Petani bukan jawaban yang lazim disebutkan oleh anak-anak ketika ditanya apa cita-cita mereka kelak pada masa depan.

“Saya juga waktu sekolah dari SMA sudah memikirkan cita-cita, tidak pernah terpikir nanti akan jadi petani,” tutur Maya Stolastika Boleng kepada ANTARA.

Jus wortel nikmat yang diteguknya di Bali menjadi awal mula dari usahanya mengembangkan pertanian organik dan membuat brand Twelve’s Organic yang melewati perjalanan penuh liku.

Perempuan kelahiran Waiwerang, Flores Timur pada 11 Juni 1985 ini tak pernah belajar soal pertanian. Pilihannya untuk menekuni yoga sebagai aktivitas di kampus menjadi pintu yang membuka rasa penasaran lulusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya terhadap pertanian organik.

Bersama teman-teman dari unit kegiatan mahasiswa yang sama, Maya pergi ke Bali untuk bertemu dengan guru yoga. Para mahasiswa yang bertandang disuguhi segelas jus wortel murni oleh sang guru yoga.

Jus sayuran bukan minuman yang paling menggiurkan buat Maya waktu itu. “Sayuran itu ngga enak dan pahit, waktu melihat jus itu, kupikir ‘bahaya nih’,” seloroh Maya.

Prasangkanya sama sekali tidak terbukti. Maya heran karena rasa jus dari wortel organik yang dia minum terasa lezat, sangat berbeda dengan wortel yang biasa disantap di Surabaya.

Selama dua pekan di Bali, Maya diajari memandang tanaman seperti makhluk hidup selaiknya manusia. Tak cuma berbuat baik kepada sesama, manusia juga berperan dalam menjaga alam. Dalam hal ini adalah bercocok tanam dengan cara organik, memberikan tumbuhan zat-zat yang baik untuk mereka.

Sebelum kembali ke Surabaya, guru yoga di Bali menantang mereka untuk menciptakan perubahan positif yang konkret sebagai seorang mahasiswa. Tak harus besar, tapi setidaknya bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya. Berbekal semangat membara seorang mahasiswa, Maya mengumpulkan uang dari kerja sampingan sebagai guru les dan menjual pulsa elektrik untuk menyewa lahan.

Maya dan empat temannya menyewa sebuah lahan seluas setengah hektare pada 2008 yang ditanami sawi. Tanpa pengetahuan soal pertanian, mahasiswa-mahasiswa ini melahap ilmu dari buku-buku mengenai pertanian organik.

“Petani yang mengelola tanah dibayar setiap minggu. Kita beli pupuk dan beli bibit. Kita urunan tiap minggu untuk membayar. Kita ngga dapat apa-apa. Ini benar-benar sesuatu yang baru, yang kami tidak tahu. Benar-benar rasanya kita cuma mengeluarkan darah dan keringat,” tutur Maya.

Rutinitasnya saat itu lumayan menyita waktu dan tenaga. Sejak dini hari ia bangun untuk mengemas sayur, lalu mengantarnya ke supermarket. Kemudian Maya ke kampus untuk kuliah, lalu pergi mengajar di tempat les. Perjuangannya merintis pertanian organik mengajarkan Maya menjadi mahasiswa yang betul-betul disiplin dalam mengatur waktu. Namun usahanya belum berbuah manis karena mereka betul-betul masih hijau.

“Kita ngga untung juga karena ngga tahu cara menjual,” ungkap penyuka pelajaran sejarah ini.

Setahun berlalu, tiga orang memutuskan untuk mundur. Maya dan satu temannya merasa dilema karena enggan meninggalkan sesuatu yang belum selesai. Sebuah panggilan telepon dari seorang pelanggan melecut lagi semangat Maya untuk bertani.

“Ada seorang ibu telepon, ‘mbak kok ngga pernah kirim sayur lagi?’. Dari situ kami berdua menyadari, ternyata apa yang kami lakukan selama ini ada orang yang notice.”

Di tengah kesulitan karena tak ada modal, doa mereka terjawab lewat permintaan untuk memasok sayur dari supermarket yang pernah ia tawari beberapa waktu sebelumnya. Maya dan temannya melanjutkan aktivitas dan membayar segala biaya pertanian dari beberapa mitra supermarket.

“Tahun 2009, impas hasilnya. Sudah selesai kontrak lahan dan sewa, hasilnya juga impas. Nol. Sebelumnya kita utang, sekarang impas.”

Ketika tiba waktu kelulusan pada 2010, orang tuanya bertanya apa yang akan ia lakukan setelah menjadi sarjana. Maya menyadari, orang tuanya takkan gembira bila mengetahui putrinya justru ingin berjualan sayur. Tapi di sisi lain, dia yakin pertanian organik merupakan dunia yang ingin digeluti. Setelah melewati pergolakan batin, Maya memutuskan untuk membalas budi orang tua yang mengharapkannya menjadi pegawai di kantor pada umumnya.

“Saya bilang mau kerja, tapi di Bali,” ujar Maya.

Setelah di Bali, Maya dan temannya ditawari untuk bekerja di perusahaan baru bosnya yang biasa mengelola acara-acara pertemuan bisnis di pulau Dewata. Gaji yang ditawari “lumayan”, akomodasi dan transportasi pun terjamin. Tapi tawaran yang menggiurkan itu justru ditolak oleh Maya lantaran ia tersadar bahwa petualangannya di Bali harus diakhiri.

“Pilihan kita mungkin gila, tapi kita ingin mencapai sesuatu yang bukan di situ, yang sudah dimulai sebelumnya. Kita sudah pernah berdarah-darah, melakukan hal gila, tapi kami ingin menyelesaikannya.”

Maya kembali ke Surabaya, disambut kebingungan dan kekecewaan orang tua yang tak habis pikir mengapa anaknya memilih untuk menggeluti pertanian.
Roda kembali berputar. Kesuksesan finansial yang diraih di Bali tak terjadi di Surabaya. Tahun 2014, Maya mendapatkan cobaan baru. Semua tabungan dari kerja keras di Bali dan usaha dua tahun belakangan ludes.

“Yang tersisa hanya tekad,” kata Maya.

Berbekal uang Rp1 juta untuk hidup dan mencari lahan. Ia tak tahu apakah uang itu bakal cukup untuk kembali bertani setelah disisihkan untuk biaya hidup. Setelah menghitung-hitung, uang itu bakalan habis untuk kebutuhan hidup dan menyewa lahan. Secercah harapan muncul ketika Maya justru ditawari untuk menggarap lahan yang menganggur dengan kesepakatan bagi hasil.

Kerja keras dan doa Maya mulai terasa manis. Maya masih ingat betul Februari 2015 adalah kali pertama dia berhasil menjual hasil panen yang dikelola dengan penuh susah payah.

“Jualan kangkung dapat Rp70.000, semuanya jadi lebih indah,” kenang Maya dengan nada ceria.

Tak semuanya berjalan mulus. Maya juga mencicipi pengalaman pahit seperti gagal panen akibat oknum yang meracuni air. Dalam kondisi terjepit dan harus mengirit, dia berpuasa dan hanya menyantap lauk terong, selada dan cabai yang ditanam di teras kontrakan. Ajaibnya, selama hidup susah dia tak pernah jatuh sakit.
“Tuhan itu memang ada dalam hidup,” ujar Maya. “Dari 2015 hingga 2016, jalan kami dibukakan sampai sekarang.”

Dia bekerja sama dengan 20 petani untuk menggarap lahan 3.000 meter persegi di Desa Claket, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. Awalnya, Maya ingin menggaet anak-anak muda untuk bergabung dalam perjuangannya. Tapi dia tahu betul harapan itu sulit diwujudkan.

“Kita mikirnya, kalau anak muda kita harus jamin masa depan dia. Anak muda masih banyak keinginan, belum stabil.”

Maya akhirnya mengincar para ibu petani untuk bertani dengan sistem organik. Ibu-ibu dipilih bukan tanpa alasan. Maya menuturkan, ibu adalah orang pertama yang punya peran dalam meletakkan mimpi di kepala anak. Jika mereka bisa menanamkan pola pikir bahwa bertani adalah sesuatu yang berkelas kepada anak-anaknya, maka anggapan orang-orang mengenai pertanian kelak pun akan berubah.

Ia mengajak para petani menganggap kebun sebagai kantor. Berkebun sama dengan bekerja di kantor, perlu manajemen untuk menciptakan produk yang diinginkan. Profesi petani menjadi lebih bergengsi.

Maya memang ingin menggeser citra petani menjadi lebih berkelas. Petani tak cuma diajari soal bertanam secara organik, tapi memahami lebih dalam agar bisa mandiri dan punya pasar sendiri. Petani diajari untuk menghitung harga, termasuk untuk waktu dan tenaga yang mereka habiskan untuk bekerja, dalam berbisnis.
“Kita menyewakan lahan dan fasilitas, bibit dari kita, mereka tinggal mengolah kebun. Hasilnya dihargai sesuai kesepakatan.”

Puluhan jenis sayur mayur dan buah ditanam untuk disalurkan kepada sekitar 175 pelanggan tetap yang merupakan konsumen dari rumah tangga. Sejak 2017, Twelve’s Organic tak lagi menyediakan kebutuhan untuk pasar besar seperti supermarket, restoran dan hotel.

“Hikmahnya diambil pas pandemi, banyak teman-teman yang memasok ke restoran kesusahan karena restoran banyak ditutup,” kata dia.

Dia berharap pelanggannya akan tumbuh hingga 300 rumah tangga pada akhir 2020. Tak cuma di Malang, Mojokerto, Sidoarjo dan Surabaya, Maya juga ingin Twelve’s Organic bisa menjangkau konsumen di seluruh Indonesia kelak.

Jerih payahnya mengembangkan pertanian organik membuat Maya menjadi penerima apresiasi Satu SATU Indonesia Awards (SIA) 2019 di bidang lingkungan. Semua diawali dari inisiatif teman untuk mendaftarkan Maya. Kala itu Maya tak berharap apa-apa sebab rintisannya bukanlah perusahaan besar, petani yang dilibatkan pun tak sampai ratusan orang.

“Di SATU Indonesia Awards, yang dicari adalah ketulusan. Beda dari kompetisi lain yang cuma melihat hasil, tapi ajang ini fokus melihat prosesnya,” kata Maya mengenai SATU Indonesia Awards.

Kepada para calon peserta SATU Indonesia Awards 2020, Maya berpesan agar berusaha sebaik mungkin namun tetap menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa.

“Nothing to lose. Kalau menang, itu tanda dari Tuhan bahwa apa yang kita lakukan bagus,” ujar Maya.

Astra mempersembahkan 11th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2020 bagi generasi muda yang bersemangat memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh penjuru tanah air, seperti Ritno yang terus menjaga dan melestarikan hutan di kampungnya.

Penghargaan ini adalah bentuk apresiasi bagi setiap anak bangsa yang berjuang di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, Teknologi serta satu kategori kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

Pendaftaran SATU Indonesia Awards 2020 telah dibuka mulai 2 Maret-2 Agustus 2020. Segera daftarkan diri atau kelompokmu dalam 11th SATU Indonesia Awards 2020 di website www.satu-indonesia.com

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2020