Pekanbaru (ANTARA News) - Sebanyak empat orang aktivis Greenpeace terus bertahan dengan mengikat diri lebih dari 14 jam di atas "crane" (alat angkut) peti kemas di pelabuhan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), di Perawang, Kabupaten Siak, Riau, Rabu.

Berdasarkan pantuan ANTARA, empat aktivis tersebut terus bertahan meski persediaan makanan dan minuman makin menipis. Sebabnya, satu dari dua tas berisi logistik yang mereka bawa telah disita oleh sekuriti perusahaan.

Puluhan sekuriti dan pegawai perusahaan berulang kali menggunakan berbagai cara untuk memaksa para aktivis menghentikan aksi protes yang dimulai sejak pukul 07.00 WIB itu. Setelah proses pendekatan persuasif dianggap gagal, pegawai perusahaan bahkan sengaja menyalakan mesin "crane" untuk mengombang-ambingkan para aktivis.

Bahkan, lengan besi dari mesin derek setinggi 40 meter itu juga sempat dibuat menukik hingga membentuk sudut 30 derajat ke arah tanah, namun hal itu juga belum menggoyahkan nyali para aktivis.

Empat aktivis yang masih bertahan itu adalah bagian dari 12 orang penggiat lingkungan Greenpeace yang naik ke empat "crane" milik PT IKPP hingga mengakibatkan aktivitas pelabuhan ekspor itu lumpuh.

Aktivis yang bertahan itu adalah Frank Simon dari Jerman, Norika Maureen (Indonesia), Joel Catapong (Filipina), dan Henriette (Belanda).

Hingga kini mereka masih bertahan di tengah kegelapan malam, dan hanya mendapat penerangan dari lampu sorot di sekitar dermaga.

"Mereka terus bertahan, meski logistik terus menipis," kata Media Campaigner Greenpeace Asia Tenggara, Zamzami.

Para aktivis Greenpeace menyerukan protes dengan menyegel alat derek IKPP dan membentangkan spanduk bertuliskan "Climate Crime" dan "You Can Stop This".

Aksi tersebut bertujuan untuk mendorong komitmen pemerintah Indonesia dan pemimpin dunia untuk berupaya dengan sungguh-sungguh melindungi hutan yang tersisa dari ekspansi perusahaan dalam Konfrensi PBB untuk Perlindungan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009