Palu (ANTARA) - Perempuan dan anak menjadi dua komponen dalam kehidupan ini yang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang menjalani kehidupan dengan baik.

Meski berbeda dari sisi jenis kelamin, fisik dan peran dengan laki-laki dan orang dewasa. Namun, keberadaan perempuan dan anak tidak boleh disepelekan.

Oleh karenanya, perempuan dan anak dipandang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk dilindungi dari adanya penyebaran virus corona jenis baru (COVID-19), karena dianggap sebagai komponen yang paling rentan terdampak virus tersebut.

Apalagi perempuan dan anak penyintas bencana gempa, tsunami dan likuefaksi, Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo). Mereka saat ini berada di hunian sementara dan tenda-tenda pengungsian setelah hampir dua tahun bencana itu melanda wilayah tersebut pada 28 September 2018 silam.

Tentu, anjuran pemerintah untuk jaga jarak, sulit diterapkan di hunian sementara yang setiap biliknya sekitar berukuran 3 x 4 meter persegi, di lokasi pengungsian.

"Apalagi di shelter pengungsian di wilayah Kota Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong. Jaga jarak fisik harusnya menjadi suatu keharusan dalam upaya mencegah atau memutus rantai penyebaran COVID-19," kata Direktur Pelaksana Yayasan Sikola Mombine Sulteng Risnawati.

Namun, melihat kondisi Sulawesi Tengah setahun lebih setelah bencana, masih banyak yang tinggal di shelter atau huntara, yang sulit jaga jarak (physial distancing), karena kondisi huntara yang hanya 4 X 6 meter dan berbatasan dinding. Tentunya sangat sulit dan memosisikan para penyintas, khususnya perempuan yang lebih rentan terpapar.

Baca juga: DP3A Sulteng: Ratusan kasus kekerasan terjadi seiring wabah COVID-19


Tantangan berat

Begitu juga dengan anak-anak. Save The Children atau Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) menyatakan anak-anak menghadapi tantangan berat di masa pandemi COVID-19.

"Dalam temuan Penilaian Kebutuhan Cepat (Rapid Need Assessment) Save the Children, kondisi pemenuhan anak-anak kita mengalami tantangan berat pada masa pandemi ini," ucap Ketua Dewan Pengurus YSTC, Selina Patta Sumbung.

Dalam kampanye itu, Selina Patta Sumbung menguraikan berdasarkan data Gugus Tugas COVID-19 menunjukkan, hingga 8 Juni 2020, terdapat sekitar 2.531 anak atau 7,9 persen anak terinfeksi COVID-19. 28 anak atau 1,5 persen kasus kematian, dan 1.809 atau 9,4 persen dalam perawatan atau isolasi.

YSTC, kata Selina mencatat adanya tujuh risiko yang dihadapi perempuan dan anak di pandemi COVID-19. Salah satu risiko itu, kata dia, anak-anak di daerah rawan bencana memiliki risiko ganda di tengah adanya wabah pandemi COVID-19.

Selain itu, risiko kekerasan terhadap anak berpotensi meningkat. Kata Selina, hal ini didukung oleh temuan bahwa 80 persen anak usia 12-17 tahun pernah mengalami perundungan di dunia maya.

Baca juga: Perempuan Sulteng dan upaya atasi pandemi COVID-19


Desakan legislator

Anggota DPRD Sulawesi Tengah (Sulteng) Ibrahim Hafid meminta Pemprov Sulteng untuk memaksimalkan perlindungan terhadap anak dan perempuan dengan strategi pemenuhan hak.

"Mengenai pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak perlu menjadi fokus penting bagi Pemprov Sulteng. Perlindungan dan pemberdayaan harus dimaksimalkan kepada kelompok rentan tersebut," ucap Ibrahim Hafid.

Ibrahim Hafid yang juga Ketua Pansus LKPJ Gubernur Sulteng Tahun 2019 menyatakan bahwa salah satu yang menjadi rekomendasi pansus terhadap LKPJ Gubernur Sulteng tahun 2019 yakni menangani lebih intens bidang pemberdayaan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Dalam rekomendasi pansus terkait bidang pemberdayaan dan perlindungan anak dan perempuan, kata Ibrahim, pansus menilai angka kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan dan anak serta angka perceraian di Provinsi Sulawesi Tengah masih tinggi sehingga diperlukan penanganan konseling bagi korban kekerasan tersebut yang saat ini mulai vakum.

Berdasarkan data kasus kekerasan dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI – PPA) pada Maret 2020 yang dikelola oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng, tercatat 107 kasus kekerasan dan perempuan menjadi korban kekerasan sebanyak 99 kasus sedang laki-laki 15 kasus.

Berdasarkan tempat kejadian, rumah tangga menjadi tempat kekerasan terbanyak, yakni sekitar 67 kasus, selebihnya di tempat kerja, sekolah, fasilitas umum, dan lembaga pendidikan kilat dan tempat-tempat lainnya.

Ketua Komisi Kesra dan Pemerintahan DPRD Palu Mutmainah mengemukakan bahwa kelompok rentan berbasis gender antara lain perempuan dan anak perlu diberi perhatian khusus agar terlindungi dari ancaman penyebaran COVID-19.

"Dalam situasi tanggap darurat bencana non-alam ini, juga harus melihat bagaimana kelompok rentan, utamanya bagi perempuan dan anak, menjadi perhatian khusus berdasarkan pada pengarusutamaan gender dalam pembangunan dan UU Perlindungan Anak," ucap Mutmainah.

Apalagi, Kota Palu yang baru setahun lebih tertimpa bencana gempa, tsunami dan likuefaksi. Kondisi kelompok rentan yang berada di shelter pengungsian di hunian sementara semakin memprihatinkan.

Hal itu karena kelompok rentan yang juga penyintas bencana gempa, tsunami dan likuefaksi mereka tidak bisa menerapkan sosial distancing, karena huntara tidak mempunyai sekat/bilik/keluarga dan sangat kecil.

Oleh karena itu kebijakan jaga jarak fisik menjadi satu kesatuan utuh untuk memutus rantai dalam pencegahan penyebaran COVID-19, yang tidak sekedar bagaimana kebijakan ini diterapkan secara umum.

"Hal ini sebaiknya ada afirmasi kebijakan bagi mereka, utamanya bagi kelompok anak. Misalnya, adalah program membangun jarak harus berbasis pada peran orang tua dan bagaimana ada pengawasan khusus, dengan memberikan nutrisi khusus bagi para lansia melalui gerakan sayang orang tua untuk antisipasi COVID-19. Apalagi para lansia yang paling memiliki risiko tertular COVID-19 dan bisa berdampak pada kematian," katanya.

Baca juga: Hasil test swab COVID-19 Kapolda Sulteng dan Wabup Parimo negatif


Pokja Berjarak

Menyadari pentingnya melindungi perempuan dan anak, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) membentuk Kelompok Kerja Bersama Jaga Keluarga Kita (Pokja Berjarak) sebagai upaya melindungi kelompok rentan di antaranya anak dan perempuan dari penyebaran COVID-19.

"Kami membentuk Pokja Berjarak untuk lindungi kelompok rentan di masa pandemi," ucap Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng Ihsan Basir.

Ihsan menguraikan Pokja Berjarak akan melakukan langkah-langkah perlindungan terhadap anak dan perempuan dan kelompok rentan lainnya, dengan tetap berkoordinasi dinas terkait lainnya dalam pencegahan dan antisipasi penyebaran COVID-19 di Sulteng.

Saat ini, organisasi perangkat daerah (OPD) yang dipimpinnya telah melakukan revisi anggaran untuk refocusing pada pencegahan COVID-19.

"Kami sudah melakukan revisi anggaran untuk refocusing pada hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan COVID-19," ujar Ihsan.

DP3A Sulteng, kata dia, juga mendorong pelibatan laki-laki terhadap pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

"Laki-laki harus berada pada garda terdepan dalam pencegahan kekerasan. Kegiatan yang dilakukan yaitu Laki Gaga (Laki-laki penjaga keluarga). Kegiatan ini merupakan turunan dari program berjarak, tetapi lebih khusus pada keterlibatan laki-laki dalam menjaga keluarganya dari kekerasan yang timbul di masa pandemi virus corona," kata Ihsan.

Dia juga menginisiasi tagar bajaosayang (bersama jaga orang tersayang), sebagai sosialisasi dan kampanye melindungi keluarga dari ancaman COVID-19," katanya.

Hingga saat ini, dalam situasi normal atau situasi bencana, untuk perlindungan anak dan juga perempuan serta kaum rentan lainnya, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Sulteng tetap membuka layanan meskipun dalam kondisi adanya COVID-19.

"Kaum perempuan dan anak yang membutuhkan layanan terkait adanya kekerasan dapat menghubungi DP3A lewat nomor kontak 0823-4712-3444. Bisa di WA, SMS atau telpon terlebih dahulu. Dan kami akan menghubungi," ujarnya.

Ia melanjutkan, kelompok-kelompok binaan UKM/IKM di bawah naungan DP3A yang dibentuk bersama LSM pemerhati perempuan dan anak. Kelompok-kelompok tersebut sampai saat ini tetap aktif menjalankan kegiatan operasionalnya di tengah-tengah adanya COVID-19, tentu dengan pola yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Baca juga: Kasus COVID-19 di Sulteng bertambah, Kota Palu terbanyak


Aksi perlindungan

Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC)/Save The Children yang melibatkan pemerintah telah memulai Kampanye Gerakan Pulih Bersama, yang mengkampanyekan tujuh aksi perlindungan terhadap kelompok rentan termasuk perempuan dan anak di masa pandemi COVID-19.

Tujuh aksi dalam kampanye gerakan pulih bersama meliputi, pertama asuh dan lindungi anak secara layak. Kedua, Memberikan bantuan sosial untuk orang tua yang kehilangan pekerjaan.

Pemberian bantuan sosial itu dikarenakan, adanya risiko anak yang orang tuanya kehilangan mata pencaharian/pendapatan di masa pandemi rentan kehilangan akses pendidikan.

Ketiga, penuhi kesetaraan akses bagi setiap anak atas layanan pendidikan yang berkualitas. Keempat, cegah dan respon segala bentuk kekerasan pada anak.

Kemudian kelima, penuhi layanan kesehatan dasar dan gizi yang layak untuk anak. Keenam, lindungi dan penuhi kebutuhan anak-anak yang masih tinggal di kawasan bencana dan rawan bencana. Terakhir, Lindungi dan penuhi kebutuhan anak-anak yang tinggal di kawasan bencana dan rawan bencana.

"Melalui kampanye ini, kami ingin memastikan mereka mampu melalui segala tantangan sehingga bisa terus bertumbuh dan menemukan peluang baru," kata Tata.

Pada 10-27 Maret 2020, Save the Children/YSTC mengadakan penilaian cepat kebutuhan dampak COVID-19 di 32 provinsi. Adapun lingkup yang dikaji adalah kapasitas, risiko, dan kerentanan, khususnya yang berdampak besar terhadap anak-anak di Indonesia.*

Baca juga: Pasien sembuh positif COVID-19 Sulteng bertambah enam

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020