Beijing (ANTARA News/AFP) - Polisi di kota bergolak China Urumqi memerintahkan penduduk tetap berada di dalam rumah Kamis di tengah laporan-laporan mengenai kerusuhan baru di ibukota wilayah Xinjiang yang berpenduduk mayoritas muslim itu, kata sejumlah warga.

Perintah itu disampaikan setelah ada pemberitaan pawai protes dilakukan oleh kelompok etnik dominan China Han, yang melakukan demonstrasi marah pada Juli setelah kerusuhan orang-orang etnik Uighur yang menewaskan hampir 200 orang.

Kantor berita Xinhua mengatakan, "massa dalam jumlah besar" berkumpul di sejumlah titik di kota itu untuk memprotes serangkaian serangan dengan alat suntik terhadap anggota-anggota kelompok etnik di kota itu. Toko-toko dan pasar tutup.

Jumlah pasti demonstran belum diketahui. Sejumlah saksi mata menyebutkan massa dalam jumlah besar, ribuan.

Menurut Xinhua, sejumlah orang etnik Uighur juga termasuk di antara massa pemrotes.

"Ada sekitar 10.000-20.000 orang dan banyak polisi di jalan di setiap persimpangan. Terdapat lebih dari 100 polisi yang ditempatkan di setiap 400-500 meter," kata seorang wanita Han yang mengelola sebuah klinik yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Xinhua mengatakan, 15 orang yang tidak diungkapkan sukunya ditangkap setelah penyerangan terhadap anggota-anggota sembilan kelompok etnik, termasuk China Han dan Uighur.

Tidak ada orang yang terinfeksi atau keracunan dalam serangan-serangan itu, kata Xinhua tanpa, menyebutkan kapan serangan tersebut terjadi atau berapa banyak orang yang terluka.

Polisi melakukan pengawasan dan memerintahkan penduduk tetap berada di dalam rumah.

"Orang-orang Han mengadakan pawai protes, maka polisi melakukan pengawasan dan memerintahkan kami tetap berada di dalam rumah," kata Halisha, seorang dokter mata Uighur, kepada AFP melalui telefon.

Seorang pemilik toko yang berlokasi di dekat daerah Nanmen pusat mengatakan, "banyak" orang masih melakukan protes hingga petang hari.

"Saya menutup toko saya. Saya takut pergi ke luar. Banyak orang masih berpawai di luar," kata wanita itu sebelum menutup telefonnya.

Pada Juli lalu kota itu dilanda konflik mematikan antara orangorang Han dan Uighur.

Beijing mengatakan, sedikitnya 197 orang tewas dalam kerusuhan pada 5 Juli di ibukota Xinjiang, Urumqi, antara orang-orang minoritas Uighur dan kelompok enik dominan China Han.

Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul.

Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.

Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil agas alam terbesar China.

Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.

Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.

Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009