BPOM dapat bekerja sama dengan puskesmas untuk mengampanyekan keamanan pangan daring
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengapresiasi penerbitan regulasi yang bertujuan melindungi konsumen yang membeli pangan dengan mekanisme daring, meski sosialisasi harus lebih intensif.

"Kita harus mengapresiasi langkah pemerintah untuk melindungi konsumen pangan daring, karena kejelasan aturan teknis oleh kementerian dan badan yang terkait sangat penting untuk memastikan perlindungan konsumen. Namun, kebijakan ini tidak akan berjalan efektif jika masih belum aplikatif dan belum tersosialisasikan dengan baik pada konsumen dan pelaku usaha," kata Ira Aprilianti dalam rilis di Jakarta, Sabtu.

Ira mengingatkan bahwa pada akhirnya, kalangan konsumen dan para pelaku usaha merupakan pihak-pihak yang terdampak secara langsung oleh kebijakan pemerintah.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengundangkan Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring pada 7 April 2020.

Baca juga: BPOM gencar awasi peredaran obat dan makanan secara daring

Seluruh apotek, penyelenggara sistem elektronik farmasi (PSEF), dan pelaku usaha dan penyelenggara sistem elektronik (PSE), yang menyelenggarakan peredaran obat dan makanan secara daring harus menyesuaikan kegiatannya dalam memastikan keamanan obat dan pangan yang dijual dengan peraturan badan yang paling lambat tiga bulan sejak diundangkan atau pada 7 Juli 2020.

Pemberlakuan Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 adalah bentuk perlindungan pemerintah untuk memastikan keamanan pangan yang dijual secara daring.

Contohnya adalah terkait izin edar, kemasan, dan kewajiban BPOM untuk membina pelaku usaha dan masyarakat terkait obat dan pangan yang dijual secara daring.

Peraturan tersebut dinilai menjadi ukuran bahwa pemerintah menyadari liabilitas tambahan yang mungkin terjadi akibat transaksi yang dilakukan secara daring.

Meski mengapresiasi, Ira juga menyoroti sejumlah hal terkait regulasi itu, antara lain terkait pembentukan fasilitator keamanan pangan yang berasal dari penggerak masyarakat, yang tercantum pada Pasal 26.

"Namun, masih belum jelas bentuk implementasinya, misalnya saja mengenai penyediaan anggaran yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Lalu sifat dari implementasi ini apakah dilakukan secara sukarela atau tidak," katanya.

Ia mengingatkan pula bahwa Laporan Tahunan BPOM 2018 melaporkan bahwa BPOM membutuhkan 3.664 tambahan staf untuk dapat melakukan tugas secara efektif berdasarkan analisis beban kerja.

Saat ini, pemerintah kekurangan dana untuk sistem pengawasan di pusat maupun di daerah.

Dengan adanya pembentukan fasilitator ini, ujar Ira, maka tentu menjadi tambahan anggaran pemerintah jika harus disediakan melalui penganggaran pemerintah dan sebaiknya BPOM sudah menimbang aspek penganggaran dalam pembuatan kebijakan.

"Kalau implementasi dari penyediaan fasilitator ini dilakukan oleh pemerintah pusat, tentu BPOM membutuhkan tambahan staf yang memadai untuk mencakup wilayah kabupaten dan kota. Tentu hal ini membutuhkan koordinasi yang kuat dengan pemerintah daerah, dan membutuhkan pendanaan yang jelas. Sementara itu, kalau implementasi dilakukan masyarakat secara sukarela, maka harus jelas siapa yang melaksanakan dan juga bagaimana memastikan terbentuknya fasilitator tersebut secara berkesinambungan. Sebagai solusi untuk mengurangi aspek pembiayaan, BPOM dapat bekerja sama dengan Puskesmas untuk mengkampanyekan keamanan pangan daring," paparnya,.

Ira juga menyayangkan bahwa tambahan liabilitas belum dibahas secara teknis, terutama perbedaan antara jasa antar oleh restoran secara langsung atau menggunakan pihak ketiga.

Selanjutnya, Ira menyayangkan penghapusan sanksi administratif berupa ganti rugi yang sebelumnya terdapat pada UU Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.

"Terkadang konsumen mengalami kerugian secara ekonomis akibat pangan yang tidak aman. Contohnya, jika konsumen sakit dan tidak dapat bekerja, ataupun biaya ke dokter jika ternyata makanan tersebut terkontaminasi. Ira berpendapat, ganti rugi harus tetap dimasukkan pada peraturan teknis dan tidak hanya pada UU dan PP (peraturan pemerintah)," ujarnya.

Baca juga: Pemerintah didorong sosialisasi regulasi distribusi pangan daring
Baca juga: Kurangi kontak saat COVID-19, masyarakat bisa belanja pangan online

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020