuhnya lemas tak bertenaga, keringat terus bercucuran, jantungnya berdebar-debar, terkadang nafasnya sesak, perut terasa mual dan kembung, kepalanya pusing, seakan-akan dirinya sebentar lagi menemui ajal.

Budi sempat mengunjungi salah satu rumah sakit yang ditunjuk sebagai RS rujukan COVID-19 oleh pemerintah. Berdasarkan hasil laboratorium, dokter menyebut ada infeksi yang terjadi pada Budi namun tidak diketahui apa yang menjadi penyebabnya karena tidak dilakukan tes untuk COVID-19 terhadap dirinya. Budi hanya diminta untuk isolasi mandiri selama 14 hari.

Dia akhirnya menjalani masa isolasi mandiri, dikurung di dalam kamar, tidak boleh keluar. Kondisi itu sangat menyiksa Budi yang memiliki kepribadian supel, senang bergaul dan bertemu banyak orang. Ditambah lagi, permintaan isolasi mandiri ini membuat pikirannya langsung menuju pada COVID-19 walaupun hal itu belum tentu.

Budi yang tidak bisa berpikir positif ketika mengonsumsi berbagai informasi tentang COVID-19 secara berlebihan akhirnya semakin hari kondisinya memburuk. Dia merasa sesak dan semakin lemas, sulit tidur, dan masih terbayang akan kematian.

Lantas Budi mengunjungi Puskesmas agar bisa dilaksanakan rapid test, namun ditolak karena persyaratannya perlu ada rontgen thorax. Akhirnya Budi melakukan foto sinar X di rumah sakit swasta dan disebutkan terdapat bronkopneumonia. Budi semakin panik karena kata "pneumonia" identik dengan COVID-19.

Baca juga: Psikolog: Berfikir sehat dan hindari kecemasan berandil melawan corona

Akhirnya setelah beberapa lama Budi berangsur merasa lebih baik. Ia juga mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan tes cepat. Budi negatif COVID-19 setelah dua kali dilakukan tes cepat menggunakan alat tes berbasis antibodi sesuai prosedur dari pemerintah.

Kendati kondisi Budi berangsur membaik, namun masih menyisakan beberapa pengalaman tidak menyenangkan. Budi merasa takut apabila mendengar kata COVID-19, panik ketika mendengar suara ambulans, dan tidak mau ke kamar tempat isolasi mandiri tempo hari.

Dalam artikel yang ditulis oleh psikiater dr Lahargo Kembaren Sp.KJ di laman Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), gejala-gejala yang dialami oleh Budi adalah gangguan kecemasan atau ansietas. Budi juga mengalami trauma psikologis terhadap COVID-19 karena pernah memiliki pengalaman yang sangat tidak mengenakan soal penyakit itu.

Di sini kita memahami bahwa penyakit COVID-19 yang ditularkan oleh virus SARS-COV-2 tidak hanya menyerang fisik, tapi juga pada sesuatu yang tak kasat mata yaitu berdampak pada kesehatan jiwa seseorang.

Mengonsumsi informasi mengenai COVID-19 secara berlebihan dan tanpa disaring terlebih dulu pasti akan berdampak pada psikis seseorang dan bisa mengakibatkan gangguan kecemasan. Sumber informasi di media sosial atau media massa yang melulu memberitakan soal jumlah kasus yang terus meningkat dan bertambahnya kematian lebih mudah membuat stres ketimbang membaca berita berisikan semangat.

Sementara untuk sebagian orang yang berhadapan langsung atau memiliki pengalaman sendiri yang erat kaitannya dengan COVID-19 seperti Budi atau tenaga kesehatan juga menimbulkan trauma psikologis. Lebih parahnya lagi, jika orang-orang yang memiliki trauma psikologis terhadap COVID-19 kemudian mendapatkan stigma dari lingkungan masyarakat karena dianggap membawa virus dan petaka.

Baca juga: Dokter: Kecemasan akibat COVID-19 merupakan bentuk adaptasi normal

Stigma

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah bahkan menyebut stigma atau pelabelan negatif yang diberikan oleh individu atau kelompok masyarakat terhadap tenaga kesehatan atau pasien COVID-19 berkontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat virus corona tipe baru tersebut.

Fidiansjah mencontohkan kasus perawat yang mendapat stigma dan mendapatkan perlakuan tidak patut di lingkungannya kemudian terpapar COVID-19 dan meninggal dunia, bahkan dalam proses pemakamannya pun masih mendapat penolakan.

"Stigma harus dilihat secara satu kesatuan karena stigma tidak semata-mata sebuah sikap atau perilaku pada suatu suasana yang menjadi tidak baik tapi stigma juga akan menimbulkan marginalisasi, dan memperburuk status kesehatan dan tingkat kesembuhan. Inilah yang perlu dipahami bahwa stigma berkontribusi terhadap tingginya angka kematian," kata Fidiansjah.

Kondisi ini semakin rumit. Di mana virus corona itu sendiri dapat menyerang tubuh manusia secara fisik, berdampak pada kesehatan jiwa seseorang walaupun belum tertular, dan dapat menimbulkan kondisi fisik yang lebih buruk apabila seseorang yang sudah terinfeksi bertambah cemas dan stres.

Stres dan kecemasan akan COVID-19 tidak semata hanya berdampak pada mental seseorang, tetapi juga bisa memengaruhi kondisi fisik yang bersangkutan.

Dokter spesialis kedokteran olahraga dr Zaini K Saragih Sp.KO menjelaskan bahwa stres bisa menurunkan imunitas tubuh seseorang karena pasokan darah, oksigen, dan nutrisi yang tidak baik pada keseluruhan organ tubuh.

Kondisi stres psikis memiliki kesamaan seperti saat seseorang melakukan olahraga berat, yaitu pembuluh darah yang akan bekerja lebih keras dari biasanya untuk mengalirkan darah yang dipompa jantung ke seluruh tubuh yang mencapai 25 liter darah dalam satu menit.

Namun dalam kondisi olahraga berat, aliran darah yang membawa oksigen, energi, dan berbagai macam nutrisi dari makanan tersebut lebih banyak disalurkan ke otot sehingga organ lain sedikit mendapatkan asupan darah. Kondisi berkebalikan ketika seseorang sedang istirahat dan rileks yang hanya menyalurkan lima liter darah per menit namun pasokan darah terbagi secara merata untuk seluruh organ tubuh.

Kondisi pasokan darah saat olahraga berat ini sama halnya dengan saat seseorang dalam kondisi stres. Sementara apabila seseorang yang mengalami stres dan cemas selama seharian penuh karena dalam situasi pandemi corona, selama seharian itu pula organ-organ lain pada tubuh tidak mendapatkan asupan oksigen, energi, dan nutrisi yang cukup dari darah sehingga organ tubuh tidak berfungsi dengan baik.

Itulah yang menyebabkan kenapa imunitas tubuh seseorang bisa turun ketika sedang stres, dan bisa lebih parah jika terus menerus merasa stres dalam beberapa hari.

Oleh karena itulah pentingnya untuk mengelola stres jangan sampai berlebihan. Masyarakat harus menjaga dan menimbulkan semangat positif di tengah pandemi seperti saat ini agar daya tahan tubuh menjadi lebih baik.

Fidiansjah menyebut kunci untuk menjaga agar diri tetap sehat jiwa adalah dengan tetap berpikir positif, berprasangka positif, berperilaku positif, dan berelasi positif terhadap manusia dan juga Tuhan.

Dalam upaya menangani dampak akibat COVID-19 terhadap kesehatan jiwa, Kementerian Kesehatan juga telah menyediakan layanan konsultasi bagi masyarakat yang mengalami gangguan kecemasan terhadap pandemi virus corona di 119 extension 8.

Baca juga: Menkes sebut kecemasan bisa pengaruhi imunitas tubuh

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020